Anak Tertabrak di Jalan, Salah Siapa? Ini Kata Ulama Fiqih - NU Online

Central Informasi
By -
0

 

Anak Tertabrak di Jalan, Salah Siapa? Ini Kata Ulama Fiqih

NU Online  ·  Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35 WIB

Anak Tertabrak di Jalan, Salah Siapa? Ini Kata Ulama Fiqih

Anak Tertabrak di Jalan (freepik)

Muhammad Zainul Millah

Kolomnis

Jalan raya, sebagai fasilitas umum, menuntut kehati-hatian maksimal dari setiap pengguna. Kasus kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian anak kecil -seperti berlari tiba-tiba ke jalan hingga memaksa pengendara menghindari dan menabrak pembatas- menimbulkan pertanyaan mendasar dalam fiqih: Siapakah yang wajib menanggung ganti rugi atas kerusakan yang terjadi?

Dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat anak menyeberang jalan secara sembarangan, secara umum hal tersebut merupakan kesalahan anak dan orang tuanya. Orang tua dinilai lalai karena membiarkan serta tidak mengawasi anak dengan baik, terutama di lokasi yang rawan kecelakaan seperti pinggir jalan.

Perlu ditegaskan bahwa tindakan anak yang menyeberang jalan tidak pada tempatnya menjadi faktor utama terjadinya kecelakaan. Perilaku tersebut jelas melanggar aturan keselamatan berlalu lintas dan menimbulkan risiko serius, baik bagi anak itu sendiri maupun bagi pengguna jalan lainnya.

Baca Juga

Amalan agar Anak Bebas dari Perbuatan Zina Sepanjang Hidup

Meskipun hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tetap membuka kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengemudi apabila terbukti lalai, tindakan anak yang menyeberang secara sembarangan merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam menilai penyebab kecelakaan. Bahkan, kesalahan tersebut dapat mengurangi atau memengaruhi tingkat pertanggungjawaban pengemudi secara hukum.

Dengan demikian, meskipun pengemudi diwajibkan untuk selalu waspada dan berhati-hati, tidak dapat diabaikan bahwa tindakan anak yang menyeberang sembarangan merupakan bentuk kelalaian yang signifikan dan berperan besar dalam terjadinya kecelakaan, sehingga penyelesaian perkara kerap mempertimbangkan kondisi tersebut, termasuk melalui upaya damai di luar pengadilan.

Baca Juga

Gus Mus: Shalat Jumat di Jalan Raya Bid'ah Besar

Menurut hukum Islam, kecelakaan mobil yang terjadi saat menabrak pembatas jalan, karena menghindari anak yang menyeberang sembarangan, merupakan keputusan pengemudi, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban, termasuk keluarga si anak. 

Dalam kajian fiqihnya, keberadaan anak yang tiba-tiba menyeberang di jalan, dianggap tindakan yang ceroboh dan salah. Namun si anak, atau wali dari anak tersebut tidak dapat dituntut ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi. 

Baca Juga

Kiai M Faizi Singgung Pentingnya Akhlak di Jalan Raya

Hal ini dikarenakan ketika ada dua faktor dalam terjadinya kerusakan suatu harta atau nyawa, yaitu pelaku (mubasyir) dan orang yang menjadi penyebab (musabbib). Maka tanggung jawab dibebankan pada mubasyir atau yang penyebab kecelakaan. Keterangan ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Al-Mawardi: 


 
وَإِذَا اجْتَمَعَ السَّبَبُ وَالْمُبَاشَرَةُ، سَقَطَ حُكْمُ السَّبَبِ بِالْمُبَاشَرَةِ

Artinya “​Apabila berkumpul antara sebab dan mubasyarah (eksekusi langsung), maka hukum bagi sebab gugur karena adanya mubasyarah.” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Imiyah, 1994]  juz IV, halaman 308)

Sementara itu, menurut Imam An-Nawawi, jika anak tersebut menyeberang sembarangan di tempat yang tidak seharusnya, jika pengendara sudah berkendara sesuai aturan (kecepatan normal dan fokus), ia tidak menanggung denda (dhaman) karena posisi anak tersebut yang dianggap bersalah.

وَلَوْ عَثَرَ بِقَاعِدٍ أَوْ نَائِمٍ أَوْ وَاقِفٍ بِالطَّرِيقِ وَمَاتَا أَوْ أَحَدُهُمَا فَلَا ضَمَانَ إنْ اتَّسَعَ الطَّرِيقُ، وَإِلَّا فَالْمَذْهَبُ إهْدَارُ قَاعِدٍ وَنَائِمٍ، لَا عَاثِرٍ بِهِمَا وَضَمَانُ وَاقِفٍ لَا عَاثِرٍ بِهِ.

Artinya “Jika seseorang tersandung oleh orang yang sedang duduk, tidur, atau berdiri di jalan, lalu keduanya mati atau salah satunya saja yang mati, maka ​jika jalanan tersebut luas, maka tidak ada kewajiban ganti rugi.

