Konsekuensi Suami Istri yang Jimak di Siang Ramadhan karena Tidak Tahu Hukumnya
NU Online · Rabu, 22 Oktober 2025 | 21:00 WIB

Ilustrasi suami istri. (Foto: NU Online/Freepik)
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Saya ingin bertanya. Saya sudah menikah sekitar delapan tahun, dan pada waktu itu saya belum tahu bahwa berhubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan termasuk dosa besar dan harus membayar kafarat.
Saya juga sudah lupa berapa kali hal itu dilakukan, karena memang saya tidak mengetahui hukumnya saat itu. Pertanyaan saya, apakah saya dan suami wajib membayar kafarat? Dan jika yang wajib membayar adalah suami, apakah saya sebagai istri juga harus membayar?
Baca Juga
Kafarat Bersetubuh di Siang Hari Ramadhan, Suami Istri Harus Perhatikan
Kemudian, apabila kafaratnya berupa memberi makan 60 fakir miskin, bagaimana cara perhitungannya? Apakah boleh diberikan dalam bentuk nasi bungkus? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban:
Waalaikumussalam Wr. Wb. Terima kasih atas pertanyaannya, pembaca setia NU Online di mana pun Anda berada. Terkait persoalan yang ditanyakan oleh penanya, terdapat beberapa pembahasan yang perlu diurai ke dalam beberapa poin.
Baca Juga
Hukum Hubungan Intim di Siang Ramadhan untuk Pasutri yang Tidak Berpuasa
Pertama, hubungan badan di siang hari Ramadhan termasuk hal yang membatalkan puasa. Dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib, Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi menjelaskan bahwa salah satu pembatal puasa adalah berhubungan badan dengan sengaja pada siang hari Ramadhan:
الخامس (الوطء عمدا في الفرج)؛ فلا يفطر الصائم بالجماع ناسيا
Artinya, “Kelima, jima‘ (hubungan badan) dengan sengaja pada kemaluan; maka orang yang berjima‘ karena lupa tidak batal puasanya,” (Fath al-Qarib al-Mujib, [Beirut, Dar Ibn Hazm, 2005/1425], hlm. 138).
Artinya, hubungan suami-istri pada siang hari Ramadhan membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja, sedangkan jika lupa, puasanya tetap sah. Namun dalam kasus yang disampaikan penanya, hubungan dilakukan karena tidak tahu hukumnya, bukan karena lupa.
Kedua, kewajiban kafarat bagi pelaku jimak di siang hari Ramadhan. Masih dalam kitab yang sama, disebutkan, “Siapa yang berjimak di siang hari Ramadhan dengan sengaja, sedangkan ia dalam keadaan mukallaf dan telah berniat puasa sejak malam, maka ia berdosa karena jimak tersebut, dan wajib mengganti (qadha) serta membayar kafarat."
Kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak yang beriman. Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu juga, maka memberi makan 60 orang miskin, masing-masing satu mud dari makanan pokok (setara sekitar 0,6–0,7 kg beras). Jika tidak mampu seluruhnya, maka kewajiban itu tetap menjadi tanggungan sampai ia mampu melaksanakannya,” (Fath al-Qarib al-Mujib, h. 149).
Kafarat ini berlandaskan hadits shahih dari Abu Hurairah RA tentang seorang sahabat yang mengadu kepada Rasulullah SAW karena berjimak dengan istrinya di bulan Ramadhan. Nabi SAW kemudian menyebutkan tiga pilihan kafarat secara berurutan, yaitu memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga, apakah orang yang tidak tahu hukumnya tetap wajib kafarat? Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab menjelaskan:
إذَا وَطِئَ الصَّائِمُ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ وَقَالَ جَهِلْتُ تَحْرِيمَهُ فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ لِقُرْبِ إسْلَامِهِ وَنَحْوِهِ فَلَا كَفَّارَةَ وَإِلَّا وَجَبَتْ وَلَوْ قَالَ عَلِمْتُ تَحْرِيمَهُ وَجَهِلْتُ وُجُوبَ الْكَفَّارَةِ لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ بِلَا خِلَافٍ ذَكَرَهُ الدَّارِمِيُّ وَغَيْرُهُ وَهُوَ وَاضِحٌ وَلَهُ نَظَائِرُ مَعْرُوفَةٌ لِأَنَّهُ مُقَصِّرٌ
Artinya, “Jika orang yang berpuasa berjimak di siang Ramadhan lalu berkata, ‘Aku tidak tahu bahwa hal itu haram,’ maka jika ia termasuk orang yang bisa dimaafkan ketidaktahuannya; misalnya baru masuk Islam atau hidup di tempat yang jauh dari ulama, maka tidak ada kafarat baginya. Tetapi jika bukan demikian, maka ia tetap wajib membayar kafarat. Adapun jika ia tahu bahwa jimak itu haram tetapi tidak tahu adanya kewajiban kafarat, maka ia tetap wajib membayar kafarat tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama, sebagaimana dijelaskan ad-Darimi dan lainnya,” (Al-Majmu', [Beirut, Darul Fikr, t.t], juz VI, hlm. 345).
Berdasarkan keterangan ini, orang yang sudah lama memeluk agama Islam dan tinggal di lingkungan muslim, tetapi tidak tahu hukumnya karena kelalaian, tetap wajib membayar kafarat. Ketidaktahuan yang dapat dimaafkan hanyalah bagi mereka yang baru masuk Islam atau benar-benar jauh dari sumber pengetahuan agama.
Keempat, apakah istri juga wajib membayar kafarat? Masih menurut Imam an-Nawawi, “Pendapat yang sahih dalam mazhab kami (Syafi'i) bahwa kafarat hanya wajib bagi suami, bukan bagi istri. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad. Sedangkan Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan Ibnu al-Mundzir berpendapat istri juga wajib kafarat. Tetapi pendapat yang sahih adalah tidak wajib bagi istri,” (Al-Majmu', juz VI, hlm. 345)
Dengan demikian, kafarat hanya wajib bagi suami sebagai pihak yang memimpin dan bertanggung jawab dalam hubungan tersebut. Adapun istri cukup mengganti puasa (qadha) tanpa kafarat, selama ia melakukannya dengan kerelaan dan tidak dipaksa. Namun bila ia dipaksa, maka tidak wajib qadha dan tidak pula kafarat.
Kelima, tata cara kafarat memberi makan 60 fakir miskin. Kafarat yang dilakukan dengan memberi makan 60 orang miskin dapat diberikan dalam bentuk makanan siap saji (misalnya nasi bungkus), atau bahan makanan mentah seperti beras. Setiap orang miskin menerima satu mud, yaitu ukuran yang setara dengan ±0,6–0,7 kg beras. Dengan demikian, jika kafarat berupa beras, maka totalnya sekitar 36–42 kg beras untuk satu kali pelanggaran.
Apabila pelaku tidak mampu melaksanakan kafarat saat ini, maka kewajiban tersebut tetap menjadi tanggungan. Ia dapat menunaikannya ketika telah mampu, sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Qarib al-Mujib.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan poin-poin pentingnya adalah:
- Urutan kafarat adalah: [1] Memerdekakan budak (kini sudah tidak ada sistem perbudakan; namun jika dikonversi dari emas ke rupiah, mengambil studi kasus Bilal bin Rabah yang dibebaskan oleh Abu Bakar RA, nilai tebusannya adalah “9 uqiyah emas”, yaitu ± 285,73 gram emas, kini ± 639 juta rupiah); [2] Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut; [3] Jika tidak mampu, memberi makan 60 fakir miskin.
- Memberi makan 60 fakir miskin boleh dalam bentuk nasi bungkus atau bahan pokok, masing-masing setara satu mud ±0,6–0,7 kg beras, sehingga totalnya 36–42 kg beras untuk satu kali kafarat.
- Jika lupa berapa kali pelanggaran terjadi, maka ia memperkirakan jumlahnya secara wajar dan menunaikan kafarat sesuai perkiraan terbaiknya. Wallahu a'lam bishshawab.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.