Larangan Nabi untuk Sombong dan Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial
Kesombongan merupakan salah satu sifat yang amat sangat tidak terpuji. Dalam bahasa Arab istilah sombong yakni takabbur, sedangkan dalam salah satu asma’ul husna Allah mempunyai salah satu nama yakni al-Mutakabbir yang artinya Maha Agung. Oleh karena itu sejatinya yang berhak sombong dalam arti yang berhak menunjukkan superioritas dirinya hanyalah Allah semata karena memang hanya Allah.
Sombong yang ada di diri seseorang sejatinya hanya dalam hati, kemudian selanjutnya tergantung orangnya apakah ia mengekspresikannya lewat perilaku atau tidak. Namun, baik sombong yang hanya ada pada hati ataupun dalam hati atau keduanya tetaplah tidak baik. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” Ada seseorang yang bertanya: “Bilamana seseorang ingin berpenampilan bagus dengan baju dan sandalnya (apakah termasuk dari kesombongan)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah itu indah dan cinta terhadap keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.[1]
Dilihat dari tekstual hadis sangatlah beresiko bagi orang yang sombong karena dampaknya dapat membuat orang tidak masuk surga.
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Minhaj menjelaskan maksud hadis di atas adalah:
فَإِنَّ هَذَا الْحَدِيثَ وَرَدَ فِي سِيَاقِ النَّهْيِ عَنِ الْكِبْرِ الْمَعْرُوفِ وَهُوَ الِارْتِفَاعُ عَلَى النَّاسِ وَاحْتِقَارُهُمْ وَدَفْعُ الْحَقِّ
Sesungguhnya hadis ini disampaikan dalam konteks larangan terhadap kesombongan yang dikenal, yaitu mengangkat diri di atas orang lain, merendahkan mereka, dan menolak kebenaran.[2]
Kesombongan bukan hanya punya dampak yang tidak baik dalam sudut pandang agama. Dalam kehidupan sosial pun kesombongan dianggap sebagai bom waktu bagi pelakunya. Beberapa hal ini bisa timbul akibat seseorang melakukan kesombongan
- Dibenci banyak orang
Orang yang sombong tentunya akan memamerkan hal-hal yang lebih atas dirinya didepan orang lain. Perilaku seperti ini tentunya tidak semua orang menyukai hal tersebut apalagi jika disertai sikap merendahkan orang lain bagi orang yang pamer tersebut, dan pastinya akan menimbulkan sakit hati.
- Sulit mendapat pertolongan ketika susah
Pelaku sombong yang telah melakukan kesombongan kepada orang lain sehingga membuat orang lain sakit hati biasanya akan sulit mendapatkan pertolongan orang lain ketika ia mendapatkan musibah. Hal ini diakibatkan oleh sikap dirinya sendiri yang seakan akan tidak membutuhkan orang lain saat dirinya diatas.
- Sulit mendapatkan teman
Seseorang tentunya mendampakan punya seorang teman yang baik yang tidak suka merendahkan orang lain apalagi membuat sakit hati. Nah, orang yang sombong sejatinya adalah orang yang merendahkan orang lain dengan cara meninggikan dirinya sendiri dengan apa yang dia miliki. Akibat dari sifat ini oang yang sombong sulit mendapatkan teman.
- Meningkatkan resiko adanya konflik
Sakit hati yang dipendam lama kelamaan bisa menimbulkan bahaya apabila tidak di manajemen dengan baik. Sifat sombong yang menyebabkan seseorang sakit hati juga bisa menimbulkan bahaya dengan potensi adanya konflik semisal pencurian yang diakibatkan sakit hati kemudian jadi sikap iri/hasud.
Kesombongan sejatinya adalah sifat yang tidak terpuji, bukan dalam Islam saja kita dilarang sombong. Dalam tatanan masyarakat sosial kita juga dilarang untuk sombong karena dampaknya sangat merugikan kita. Maka dari itu sebisa mungkin kita menjauh dari sifat sombong ini karena tidak ada manfaatnya sama sekali.
Penulis: Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Teburieng
Editor: Rara Zarary
[1] HR Imam Muslim, No. 131.
[2] An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, 91/2.
- TAG