Jika jalanan sempit, maka menurut pendapat yang kuat dalam mazhab, nyawa orang yang duduk dan tidur adalah sia-sia (tidak ada ganti rugi), namun orang yang tersandung mereka tidak menanggung denda.

​Sedangkan untuk orang yang berdiri, ia dianggap bertanggung jawab (menanggung denda/diyat) atas orang yang menabraknya, sementara orang yang menabraknya tidak menanggung denda atas si penabung.” (Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin Wa Umdatul Muftin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] halaman 116).

Namun demikian, meskipun dalam permasalahan ini, anak dianggap bersalah, akan tetapi pengendara yang mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak pembatas jalan, ia tidak bisa menuntut ganti rugi kepada wali sang anak.   

Imam Umrani menjelaskan, orang yang takut kepada orang lain karena dia membawa senjata, kemudian orang tersebut memutuskan untuk menjatuhkan dirinya dalam sumur, maka pihak yang ditakuti tidak ada kewajiban ganti rugi apapun. 

إِذَا طَلَبَ رَجُلٌ رَجُلًا بَصِيرًا بِالسَّيْفِ، فَفَرَّ مِنْهُ، فَأَلْقَى نَفْسَهُ مِنْ سَطْحٍ وَهُوَ يَرَاهُ، أَوْ تَرَدَّى فِي بِئْرٍ أَوْ نَارٍ وَهُوَ يَرَاهَا، فَمَاتَ.. لَمْ يَجِبْ عَلَى الطَّالِبِ ضَمَانُهُ؛ لِأَنَّهُ حَصَلَ مِنَ الطَّالِبِ بِسَبَبٍ غَيْرِ مُلْجِئٍ وَمِنَ الْمَطْلُوبِ مُبَاشَرَةً، فَتَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِالْمُبَاشَرَةِ دُونَ السَّبَبِ، كَمَا لَوْ خَافَ مِنْهُ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ.

Artinya ​"Apabila seorang laki-laki mengejar laki-laki lain yang dapat melihat, dengan membawa pedang, lalu yang dikejar lari darinya, kemudian ia menjatuhkan dirinya dari atap, dan ia melihatnya, atau menjerumuskan diri ke dalam sumur atau api padahal ia melihatnya, lalu ia meninggal... maka orang yang mengejar tidak wajib menanggung ganti rugi atas kematiannya. 

Hal ini karena kematian tersebut terjadi dari pihak pengejar melalui sebab yang tidak memaksa (tidak darurat) dan dari pihak yang dikejar melalui tindakan langsung (mubāsyarah). Oleh karena itu, hukumnya terkait dengan tindakan langsung, bukan sebabnya, sebagaimana jika seseorang takut kepadanya lalu ia bunuh diri.” (Al-Bayan, [Beirut: Darul Fikr, 2019]  juz V, halaman 76)

Dalam kasus yang serupa, ketika seseorang teriak kepada orang lain yang sudah dewasa, sehingga ia kaget dan terjatuh sampai meninggal dunia, pihak yang teriak tidak terbebani kewajiban tanggung jawab. 

Imam An-Nawawi menjelaskan, Jika seseorang berteriak hingga menyebabkan orang dewasa yang berada di tempat tinggi kaget dan jatuh hingga meninggal, pelaku tidak dikenakan hukuman mati (Qisas), dan menurut pendapat yang paling kuat (Ashaḥ), ia juga tidak diwajibkan membayar Diyat (ganti rugi/denda) karena kematian tersebut terjadi melalui sebab yang terlalu lemah dan jauh (bukan tindakan langsung).

وَلَوْ صَاحَ عَلَى بَالِغٍ عَلَى طَرَفِ سَطْحٍ وَنَحْوِهِ، فَسَقَطَ وَمَاتَ فَلَا قِصَاصَ، وَفِي الضَّمَانِ أَوْجُهٌ أَصَحُّهَا لَا يَجِبُ

Artinya ​"Dan jika seseorang berteriak keras kepada orang dewasa yang berada di tepi atap atau sejenisnya, lalu orang itu jatuh dan meninggal, maka tidak ada Qisas (hukuman balasan setimpal). Mengenai kewajiban dhamān (ganti rugi/denda), terdapat beberapa pendapat; dan yang paling sahih di antaranya adalah: Tidak wajib (membayar ganti rugi).” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013] juz VII, halaman 169) 

Dengan demikian, baik secara hukum negara maupun agama, tidak ada kewajiban bagi anak dan keluarganya untuk ganti rugi atas keputusan pengemudi untuk menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan.  Meski demikian, penyelesaian secara kekeluargaan dapat dilakukan dengan rasa penuh tanggung jawab, saling pengertian dan dengan tekat yang baik. Wallahu a’lam bish-shawab.

------------------

Muhammad Zainul Millah, Wakil katib PCNU Kab. Blitar

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default