Ketentuan Fiqih saat Suami Hilang karena Bencana
NU Online · Selasa, 16 Desember 2025 | 14:00 WIB

Ilustrasi seorang istri yang kehilangan suami. Sumber: Canva/NU Online.
Kolomnis
Bencana banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir tidak hanya menyebabkan kerusakan dan korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sekitar 205 orang hingga kini masih dinyatakan hilang.
Di antara mereka terdapat para suami yang keberadaannya belum diketahui. Kondisi ini bukan hanya menghadirkan duka mendalam, tetapi juga menimbulkan persoalan serius bagi keluarga yang ditinggalkan, khususnya para istri yang berada dalam ketidakpastian status pernikahan dan pemenuhan hak-haknya.
Lantas, bagaimana fiqih memandang status suami yang hilang akibat bencana? Dan bagaimana kedudukan hukum istrinya selama masa ketidakpastian tersebut?
Baca Juga
Syarat dan Ketentuan Jatuhnya Talak atau Cerai Suami-Istri
Dalam khazanah fiqih, suami yang hilang karena bencana dikategorikan sebagai mafqud (orang yang tidak diketahui keberadaannya). Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi kasus ini, terutama terkait status pernikahan dan jangka waktu yang diperlukan sebelum istri dapat menempuh langkah hukum tertentu.
Pendapat pertama menyatakan bahwa seorang perempuan tetap berstatus sebagai istri sah selama belum ada kepastian bahwa suaminya telah meninggal dunia. Kepastian tersebut dapat diperoleh melalui putusan hakim atau bukti kuat lain yang menunjukkan kematian suami. Setelah itu barulah istri diwajibkan menjalani iddah wafat.
Dengan demikian, selama proses pencarian dan evakuasi masih berlangsung, ikatan pernikahan tetap dianggap ada. Status suami-istri tidak gugur sebelum terdapat kepastian hukum atau fakta yang memastikan kematian suami, misalnya ketika pemerintah menyatakan tidak ada lagi korban yang mungkin ditemukan selamat, atau ketika jenazah suami telah ditemukan dan berhasil diidentifikasi.
Pendapat ini sejalan dengan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa hukum asal seseorang adalah tetap hidup hingga terdapat bukti yang memastikan kematiannya. Karena itu, ikatan pernikahan pun dianggap tetap berlangsung. Pandangan ini merupakan qaul jadid Imam Syafi’i sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ar-Ramli:
وَمَنْ غَابَ لِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ) (لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يَتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ
Baca Juga
Suami Tidak Memberi Nafkah Batin Selama 3 Bulan Berturut-Turut. Apakah Jatuh Talak?
Artinya, “Dan suami yang hilang karena perjalanan atau sebab lainnya, (lalu terputus kabarnya, maka bagi istrinya tidak boleh menikah lagi sampai ada keyakinan) yakni sampai diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita yang tersebar luas, atau adanya putusan hukum (atas kematiannya atau talaknya), atau yang semisal keduanya, seperti murtad suami sebelum hubungan suami istri atau sesudahnya dengan syaratnya. Kemudian ia menjalani iddah. Karena hukum asalnya adalah suami tetap hidup dan pernikahannya masih berlangsung secara yakin. Maka keduanya tidak hilang kecuali dengan keyakinan pula, atau dengan sesuatu yang disamakan dengannya.” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1984], jilid VII, halaman 148).
Selain itu, pendapat qaul jadid Imam Syafi’i ini juga didasari pada hadits Rasulullah SAW berikut:
امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ امْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا الْخَبَرُ
Artinya: “Istrinya orang yang hilang adalah (masih menjadi) istrinya sampai datangnya kabar”. (HR. Ad-Daraquthni).
Baca Juga
Hukum Mengucapkan Talak Tiga Sekaligus
Pendapat kedua, si perempuan wajib menunggu selama empat tahun qamariyyah. Setelah masa tersebut, baru ia menjalani iddah wafat, kemudian diperbolehkan menikah kembali. Masa empat tahun digunakan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan.
Sedangkan perhitungannya dimulai sejak hilangnya suami atau sejak adanya keputusan hakim terkait kematiannya. Pendapat kedua ini merupakan pendapat qaul qadim Imam Syafi’i:
وَفِي الْقَدِيمِ: تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ مِنْ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يَعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ، وَقِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةِ وَتُنْكَحُ)
Artinya, “(Dan menurut qaul qadim: si perempuan harus menunggu selama empat tahun), dihitung sejak keputusan hakim, maka masa sebelum itu tidak diperhitungkan. Ada pula pendapat yang mengatakan sejak waktu hilangnya suami. (Kemudian ia menjalani iddah karena wafat, dan setelah itu boleh menikah kembali).” (Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1984], jilid VII, hlm. 148)ز
Qaul qadim Imam Syafi’i ini bersandar pada putusan Sayyidina Umar bin Khattab terhadap perempuan yang ditinggal suaminya. Sayyidina Umar memerintahkan perempuan tersebut untuk menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani iddah. Riwayat ini dikutip oleh Imam asy-Syairazi dalam al-Muhadzdzab:
روى عمر بن دينار عن يحيى بن جعدة أن رجلًا استهوته الجن فغاب عن امرأته فأتت عمر بن الخطاب فأمرها أن تمكث أربع سنين ثم أمرها أن تعتد ثم تتزوج
Artinya, “Umar bin Dinar meriwayatkan dari Yahya bin Ja‘dah bahwa ada seorang laki-laki yang dipengaruhi jin sehingga ia menghilang dan meninggalkan istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Umar bin Khattab. Umar memerintahkannya agar menunggu selama empat tahun. Setelah itu ia memerintahkannya untuk menjalani iddah. Lalu ia boleh menikah kembali.” (Abu Ishaq asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2010], jilid III, halaman 123).
Sementara itu, Komisi Bahtsul Masail Waqiiyah Munas Alim Ulama NU tahun 2006 di Surabaya memutusakan hal serupa. Forum para ulama tersebut memutuskan, dalam kondisi istri yang kehilangan suaminya terdapat beberapa pendapat dari kalangan ulama dengan rincian sebagai berikut:
- Sesuai keputusan hakim, baik karena fasakh (pembatalan perkawinan karena sebab yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai), maupun pelanggaran ta’liq thalaq (Lihat Ahkamul Fuqaha, halaman 442).
Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam konteks pernikahan Islam di Indonesia, status seorang istri yang suaminya hilang dan tidak diketahui keberadaannya karena bencana disebut dengan kasus Mafqud (orang hilang). Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pedoman hukum untuk mengatasi ketidakpastian ini, yang memungkinkan istri untuk mendapatkan kepastian status perkawinannya.
Kompilasi Hukum Islam memang tidak secara tegas menyebut bencana alam sebagai alasan perceraian. Namun, kasus suami yang hilang akibat bencana dapat diselesaikan melalui ketentuan perceraian yang diatur dalam Pasal 116, khususnya huruf f.
Pasal ini menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi apabila suami meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah, atau karena sebab lain di luar kemampuannya.
Dalam konteks ini, bencana alam dapat dikategorikan sebagai sebab di luar kemampuan suami, bukan karena kehendaknya, sehingga menjadi dasar hukum bagi istri untuk mengajukan permohonan putusnya ikatan perkawinan ke Pengadilan Agama.
Jika diringkas, penjelasan di atas terangkum dalam beberapa poin di bawah ini:
Demikian penjelasan tentang suami yang hilang akibat bencana. Semoga penjelasan ini dapat menjadi pedoman dalam menentukan status pernikahan serta melindungi hak seorang istri. Waallahu a’lam.
Ustadz Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.