Hukum Menyalurkan Infaq Jumat untuk Korban Bencana, Bolehkah? - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Hukum Menyalurkan Infaq Jumat untuk Korban Bencana, Bolehkah?

NU Online  ·  Ahad, 14 Desember 2025 | 16:30 WIB

Hukum Menyalurkan Infaq Jumat untuk Korban Bencana, Bolehkah?

infaq jumat

Muhammad Zainul Millah

Kolomnis

Dampak bencana yang melanda warga Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh hingga kini masih menyisakan luka yang belum sepenuhnya terobati. Banyak di antara mereka yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, hingga obat-obatan.

Didorong oleh rasa simpati dan kepedulian yang mendalam, masyarakat pun berupaya mencari berbagai terobosan untuk meringankan beban para korban. Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan mengalokasikan dana infaq masjid, khususnya yang dihimpun saat pelaksanaan salat Jumat, untuk disalurkan kepada mereka yang terdampak bencana.

Namun, di tengah semangat kepedulian tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah uang infaq Jumat boleh dialokasikan untuk membantu korban bencana? Jika diperbolehkan, bagaimana cara yang tepat dan sesuai syariat dalam menggalang dana melalui infaq Jumat?

Pada dasarnya, uang infaq yang dikumpulkan di masjid saat pelaksanaan salat Jumat umumnya diperuntukkan bagi kebutuhan dan kemaslahatan masjid. Hal ini karena dana infaq harus disalurkan sesuai dengan niat dan tujuan pihak pemberi infaq (munfiq). Mengalihkan penggunaannya tanpa kejelasan tujuan dapat menyalahi amanah yang telah diberikan oleh jamaah.

Oleh karena itu, apabila pada pelaksanaan salat Jumat dana infaq akan dialokasikan untuk membantu para korban bencana, pihak pengelola masjid wajib menyampaikan informasi tersebut terlebih dahulu kepada jamaah. Pemberitahuan dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti pamflet pengumuman, banner di area masjid, atau pengumuman langsung sebelum pelaksanaan infaq, agar jamaah dapat berinfaq dengan penuh kesadaran dan keikhlasan sesuai tujuan yang dimaksud.

Baca Juga

Marak Kegiatan Sedekah Jumat Berkah, Apakah Ada Dalilnya?

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba'alawi menjelaskan, semua sumbangan yang diberikan oleh masyarakat untuk masjid, baik melalui nazar, hibah, maupun sedekah, secara syar'i menjadi milik masjid, sehingga pengelolaannya hanya untuk maslahat masjid, bukan lainnya. 

فَحِيْنَئِذٍ فَمَا يَجْمَعُهُ النَّاسُ وَيُبَذُلُوْنَهُ لِعِمَارَتِهَا بِنَحْوِ نَذْرٍ أَوْ هِبَةٍ وَصَدَقَةٍ مَقْبُوْضَيْنَ بِيَدِ النَّاظِرِ أَوْ وَكِيْلِهِ كَالسَّاعِيْ فيِ اْلعِمَارَةِ بِإِذْنِ الناَّظِرِ يَمْلِكُهُ اْلمَسْجِدُ وَيَتَوَلَّى الناَّظِرُ اْلعِمَارَةَ بِاْلهَدْمِ وَاْلبِنَاءِ وَشِرَاءِ اْلآلَةِ وَاْلاسْتِئْجَارِ

Baca Juga

PBNU Ajak Nahdliyin Sisihkan Dana Infak Jumat untuk Solidaritas Kemanusiaan Rakyat Palestina

Artinya “Maka pada saat itu, segala sesuatu yang dikumpulkan oleh manusia dan mereka serahkan untuk pembangunan masjid (seperti) melalui nazar, hibah, atau sedekah, yang telah diterima (dipegang) oleh nazir (pengurus/wali) atau wakilnya, seperti seorang pelaksana (pengurus) pembangunan atas izin nazir, maka masjid tersebut memilikinya (menjadi milik masjid). Dan nazir yang mengambil alih tugas pembangunan dengan cara pembongkaran, pembangunan, pembelian alat-alat, dan penyewaan.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2016] halaman 84).



Lebih lanjut, Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan bahwa pemanfaatan harta masjid hanya dibolehkan jika tujuannya untuk kemaslahatan yang kembali secara langsung kepada masjid, atau kepada kepentingan umum segenap kaum Muslimin. Pengelolaan tidak boleh hanya didasarkan pada kemaslahatan khusus atau pribadi seseorang atau sekelompok kecil orang.

 


​وَأَنَّ الْمَسْجِدَ حُرٌّ يَمْلِكُ فَلَا يَجُوزُ التَّصَرُّفُ فِيهِ إِلَّا بِمَا فِيهِ مَصْلَحَةٌ تَعُودُ عَلَيْهِ أَوْ عَلَى عُمُومِ الْمُسْلِمِينَ، وَأَمَّا مُجَرَّدُ الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ فَلَا يُكْتَفَى بِهَا فِي مِثْلِ ذَلِكَ فَاتَّضَحَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِلَّا لِلْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ بِالْمَسْجِدِ أَوِ الْعَامَّةِ لِعُمُومِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَحَقَّقُ تِلْكَ الْمَصْلَحَةُ إِلَّا بِتِلْكَ الشُّرُوطِ فَلَمْ نُجَوِّزْهُ إِلَّا بِهَا



Artinya “​Dan bahwasanya masjid adalah merdeka yang dapat memiliki (hukum kepemilikan), maka tidak dibolehkan melakukan pengelolaan (tasharruf) padanya kecuali dengan apa yang mengandung kemaslahatan (manfaat) yang kembali kepada masjid itu sendiri atau kepada kepentingan umum kaum Muslimin.

Baca Juga

Khutbah Jumat: Tiga Sikap Bijaksana Menghadapi Bencana




​Adapun hanya sekadar kemaslahatan khusus (pribadi), maka tidaklah mencukupi dalam perkara yang seperti itu. Maka jelaslah bahwasanya tidak dibolehkan (pengelolaan) kecuali untuk kemaslahatan yang khusus bagi masjid atau kemaslahatan umum bagi segenap kaum Muslimin. Dan kemaslahatan tersebut tidak akan terwujud melainkan dengan syarat-syarat tertentu, maka kami tidak membolehkannya kecuali dengan syarat-syarat tersebut.” (Fatawil Fiqhiyah Al-Kubra, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2018] juz III, halaman 88)



Sayid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha ad-Dimyathi menjelaskan bahwa dalam menentukan penggunaan harta wakaf yang tidak disebutkan secara jelas syarat-syaratnya, fikih merujuk pada adat kebiasaan (ʿurf) dan indikasi yang menyertainya (qarīnah). Oleh karena itu, apabila belum terdapat kebiasaan atau praktik yang berlaku dalam menggunakan harta infaq untuk kemaslahatan di luar kepentingan masjid, maka dana infaq tersebut hanya boleh dialokasikan untuk kebutuhan masjid semata.

 

حَيْثُ أَجْمَلَ الْوَاقِفُ شَرْطَهُ اتُّبِعَ فِيهِ الْعُرْفُ الْمُطَّرِدُ فِي زَمَنِهِ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ شَرْطِ الْوَاقِفِ قَالَ وَمِنْ ثَمَّ امْتَنَعَ فِي السَّقَايَاتِ الْمُسَبَّلَةِ غَيْرُ الشُّرْبِ وَنَقْلُ الْمَاءِ مِنْهَا وَلَوْ لِلشُّرْبِ ثُمَّ قَالَ وَسُئِلَ الْعَلَّامَةُ الطَّنْبَدَاوِيُّ عَنِ الْجَوَابِي وَالْجِرَارِ الَّتِي عِنْدَ الْمَسَاجِدِ فِيهَا الْمَاءُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ أَنَّهَا مَوْقُوفَةٌ لِلشُّرْبِ أَوِ لِلْمَوْضُوءِ أَوِ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوِ الْمَسْنُونِ أَوِ غَسْلِ النَّجَاسَةِ فَأَجَابَ أَنَّهُ إِذَا دَلَّتْ قَرِينَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ مَوْضُوعٌ لِتَعْمِيمِ الِانْتِفَاعِ جَازَ جَمِيعُ مَا ذُكِرَ مِنَ الشُّرْبِ وَغَسْلِ النَّجَاسَةِ وَغَسْلِ الْجَنَابَةِ وَغَيْرِهَا وَمِثَالُ الْقَرِينَةِ جَرَيَانُ النَّاسِ عَلَى تَعْمِيمِ الِانْتِفَاعِ بِالْمَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ مِنْ فَقِيهٍ وَغَيْرِهِ إِذِ الظَّاهِرُ مِنْ عَدَمِ النَّكِيرِ أَنَّهُمْ أَقْدَمُوا عَلَى تَعْمِيمِ الِانْتِفَاعِ بِالْمَاءِ بِغُسْلٍ وَشُرْبٍ وَوُضُوءٍ وَغَسْلِ نَجَاسَةٍ.



Artinya; Apabila wakif (orang yang mewakafkan) hanya menyebutkan syarat secara global (tidak rinci), maka yang dijadikan pedoman adalah kebiasaan (‘urf) yang berlaku secara terus-menerus pada zamannya, karena kebiasaan tersebut kedudukannya sama dengan syarat wakif itu sendiri.

Ia berkata: Oleh karena itu, dilarang (mengambil manfaat) pada tempat-tempat minum yang disediakan (musabbal) selain untuk minum itu sendiri, dan dilarang memindahkan air darinya, meskipun untuk diminum (di tempat lain).



​Kemudian ia berkata: Dan Al-Allamah At-Thanbadawi ditanya mengenai wadah air besar dan tempayan-tempayan air yang berada di dekat masjid, yang di dalamnya ada air, jika tidak diketahui apakah air itu diwakafkan khusus untuk minum, wudhu, mandi wajib, mandi sunnah, atau untuk menghilangkan najis?




​Beliau (At-Thanbadawi) menjawab: bahwa jika ada indikasi (qarīnah) yang menunjukkan bahwa air itu disediakan untuk kemanfaatan yang umum, maka dibolehkan semua yang telah disebutkan, yaitu untuk minum, menghilangkan najis, mandi junub, dan lainnya.

​Contoh indikasi (qarīnah) tersebut adalah kebiasaan orang-orang menggunakan air tersebut secara umum tanpa adanya pengingkaran dari ulama fiqih atau selainnya. Karena, secara zahir, dari tidak adanya pengingkaran menunjukkan bahwa mereka berani (sudah terbiasa) untuk menggunakan air tersebut secara umum untuk mandi, minum, wudhu, dan menghilangkan najis.”(I’anatuth Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 2019] juz I, halaman 69) 




Oleh karena itu, diperlukan penjelasan yang jelas dari pihak pengelola masjid bahwa uang infaq Jumat pada hari tersebut akan dialokasikan untuk membantu para korban bencana. Dengan adanya pemberitahuan ini, terdapat indikasi bahwa mereka yang berinfaq telah merelakan dan mengikhlaskan hartanya untuk tujuan tersebut.




Pada prinsipnya, membantu korban bencana merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam, bahkan dapat termasuk ke dalam kategori fardhu kifayah. Kendati demikian, penyaluran dana donasi tetap harus dilakukan dengan cara yang halal dan sesuai dengan ketentuan syariat.





Apabila dana infaq masjid selama ini belum memiliki kebiasaan dialokasikan untuk bantuan korban bencana atau kepentingan serupa, maka penggunaannya tetap terbatas pada kemaslahatan masjid semata. Mengalihkannya tanpa kejelasan tujuan dapat menyalahi amanah para pemberi infaq.




Untuk itu, para pengelola infaq masjid sebaiknya menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada jamaah bahwa infaq pada hari tersebut akan disalurkan untuk membantu korban bencana. Dengan demikian, penggalangan dana dapat berjalan secara transparan, amanah, dan sesuai dengan tuntunan syariat. Wallahu a‘lam.

 

---------------
Muhammad Zainul Millah, Wakil katib PCNU kab. Blitar.


============  

Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman beranda atau via web filantropi di tautan berikut.

 

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default