Lima Pilar Kebahagiaan: Warisan Bijak dari Ibn Miskawayh - Lirboyo

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, kebahagiaan tampaknya menjadi sesuatu yang semakin langka. Akhir-akhir ini, hanya sedikit orang yang benar-benar merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Bahkan, tak jarang di antara mereka yang tampak tersenyum pun sebenarnya menyimpan beban batin yang berat. Rutinitas yang padat, tekanan ekonomi, hingga krisis makna hidup telah membuat banyak orang kehilangan ketenangan dan rasa syukur—dua unsur utama dari kebahagiaan sejati.
Ibn Miskawayh; Sang filsuf islam
Padahal, jauh sebelum zaman ini, para ulama dan filsuf Muslim telah banyak menjelaskan bagaimana seseorang bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki. Salah satu tokoh yang cukup menonjol adalah Abū ʿAlī Aḥmad bin Muḥammad bin Yaʿqūb Miskawayh, seorang filsuf dan cendekiawan besar dalam khazanah Islam klasik. Dalam karya monumentalnya Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-Aʿrāq, ia membagi kebahagiaan menjadi lima unsur utama yang saling melengkapi.
Baca juga: Jangan Memberikan Doa Celaka, Doakanlah Hidayah
Beliau menjelaskan makna kebahagian secara umum dari segi filsafat islam. Berikut penjelasannya:
وَأَمَّا أَقْسَامُ السَّعَادَةِ عَلَى مَذْهَبِ هٰذَا الْحَكِيمِ فَهِيَ خَمْسَةُ أَقْسَامٍ.
Adapun macam-macam kebahagiaan menurut pandangan filsuf ini (yakni filsuf Muslim klasik seperti Ibn Miskawayh atau al-Fārābī), maka kebahagiaan terbagi menjadi lima bagian:
Pertama
أَحَدُهَا فِي صِحَّةِ الْبَدَنِ وَلُطْفِ الْحَوَاسِّ، وَيَكُونُ ذٰلِكَ مِنِ اعْتِدَالِ الْمِزَاجِ، أَعْنِي أَنْ يَكُونَ جَيِّدَ السَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَالشَّمِّ وَالذَّوْقِ وَاللَّمْسِ.
Pertama, kebahagiaan terletak pada kesehatan jasmani dan kelembutan indra, yaitu jika temperamen tubuhnya seimbang, maksudnya: ia memiliki pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan peraba yang baik.
Baca juga: Filosofi Sya’ban Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Kedua
وَالثَّانِي فِي الثَّرْوَةِ وَالْأَعْوَانِ وَأَشْبَاهِهِمَا، حَتَّى يَتَّسِعَ لِأَنْ يَضَعَ الْمَالَ فِي مَوْضِعِهِ، وَيَعْمَلَ بِهِ سَائِرَ الْخَيْرَاتِ، وَيُوَاسِيَ مِنْهُ أَهْلَ الْخَيْرَاتِ خَاصَّةً، وَالْمُسْتَحِقِّينَ عَامَّةً، وَيَعْمَلَ بِهِ كُلَّ مَا يَزِيدُ فِي فَضَائِلِهِ، وَيَسْتَحِقُّ الثَّنَاءَ وَالْمَدْحَ عَلَيْهِ.
Kedua, kebahagian terdapat pada kekayaan dan bantuan orang-orang sekitar serta hal-hal serupa,
sehingga ia memiliki keluasan untuk meletakkan harta pada tempatnya, menggunakannya untuk berbagai kebaikan, membantu orang-orang saleh secara khusus, dan mereka yang membutuhkan secara umum,
serta menggunakannya dalam segala hal yang menambah keutamaannya dan membuatnya layak untuk mendapat pujian.
Ketiga
وَالثَّالِثُ أَنْ تَحْسُنَ أُحْدُوثَتُهُ فِي النَّاسِ، وَيَنْشُرَ ذِكْرُهُ بَيْنَ أَهْلِ الْفَضْلِ، فَيَكُونَ مَمْدُوحًا بَيْنَهُمْ، وَيُكْثِرُونَ الثَّنَاءَ عَلَيْهِ، لِمَا يَتَصَرَّفُ فِيهِ مِنَ الْإِحْسَانِ وَالْمَعْرِفَةِ.
Ketiga, dalam hal kebahagian, seseorang memiliki reputasi yang baik di tengah masyarakat, namanya terkenal di kalangan orang-orang mulia, ia dipuji di antara mereka, dan mereka banyak menyanjungnya karena kebaikan dan ilmunya.
Baca juga: Al-Adzkar: Beruntungnya Badui yang Ziarah ke Makam Nabi Saw
Keempat
وَالرَّابِعُ أَنْ يَكُونَ مُنْجِحًا فِي الْأُمُورِ، وَذٰلِكَ إِذَا اسْتَتَمَّ كُلَّ مَا رَوَى فِيهِ وَعَزَمَ عَلَيْهِ، حَتَّى يَصِيرَ إِلَىٰ مَا يَأْمُلُهُ مِنْهُ.
Keempat, ia berhasil dalam urusannya, yaitu apabila segala rencana dan tekadnya terlaksana,
dan ia memperoleh apa yang diharapkannya.
Kelima
وَالخَامِسُ أَنْ يَكُونَ جَيِّدَ الرَّأْيِ، صَحِيحَ الْفِكْرِ، سَلِيمَ الِاعْتِقَادَاتِ فِي دِينِهِ وَغَيْرِ دِينِهِ، بَرِيئًا مِنَ الْخَطَإِ وَالزَّلَلِ، جَيِّدَ الْمَشُورَةِ فِي الْآرَاء.
Kelima, ia memiliki pendapat yang baik, pikiran yang sehat, dan keyakinan yang benar dalam agama maupun di luar agama, terbebas dari kesalahan dan kekeliruan, dan bijak dalam memberikan nasihat dan pendapat.
Baca juga: Refleksi: Fenomena Konten S-Line, Saat Aib Justru Dijadikan Hiburan Publik
فَمَنْ اجْتَمَعَتْ لَهُ هٰذِهِ الْأَقْسَامُ كُلُّهَا، فَهُوَ السَّعِيدُ الْكَامِلُ عَلَىٰ مَذْهَبِ هٰذَا الرَّجُلِ الْفَاضِلِ، وَمَنْ حَصَلَ لَهُ بَعْضُهَا، كَانَ حَظُّهُ مِنَ السَّعَادَةِ بِحَسَبِ ذٰلِكَ
Barang siapa yang memiliki kelima bagian ini secara sempurna, maka ialah orang yang bahagia secara sempurna menurut pandangan orang bijak tersebut. Dan barang siapa yang mendapatkan sebagian, maka bagian kebahagiaannya sesuai dengan apa yang ia peroleh. [Abū ʿAlī Aḥmad bin Muḥammad bin Yaʿqūb Miskawayh, Tahdzīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-Aʿrāq, h. 91.]
Penutup: Menghidupkan Kembali Makna Bahagia
Di era yang serba materialistis ini, ajaran Ibn Miskawayh menjadi oase pemikiran yang menyegarkan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak sekadar tentang kekayaan atau pencapaian luar, melainkan juga menyangkut integritas batin, keseimbangan fisik, dan kearifan dalam berpikir serta bersikap. Mungkin, sudah saatnya kita kembali merenungi definisi bahagia dan mulai membangunnya dari dalam diri, sebagaimana diajarkan para bijak terdahulu
Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo