Romadhon
Puasa Itu Soal Keimanan, Tak Ada Alasan bagi Pekerja Berat Kecuali Ibu Hamil | Tebuireng Online

Oleh: KH. Musta’in Syafii
اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَسْلِيمًا كَثِيْرًا
اتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (الاحقاف:15)
أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ نَتَقَبَّلُ عَنۡهُمۡ أَحۡسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَنَتَجَاوَزُ عَن سَیِّـَٔاتِهِمۡ فِیۤ أَصۡحَـٰبِ ٱلۡجَنَّةِۖ وَعۡدَ ٱلصِّدۡقِ ٱلَّذِی كَانُوا۟ یُوعَدُونَ
Melanjutkan konsep Al-Qur’an tentang panduannya bagi orang yang sudah berusia 40 tahun. Ada enam panduan untuk bagi mereka yang telah berusia 40 tahun. Dalam hal ini kita akan membahas panduan yang ketiga, yakni وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ (semoga amal saya diridai Allah). Hidup berstandar Tuhan yang mendasar adalah teologis; prespsi keimanan.
Terkait mendownload Ridha Allah, Allah memanggil hambanya yang siap melakukan puasa Ramadhan dengan panggilan alladzina amanu. Itu artinya puasa bulan Ramdhan mesti harus ditunaikan sesempurna mungkin atas dasar keimanan. Mereka yang mempunyai keimanan, maka tidak akan mencari alasan untuk tidak berpuasa.
Meskipun Allah sendiri memberikan panduan terhadap orang-orang yang boleh tidak berpuasa. Yakni mereka yang uzur. Yang disebut uzur itu adalah persoalan insidental kasuistik, bukan persoalan harian diri pribadi. Kita ambil contoh; kebolehan tidak puasa karena safar/bepergian bahwa betul seseorang tersebut melakukan safar.
Lalu apakah safar tersebut mencakup pekerjaan dalam keadaan safar? Seperti sopir. Tanyakan saja ke sopir, “mau rekreasi kemana Anda?” pasti mereka akan marah, karena mereka bukan musafir tapi pekerjaan. Sehingga ia tidak boleh meninggalkan puasa dengan alasan safar. Begitu pula orang yang punya pekerjaan berat. Lalu alasan pekerjaan itu mereka pakai dalih untuk tidak berpuasa, lantas kapan meraka qadha’? Abu Hurairah RA sebut saja tidak punya rumah, bertempat tinggal di suffah, kesehariannya kuli panggul. Akan tetapi puasa mereka tetap aktif. Buat dan tidaknya pekerjaan itu bisa dibuat sendiri. Sehingga meninggalkan puasa dengan alasan pekerjaan berat itu tidak diperkenankan.
Dari sekian uzur yang tertinggi adalah seorang ibu yang hamil yang menyusui. Tingkat keparahan uzur seorang ibu itu disebut dalam Al-Qur’an dengan وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ (payah di atas payah/wahnan ‘ala wahnin). Bahkan kondisi hamil itu juga disebut حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا (Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)/hamalathu ummuhu kurha, wa wadho’athu kurha) Oleh karena itu di dalam fikih, bahwa rukhsah terhadap orang hamil dan menyusui itu boleh fidyah.
Baca juga: Ramadan Merupakan Cara Membangun Budi Pekerti yang Luhur
Kita tahu bahwa terdapat perincian mengenai perempuan hamil atau menyusui itu tentang “apakah ia khawatir terhadap dirinya, bayinya, atau dirinya sekaligus bayinya”. Ketika ia khawatir akan bayinya saja, maka ia wajib fidyah plus qadha’. Silahkan mengikuti pendapat ini, kami pribadi tidak selera. Bagi kami orang hamil itu membantu kerja Tuhan dalam penciptaan manusia, sehingga pantas disebut kurhan dan wahnin ‘ala wahnin. Bagi kami ibu yang sedang hamil atau menyusui silahkan pilih qadha’ saja, atau fidyah saja.
Di luar itu, ada cerita unik dari kerjaan Jawa dahulu mengenai mengunduh Ridha Allah di dalam bulan Ramadhan. Kita ambil contoh shalat Tarawih. Pada sela-sela Tarawih ada tradisi menyebut nama-nama khalifah oleh bilal, sementara dijawab oleh makmun dengan radhiyallahu ‘anhu. Kisah sebenarnya begini, dulu ada adipati lokal bernama Ki Ageng Pengging II yang ada di Boyolali teritori kerjaan Demak. Ki Ageng Pengging ini—kalau tidak salah ayah Joko Tingkir—punya teologi Syiah Rafidhah yang mencela-cela khalifah. Diceritakan bahwa ia punya dia anjing besar masing-masing diberi nama Abu Bakar dan Umar. Sikapnya dinilai tidak patuh terhadap konstitusi kerajaan Demak yang umumnya Sunni tanpa memilih antar para sahabat Nabi. Sehingga ia dihukum mati oleh Raden Patah.
Lantas bagaimana cara para ulama’ dan kyai saat itu untuk menyikapi hal ini? Mereka memerintahkan kepada para masyarakat muslim agar membuat tradisi taradhi (sikap ridha akan para sahabat Nabi) di sela-sela Tarawih. Saat bilal/muraqqi mengucap al-khalifatul awwal Sayyiduna Abu Bakr, Tardhauna ‘anhu? (Khalifah Pertama adalah Abu Bakar, apakah kalian ridha?) dijawab oleh jamaah, nardhauna ‘anhu (kita semua Ridha). Lalu pada hari ini disingkat menjadi radhiyahu ‘anhu. Itulah kreasi-kreasi ulama’ dulu yang mampu menyelipkan komitmen keimanan tidak sekedar kepada Allah dan Rasul. Melainkan mampu menanamkan rasa ridha dan syukur terhadap para Khalifah Nabi. Para ulama’ terdahulu begitu hebat membela rasa ridha kita kepada para sahabat Nabi.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Transkip: Yuniar Indra Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar