KH Abdullah Kafabihi Mahrus: “NU Menyangkut Jutaan Orang, Tidak Bisa Disamakan dengan Pesantren” / NU Online

Central Informasi
By -
0

 

KH Abdullah Kafabihi Mahrus: “NU Menyangkut Jutaan Orang, Tidak Bisa Disamakan dengan Pesantren”

NU Online  ·  Sabtu, 20 Desember 2025 | 19:48 WIB


KH Abdullah Kafabihi Mahrus (Foto: Tangkapan layar Youtube Pesantren Lirboyo)

Achmad Risky Arwani Maulidi

Kontributor

Forum pertemuan antara kiai-kiai sepuh dan Mustasyar dengan para pihak yang bertikai dalam persoalan di PBNU sudah digelar dua kali. Yang pertama diselenggarakan di Pesantren Ploso, Kediri; yang kedua diadakan di Pesantren Tebuireng, Jombang. Namun, dua agenda tersebut belum bisa mempertemukan Rais Aam dengan Ketua Umum secara langsung. Hasil pertemuan Ploso dan Tebuireng juga belum menunjukkan tindak lanjut yang konkret.


Pertimbangan itu kemudian mendorong para kiai sepuh dan Mustasyar untuk mengadakan pertemuan lanjutan. Pada Ahad (21/12/2025) besok, atas permintaan Mustasyar, Pesantren Lirboyo, Kediri, menjadi tuan rumah pertemuan lanjutan yang diberi tajuk ‘Musyawarah Kubro’.


NU Online mendapat salinan digital surat undangan Musyawarah Kubro pada Kamis (18/12/2025). Dalam surat itu, terbubuh dua tanda tangan pengundang, yakni KH M Anwar Manshur sebagai Sohibul Hajat dan KH Abdullah Kafabihi Mahrus sebagai Sohibul Bait. Daftar penerima undangan tertera pula di dalamnya.


Kami kemudian mengajukan permohonan wawancara kepada KH Abdulloh Kafabihi Mahrus (Kiai Kafa). Ia bersedia. Di tengah kesibukan mengajar dan menerima tamu, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo berusia 65 tahun itu menyempatkan diri untuk interviu dengan kami pada Sabtu (20/12/2025).


Dalam wawancara selama 1,5 jam melalui Zoom, Kiai Kafa memaparkan pandangan-pandangan sekaligus kegelisahan-kegelisahannya atas persoalan di PBNU. “Jangan sampai kita saling menjatuhkan, melecehkan. Kalau konflik ini diterus-teruskan, siapa yang berdosa?” tuturnya.


Tapi Kiai Kafa tak cuma menyampaikan kegelisahan. Dengan suara khasnya yang halus dan tenang, ia masih sempat melontarkan seloroh bahwa dirinya salut dengan persoalan di PBNU hari-hari ini. “Saya acungkan jempol kepada PBNU. Belum Muktamar saja sudah bisa bikin gebrakan-gebrakan,” ujar kiai yang juga menjabat Rais Syuriyah PBNU itu sembari terkekeh.


Simak wawancara lengkap Kiai Kafa yang dituturkan kepada Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan, Redaktur Ahmad Muntaha, Produser Ahmad Naufa, dan Pewarta Achmad Risky AM. 

Baca Juga

Pesantren Lirboyo Undang Mustasyar PBNU hingga PWNU dan PCNU dalam Musyawarah Kubro


Dua pertemuan para kiai sepuh dan Mustasyar PBNU di Ploso dan Tebuireng tampaknya belum menghasilkan tindak lanjut yang jelas. Apakah Musyawarah Kubro di Lirboyo besok adalah kelanjutan dari dua pertemuan tersebut?


Nggihleres. Musyawarah Kubro di Lirboyo merupakan keprihatinan para kiai sepuh, Mustasyar PBNU, kiai-kiai Pesantren, PW, dan PC. Lantas, berdasarkan kepedulian tersebut, Lirboyo mau menjadi tuan rumah, meski dengan terpaksa sekali. Ini kan belum waktu libur [para santri]. Jadi, kami hanya menampung dan menyanggupi sebagai tuan rumah, sebagai ruang untuk memberikan solusi yang mudah-mudahan baik serta diridai oleh Allah.


Namun, kami tetap mengacungi jempol kepada PBNU. Hebat, sebelum Muktamar bisa-bisa saja membuat gebrakan-gebrakan macam ini. Tapi mungkin itu yang menjadi sisi menariknya. Hahaha. 


Kita sudah biasa dengan urusan [konflik] sesama orang NU. Biasanya dihiasi dengan ger-geran. Artinya, segala persoalan dan permasalahan yang sudah terjadi ini ada solusinya. Dan akhirnya, ya itu tadi, ger-geran, berpeluk-pelukan. Apalagi kita punya acara semacam halalbihalal dan lain-lain. Insya Allah kami husnudzan kepada kiai-kiai bahwa semuanya menginginkan NU itu baik. Sekali lagi kami acungi jempol kepada PBNU karena bisa membuat manajemen konflik yang luar biasa, sehingga NU menjadi perhatian. 


Kami sebagai tuan rumah, ya itu tadi, [menganggap Musyawarah Kubro] sebagai bentuk kepedulian terhadap Nahdlatul Ulama, organisasi yang didirikan oleh ulama. Dan yang merawat NU itu ulama dan santri-santri. Jadi, sebagai orang pesantren, kami terpanggil ke sana. Apalagi, misalkan saja, Kiai Abdul Karim (pendiri Pesantren Lirboyo) merupakan murid dari Almaghfurlah Syaikhuna Kiai Kholil Bangkalan. Lalu, Kiai Abdul Karim; Kiai Mahrus Ali, orang tua saya; dan Kiai Marzuki juga murid dari Hadratussyaikh Kiai Muhammad Hasyim Asy'ari. Maka kami peduli dengan apa yang terjadi dalam NU.


Dan jangan lupa, NU itu perpanjangan dakwah pesantren untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat, di pemerintah, bahkan di tingkat internasional, dan lain-lain. Jadi misalkan saja NU itu terpuruk, ini juga membahayakan bagi pesantren, bahkan juga bisa membahayakan bagi Indonesia yang kita cintai. Artinya kami berharap sekali NU, Nahdliyin, dan PBNU bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Kami berharap jangan sampai masalah ini diselesaikan orang di luar Nahdlatul Ulama. Karena bagaimanapun, ulama itu yang biasanya memberikan solusi atas masalah.


Bagaimana dunia pesantren memandang persoalan di PBNU ini?


Kita sebenarnya punya modal yang sangat luar biasa. Orang pesantren punya modal akhlak dan adab. Dalam akad dan lain-lain, misalnya, orang pesantren itu memiliki aturan-aturan. Yaa ayyuhalladzina amanu awfu bil 'uqud (Wahai orang-orang yang beriman kalian penuhilah perjanjian-perjanjian). 


Saya contohkan dalam hal muamalahBai' (penjual) harus menyerahkan mabi' (barang dagangan) dalam keadaan tidak cacat, utuh. Sedangkan musytari (pembeli) mesti menyerahkan tsaman (uang pembayaran) yang bukan uang palsu. Terus dalam ijarah (persewaan). Misalkan kita menyewa mobil, penggunaannya harus ada aturannya. Mobil untuk disewa dari Surabaya ke Jakarta tidak boleh dibawa ke Sumatra. Kemudian dalam hal ekonomi. Orang punya modal tapi tidak bisa mengelola uang, ada akad qiradh (permodalan) yang mengatur amil (pengelola) dan malikul mal (pemilik modal). Dalam berkebun, ada akad musaqah. Orang punya kebun tapi tidak bisa merawat, nanti ada orang yang merawat kebun, lalu disepakati dengan ongkos demikian rupa.


Pada prinsipnya, kita bertetangga, bermuamalah, dan mengemban amanah kan ada aturan-aturannya. Dan juga al-muslimuna inda syuruthihim, orang Muslim itu oleh Allah diberi kebebasan melakukan [membuat] syarat-syarat yang tidak melanggar syariat. Syarat yang tidak menghalalkan barang haram. Misalkan saja di suatu organisasi, NU umpamanya, seorang Ketua Umum atau Rais Aam tidak boleh merangkap jabatan di partai politik. Ini tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an. Namun, kita diberi leluasa oleh Allah memberikan syarat yang demikian. Nah, jika kita melanggar [syarat itu], berarti kita melanggar organisasi. Organisasi kan ada aturan-aturannya. Jadi, insya Allah, kalau kita menegakkan aturan organisasi, semuanya akan ada baiknya.

Baca Juga

Hasil Lengkap Forum Sesepuh dan Mustasyar NU di Pesantren Tebuireng


Saya contohkan lagi. Kita orang Islam itu biasa membuat sekaligus menyelesaikan masalah. Contoh dalam bahtsul masail ya. Dalam bahtsul masail, banyak masalah yang dibahas dan dituntaskan oleh Nahdliyin, orang-orang pesantren, sehingga ada solusinya. Kalaupun ada yang mawquf (buntu), biasanya beberapa saja.


Kita mempunyai fiqih. Kita juga mempunyai tasawuf untuk menyelesaikan perkara dengan cara ihsan. Misalkan, khudzil 'afwa wa'mur bil 'urfi wa a'rid anil jahilin (Berilah maaf, perintahkan kebaikan, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh). 


Prinsipnya, kalau kita mau, maka modal-modal yang dimiliki orang-orang pesantren bisa untuk menyelesaikan masalah. Tapi, persoalannya, kita mau apa tidak menggunakan modal tersebut. Hahaha.


Apakah ini berarti harus ada islah?


Bentuk islah tergantung formulanya. Islah bisa begini atau begitu kan tergantung bagaimana nanti [situasi] di lapangan. Kami, Pondok Pesantren Lirboyo, tetap dalam kondisi di tengah-tengah ya. Di tengah-tengah. Namun, kami berharap sekali [persoalan di PBNU] diselesaikan oleh orang NU sendiri, bukan diselesaikan oleh orang dari luar. Orang NU punya ilmu, masa yang menyelesaikan masalah orang dari luar? Kan kurang pantas. Belum lagi ada isu tentang bohir-bohir dan lain-lain. Ini kan NU. Jadi, prinsipnya, yang kami bela itu NU-nya agar NU menjadi baik dan utuh.


Jadi, ya itu tadi, saya tekankan sekali lagi bahwa sebenarnya kalau kita mau menyelesaikan secara organisasi, NU ini punya bekal. Bisa secara fiqih, juga bisa secara tasawuf. Mudah-mudahan kita semuanya ada kesadaran untuk menyelesaikan masalah dan masing-masing yang berkonflik itu ada niat yang baik untuk kebaikan Nahdlatul Ulama. Maslahatul 'ammah harus kita dulukan daripada maslahatul khasshah


Kami memaklumi misalkan saja manusia salah. Siapa pun manusia itu pasti pernah salah. Kanjeng Nabi saja pernah salah, namun Nabi tidak berdosa, ma’shum. Misalkan, Kanjeng Nabi pernah hendak menshalati ra'isu munafiqin (pemimpin kaum munafik), lantas dicegah oleh Sayidina Umar, namun [Nabi Muhammad] tetap mensholatinya. Setelah itu turun Surat At-Taubah Ayat 84 [“Dan juga jika kelak mereka meninggal dunia, maka janganlah engkau, wahai Nabi Muhammad, melaksanakan shalat jenazah untuk seseorang yang mati di antara mereka, orang-orang munafik, selama-lamanya dan janganlah engkau mengantar jenazahnya serta berdiri untuk mendoakan di atas kuburnya”].


Misalkan di pesantren. Ada santri salah karena bakda Isya keluar dari pondok, lalu ditakzir. Kesalahan si santri tidak melanggar syariat. Tidak ada dalil dalam Al-Qur'an yang melarang hal itu. Tapi kita diberi keleluasaan oleh Allah untuk mengambil tindakan limaslahat, yaitu lewat takzir itu.


Sekali lagi, mudah-mudahan melalui para sesepuh serta orang-orang pesantren, dan dengan diadakannya Musyawarah Kubro di Lirboyo, NU bisa keluar dari permasalahan-permasalahan. Insya Allah kita semua akan mengedepankan maslahatul 'ammah.


Adapun mengenai formula islah, ya terserah. Islah itu bukan hanya untuk orang yang sama benarnya, tapi juga untuk orang salah dengan orang yang benar. Kanjeng Nabi, misalnya, berdamai dengan orang Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah. Sayidina Umar protes ketika menerima perjanjian itu, “Kenapa kami islah atau suluh segala, padahal waqatlanaa fil jannah wanahnu 'alal haqq, waqatlahum finnar 'alal bathil (orang-orang mati korban perang kita di surga dan kita berada pada kebenaran; sementara korban perang mereka di neraka, berada pada kebatilan)? Kenapa tidak terus perang saja?” Tapi Kanjeng Nabi maunya islah. Dan islah di situ, dalam Perjanjian Hudaibiyah, Kanjeng Nabi kan mengalah Kanjeng Nabi mengalah. 

Baca Juga

Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi


Jadi, Al-Qur’an menyerukan islah untuk mereka yang berkonflik. Wa aslihu dzata bainikum (dan damaikanlah orang-orang yang berkonflik dari kalian), wa aslihu baina akhowaikum (dan damaikanlah di antara saudara kalian), was sulhu khair (dan perdamaian adalah paling baik),  dan seterusnya.


Bagaimana dengan peran Majelis Tahkim?


Misalkan kita akan menyelesaikan secara internal, [sepakati dulu] siapa juru islahnya, terus konsepnya bagaimana. Misalnya lewat Majelis Tahkim. Berhubung Majlis Tahkim ini berisi orang-orang yang terlibat konflik, kita bisa mengangkat orang yang adil, yaitu membuat Majelis Tahkim baru yang adil. Terus kita sam'an wa tha'atan dengan putusan-putusannya. Insya Allah akan ada jalan. Hanya kita mau apa tidak.


Adapun formulanya bagaimana, ya terserah, kami tidak bisa menentukan. Kita kan punya Mustasyar, punya banyak kiai yang masih arif dan bijaksana. Biar mereka yang menentukan. Dengan begitu, mudah-mudahan konflik di NU bisa ada ending yang baik. Kita hanya ikhtiar.


Mana pendekatan yang paling baik untuk mengatasi persoalan di PBNU: secara organisasi, secara fikih, atau secara tasawuf? 


Posisi saya saat ini di PBNU kan sebagai Rais Syuriyah. Saya tidak bisa memilih mana formula yang paling baik. Ada orang-orang yang lebih berwenang di atas saya. Kecuali yang bermasalah itu santri-santri Lirboyo, ya kami bisa mengambil tindakan seleluasa kami. Hahaha. 


NU ini menyangkut jutaan orang, tidak bisa disamakan dengan pesantren. Kalau pesantren, kan kecil ya. Nah, kalau NU kan stabilitasnya yang harus diutamakan. Di pesantren, pengurus salah bisa kita copot dengan mudah. Namun ini NU. Lagi pula NU merupakan amanah, kita di NU itu mengemban amanah dari para ulama.


Misalnya di NU ada yang salah, ya monggo kita proses. Namun, bagaimana memprosesnya itulah yang harus dipertimbangkan. Jangan sampai kita saling menjatuhkan, melecehkan. Kalau konflik ini diterus-teruskan, pertanyaannya: siapa yang berdosa? Gitu loh. Lalu, muncul pelecehan-pelecehan dan perdebatan-perdebatan di grup WhatsApp sampai orang bertengkar. Ini kan repot ya. Apakah enggak berdosa? Siapa yang menanggungnya? 


Saya mau cerita. Zaman dahulu, menjelang Muktamar 1984, ada konflik di Nahdlatul Ulama antara kelompok Cipete dan kelompok Situbondo. [KH As’ad Syamsul Arifin] kan hanya menyarankan [KH Idham Chalid] untuk mundur. Setelah Pak Idham itu mundur [melalui surat pengunduran diri], lalu dicabut ikrarnya. Terus Kiai Ali Maksum (Krapyak) protes waktu itu, sudah ikrar kok dicabut. Kiai Ali Maksum sampai keluar fiqihnya: orang yang sudah ikrar enggak bisa dicabut.


