Hukum Interaksi Lawan Jenis di Ruang Publik: Batasan, Adab, dan Prinsip Menjaga Kehormatan - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Hukum Interaksi Lawan Jenis di Ruang Publik: Batasan, Adab, dan Prinsip Menjaga Kehormatan

NU Online  ·  Sabtu, 13 Desember 2025 | 14:00 WIB

Hukum Interaksi Lawan Jenis di Ruang Publik: Batasan, Adab, dan Prinsip Menjaga Kehormatan

Interaksi lawan jenis di ruang publik (NUO)

Muhammad Zainul Mujahid

Kolomnis

Sebagai makhluk sosial manusia akan selalu berinteraksi dengan sesama. Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga adalah sebuah keniscayaan jika ia berinteraksi dengan orang lain untuk berbagai keperluan, baik untuk keperluan bisnis, urusan kesehatan, pendidikan atau hanya sekedar bertemu dengan kolega dan kerabat.
 

Realitas seperti ini mengharuskan manusia untuk melakukan komunikasi dan kontak langsung dengan sesama. Sampai titik ini, mungkin tidak ada masalah. Namun, yang menjadi problem adalah ketika interaksi di ruang publik tersebut terjadi antara lawan jenis yang bukan mahram. Bagaimana syariat memandang interaksi seseorang dengan lawan jenis di ruang publik?
 

Islam dan Misi untuk Menjaga Kehormatan

Secara umum, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kehormatan manusia sebagai makhluk Allah paling mulia. Hal ini terbukti dengan salah satu prinsip utama dalam syariat (maqashidus syariah) yaitu untuk melindungi kehormatan atau hifdzul’ ird. Dari prinsip ini, lahirlah hukum-hukum parsial yang mengatur supaya martabat dan kehormatan manusia tetap terjaga, baik laki-laki maupun perempuan.
 

Karenanya, Islam mengatur sedemikian rupa hubungan seseorang dengan lawan jenisnya sebagai bentuk proteksi agar mereka tidak terjerumus kepada perbuatan yang menggugurkan kehormatan tersebut. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 32,
 

Baca Juga

Memahami Hadits ‘Perempuan Tercipta dari Tulang Rusuk Kaum Adam’

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا [الإسراء: 32]
 

Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk." (QS Al-Isra’: 32).
 

Ayat di atas menegaskan bahwa yang dilarang bukan hanya berzina, tetapi segala hal yang berpotensi menjerumuskan kepada tindakan tersebut juga dilarang. Misalnya berduaan dengan lawan jenis, melihat aurat dan tindakan-tindakan lain yang dapat mengundang gairah.
 

Dinamika Kehidupan Sosial Perempuan di Zaman Rasulullah

Pada masa Rasulullah dan para sahabat, perempuan memiliki peran penting dalam berbagai aspek. Mulai dari urusan domestik rumah tangga, sosial kemasyarakatan sampai kepada urusan perang melawan musuh-musuh Islam. Bahkan dalam Kitab Shahih Buhkari dan Shahih Muslim, ada satu bab yang berisi berbagai kisah heroik para sahabat perempuan ketika bertempur bersama Nabi saw.
 

Dalam berbagai riwayat, dikisahkan bagaimana perjuangan Siti ‘Aisyah bersama Ummu Sulaim, Ummu Athiyah dan sahabat-sahabat perempuan lainnya dalam medan pertempuran. Meskipun secara fisik, kemampuan mereka tidak sekuat laki-laki, tetapi peran mereka tidak bisa dianggap sebelah mata. Para sahabat wanita inilah yang dengan cekatan membawakan air, mengobati tentara yang sakit dan menyediakan berbagai kebutuhan mendesak lainnya.
 

Baca Juga

Hukum Menikahi Perempuan Hamil di Luar Nikah

Dalam sebuah riwayat, sahabat Anas bin Malik berkata:
 

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا، فَيَسْقِينَ الْمَاءَ، وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى
 

Artinya: "Rasulullah saw pernah berperang bersama ummu sulaim dan perempuan lain dari kalangan anshar, mereka memberikan air minum dan mengobati orang-orang yang terluka." (HR. Muslim).
 

