Bunuh Diri 3 Siswa di Sukabumi dan Sawahlunto, KPAI: Perlu Sistem Deteksi Dini
NU Online · Rabu, 5 November 2025 | 13:30 WIB
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono. (Foto: dokumentasi pribadi)
Jakarta, NU Online
Pada Akhir Oktober 2025, terdapat tiga kasus bunuh diri yang melibatkan siswa SMP di Sukabumi, Jawa Barat dan dua siswa SMP Sawahlunto, Sumatera Barat. Mereka diduga karena mendapat kekerasan verbal serta perundungan (bullying) oleh teman-temannya.
Baca Juga
Dosa Pelaku Bunuh Diri, Apakah Kekal di Neraka? (1)
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono menjabarkan bahwa tahun 2025, KPAI mencatat terdapat 25 anak yang mengakhiri hidupnya karena dugaan bullying.
“Ini menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan dan keluarga untuk lebih peka terhadap kesehatan mental anak dan remaja,” ujarnya saat dihubungi NU Online, Rabu (5/11/2025).
Baca Juga
Humor Gus Dur: Bom Bunuh Diri dan Bidadari Surga
Aris menyampaikan bahwa setiap kasus anak yang kehilangan harapan hidup mencerminkan lemahnya sistem deteksi dini terhadap masalah psikologis di lingkungan sekolah dan keluarga.
Baca Juga
Sikap Nabi kepada Orang yang Hendak Membunuhnya
“KPAI mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning system yang efektif di sekolah dan komunitas. Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stres berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa perlu sistem deteksi dini perlu didorong oleh pemerintah dan sekolah untuk mengintegrasikan sistem deteksi dini dalam ekosistem pendidikan.
Aris menambahkan, sistem tersebut dapat dilakukan melalui pertama, penguatan fungsi guru, khususnya guru BK (bimbingan konseling), agar lebih proaktif memantau kondisi sosial-emosional siswa. Kedua, pelatihan guru dan siswa sebaya (peer counselor) dalam mengenali tanda-tanda depresi, stres, atau perilaku menarik diri.
“Ketiga, koordinasi yang berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait saat ditemukan anak dengan risiko tinggi psikisnya. Keempat, pemanfaatan data presensi, perilaku, dan interaksi sosial siswa sebagai indikator awal gangguan kesejahteraan mental,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa perlunya dukungan psikologis awal atau early psychological support system sebagai langkah cepat dan empatik dalam pencegahan kekerasan bagi siswa, termasuk perundungan.
“Dukungan psikologis awal perlu dilakukan melalui pendampingan oleh psikolog sekolah atau tenaga kesehatan mental puskesmas segera setelah muncul gejala atau laporan risiko,” ujarnya.
Keterlibatan aktif keluarga dalam proses pemulihan anak melalui komunikasi positif dan penguatan spiritual. Dan perlu adanya pembentukan tim krisis psikologis tingkat kabupaten/kota, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan P2TP2A,” lanjut Aris.
Aris menyampaikan bahwa KPAI memiliki layanan pengaduan secara online yang mudah untuk diakses dan aman bagi anak melalui laman KPAI .
“Itu pintu masuk penanganan hingga pemulihan, serta sarana pemenuhan hak keadilan bagi korban, serta efek jera bagi pelaku. Mekanisme pelaporan yang aman bagi pelapor sudah diatur di dalam kebijakan Permendikbud 46/2023, salah satunya melindungi identitas pelapor,” ujarnya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu menegakan bahwa keluarga menjadi benteng utama bagi kesehatan mental anak.
“Kami mengimbau agar orang tua untuk meningkatkan interaksi emosional dan waktu berkualitas dengan anak, tidak menumpuk tekanan akademik atau ekspektasi berlebihan, serta memastikan anak tidak terpapar konten negatif di media sosial yang dapat memicu rasa rendah diri atau imitasi tindakan berbahaya,” pungkasnya.