Tapi ending-nya cantik. Ada islah di Surabaya, di rumah Kiai Hasjim Latief. Kemudian baru diselesaikan di Muktamar. Mudah-mudahan [persoalan di PBNU] saat ini nanti ending-nya begitu. Harapan kita semuanya baik lah. Kita sudah punya uswah-uswah bagaimana ulama-ulama dahulu menyelesaikan persoalan. Konflik kan bukan kali ini saja. 


Contoh lain dari zaman dahulu ada [konflik] Pak Subhan ZE [dengan Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri] dan lain-lain. Kita sudah biasa dengan konflik dan orang-orang dahulu bisa dijadikan uswah bagaimana benar-benar menyelesaikan masalah NU; bukan gontok-gontokan, bukan sampai perpecahan.


Saya kira kalau konflik diteruskan, saya khawatir akan membuahkan dosa sebab [orang-orang saling] menyakiti. Lebih baik kita mengalahkan ego kita, kepentingan NU kita utamakan. Kita lihat lagi, orang saling ngantem-mengantem. Di bawah, orang-orang sudah terbelah. Banyak sekali kata kotor yang runyam-runyam. Karena itu kita harus memikirkan juga tentang tasawufnya, tentang akhiratnya. Selain itu, aturan-aturan dalam organisasi juga diperhatikan. Sebenarnya, kalau kita mau, [persoalan di PBNU] diselesaikan secara organisasi bisa, secara fiqih bisa, secara tasawuf yang mengedepankan adab juga bisa. Tinggal bagaimana kita melangkah menuju ke sana. Gitu saja.


Format acara Musyawarah Kubro nanti bagaimana?


Kami itu sebenarnya menyelenggarakan Musyawarah Kubro dalam rangka memfasilitasi permohonan Mustasyar. Jadi kami tidak tahu formatnya bagaimana. Para Mustasyar dan kiai-kiai sepuh yang akan menentukan. Kami sebagai bawahan sam'an wa tha'atan saja.


Apakah kedua pihak yang sedang bertikai ini diundang di Musyawarah Kubro?


Iya, diundang semuanya. Makanya kami berharap ada islah di Lirboyo. Musyawarah Kubro ini jangan dituduh “miring-miring” ya, jangan dituduh kubu-kubuan. Kita pandanglah dengan mata hati yang jernih. Kami hanya ingin mengislahkan, mendamaikan, agar NU baik. Kalau NU sudah baik, ngapain Lirboyo manggil-manggil atau ikut campur segala. Hahaha.


Keresahan di bawah sudah luar biasa. Kalau demikian terus menerus, ini SK di sejumlah PC enggak jalan, buntu. Kalau perjuangan buntu, kita tidak bisa bergerak. NU perlu kuat, alaikum bissawadil a'dham (tetaplah bersama jamaah). Kalau NU jadi jam'iyah yang kuat, tentu akan diperhitungkan oleh yang lain. 


Apa yang paling Anda dan para kiai pesantren resahkan dari persoalan di PBNU ini?


Yang kami resahkan adalah suara-suara di bawah. Karena di bawah itu resah, ya man lam yahtamma amril Muslimin falaisa minhum (orang yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka tidak pantas masuk golongan mereka). Jadi, kami hanya ihtimam (peduli). Sebenarnya kami tidak ingin direpot-repotkan, namun, demi kebaikan NU, kami tidak masalah. Jadi, jangan dipahami islah itu miring sebelah. Tidak. Insya Allah para Mustasyar mengusahakan islah itu adil. Adapun nasihatnya diterima atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting Mustasyar kami datangkan. Dan Musyawarah Kubro ini inisiatifnya Mustasyar, bukan Pondok Lirboyo.


Dari persoalan di PBNU ini, apa hikmah terbesar yang bisa kita petik?


Menurut saya, ke depan, terutama saat Muktamar, bisa dijadikan momentum untuk bahan perdebatan dan pembaruan AD/RT NU. AD/ART ini perlu ditata agar NU menjadi lebih baik. Yang terjadi saat ini kan konflik model baru, protes-protes yang ada saat ini juga baru. Ini semua ada hikmah yang kita tidak tahu. Nah, NU punya modal luar biasa. NU bisa menjadi makin kokoh, NU makin jaya, NU makin berpengalaman.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default