Selain itu, terdapat banyak kisah yang menggambarkan potret keterlibatan perempuan dalam urusan sosial kemasyarakatan di zaman Rasulullah dan para sahabat. Misalnya Rithah binti Abdullah, perempuan tangguh yang konon memiliki sebuah industri yang menjadi sumber pendapatan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau mengafirmasi dan memuji tindakan Rithah ra
 

Kita juga tidak akan lupa mengenai kisah Sahabat Umar bin Khattab ra yang pernah ditegur secara langsung oleh seorang wanita ketika beliau memberikan maklumat di sebuah majlis tentang batasan mahar. Sahabat Umar menerima dengan senang hati masukan dari wanita tersebut. Namun, yang menjadi poin penting disini adalah bagaimana keterlibatan langsung para wanita ketika itu dalam dinamika kehidupan sosial.
 

Pandangan Ulama Terkait Aktivitas Wanita di Ruang Publik

Dalam berbagai literatur klasik, mayoritas ulama sangat membatasi ruang gerak wanita untuk beraktivitas di tempat-tempat umum yang meniscayakan interaksi dan komunikasi dengan lawan jenis. Selain didasarkan kepada ayat al-Qur’an yang menyuruh para wanita tetap di rumah, hal tersebut juga dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian demi menjaga kehormatan seorang wanita agar tidak dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
 

Namun, larangan keluar rumah terhadap perempuan sejatinya didasarkan pada satu alasan, yaitu mencegah terjadinya mafsadah atau fitnah. Ketentuan ini adalah sebagai bentuk tindakan preventif dari syara’ agar para wanita tetap terjaga kehormatannya. Karena, akar dari pelecehan dan tindakan asusila lainnya yang terjadi kebanyakan berawal dari keteledoran para wanita dalam menjaga batas-batas syariat dan adab yang berlaku.
 

Namun, jika probabilitas terjadinya fitnah tersebut kecil atau bahkan tidak ada, maka aktivitas wanita di ruang publik tidak menjadi soal. Apalagi jika hal tersebut dilakukan karena suatu keperluan, seperti berobat, belajar-mengajar atau aktivitas penting lainnya. Hal ini sejalan dengan kaidah dalam ushul fiqih yang mengatakan,
 

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
 

Artinya: "Eksistensi suatu hukum bergantung kepada ada atau tidak adanya illatnya."
 

Dalam  Munas Alim Ulama yang diselenggarakan di NTB pada tahun 1997, Nahdlatul Ulama berhasil merumuskan suatu kesimpulan bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dan memiliki hak yang sama dalam hal penghambaan kepada Allah Swt. Hal ini didasarkan pada berbagai ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai perolehan ganjaran bagi mereka yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam An-Nahl misalnya, Allah swt berfirman,
 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ} [النحل: 97]
 

Artinya: "Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan." QS An-Nahl: 970.
 

Selain itu, forum Munas tersebut juga mengafirmasi kesetaraan hak yang dimiliki laki-laki dan perempuan di ruang publik. Sebagai bagian dari masyarakat, peran perempuan dalam ikut serta membangun serta menyejahterakan kehidupan sosial tidak dapat dipandang sebelah mata. Meski secara kodrat mereka memiliki tugas khusus seperti mengandung, melahirkan dan merawat anak sebagai penerus generasi masa depan, tidak dapat dipungkiri bahwa di luar sana banyak peran-peran non-kodrati yang harus dipikul bersama dan dilaksanakan dengan saling mendukung satu sama lain antara laki-laki dan perempuan.
 

Terkait hal ini, Rasulullah saw bersabda,
 

إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
 

Artinya: "Sesungguhnya perempuan itu bagaikan saudara kandung laki-laki." (HR At-Tirmidzi).
 

Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda,
 

النَّاسُ سَوَاءٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ
 

Artinya: "Manusia itu posisinya sama dan setara bagaikan gigi-gigi sisir." (HR Al-Asbihani).
 

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki peran yang tidak kalah penting dengan laki-laki dalam berbagai aspek, dengan tetap mempertimbangkan kapabilitas dan integritas. Karena adanya potensi yang sama tersebut, perempuan bahkan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemaslahatan dan kehidupan yang sejahtera, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan untuk skala nasional. Memarginalkan perempuan dan mengkerdilkan perannya hanya untuk urusan domestik adalah efek dari kultur budaya yang telah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.
 

Karena itu, perempuan diperbolehkan melakukan aktivitas dan mengambil peran di ruang publik dengan tetap memperhatikan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syariat seperti menutup aurat, tidak berkhalwat, dan lain sebagainya. Pihak lain seperti pemangku kebijakan juga perlu berupaya untuk menciptakan dan menjaga suasana agar aman, terlindungi dan nyaman agar partisipasi perempuan dalam ranah publik tetap kondusif serta terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam.

Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma'had Aly Situbondo, sekarang mengabdi di PonPes Manhalul Ma'arif Lombok Tengah

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default