Bolehkah Zakat untuk Korban Bencana? Ini Penjelasan Hukumnya
NU Online · Ahad, 14 Desember 2025 | 16:20 WIB

zakat untuk korban bencana (Nu Online/Syakir)
Pertanyaan
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Redaksi keislaman NU Online, saya izin ingin bertanya terkait bagaimana hukum menyalurkan zakat kepada korban bencana alam seperti banjir. Pasalnya, ketika bencana alam terjadi, para penyintas banyak yang kehilangan rumah, pakaian, dan kebutuhan pokok lainnya, apakah diperbolehkan menerima zakat? (Hamba Allah)
Jawaban
Bolehkan Zakat Profesi Diberikan ke Orang Tua?
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih kami sampaikan kepada saudara penanya yang telah mengajukan pertanyaan kepada redaksi NU Online. Sebelum kami menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut, kami berdoa semoga saudara senantiasa dianugerahi kesehatan dan kelancaran dalam menjalani setiap aktivitas.
Bencana banjir, seperti yang terjadi di pulau Sumatra sering menyebabkan kerusakan besar. Banyak warga kehilangan tempat tinggal. Harta benda hanyut terbawa arus. Sebagian korban bahkan tidak memiliki persediaan makanan selama beberapa hari. Kondisi ini menimbulkan kebutuhan yang sangat mendesak.
Dalam situasi darurat seperti ini, uluran tangan sesama menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Masyarakat pun kerap menyalurkan kepeduliannya melalui donasi dan berbagai bentuk penggalangan dana. Namun, muncul sebuah pertanyaan penting: apakah zakat boleh digunakan untuk membantu para korban bencana?
Baca Juga
Cara Menghitung Zakat Profesi
Pertanyaan ini relevan mengingat Indonesia merupakan negara dengan potensi zakat yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih dari Rp300 triliun. Potensi besar ini tentu menyimpan harapan besar pula untuk dimanfaatkan secara optimal bagi kemaslahatan umat, termasuk dalam penanganan bencana.
Hukum Menyalurkan Zakat untuk Korban Bencana Alam
Baca Juga
Dasar Kewajiban Zakat dalam Islam
Dalam Islam, orang yang berhak mendapatkan zakat telah ditentukan dengan jelas. Dalam Al-Qur'an, Allah menjelaskan mereka berjumlah delapan golongan. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat at-Taubah ayat 60 berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orang faqir, miskin, amil, orang yang dibujuk hatinya, memerdekakan riqab (budak), gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Inilah ketentuan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Taubah [9] ayat 60)
Lantas, bagaimana dengan korban bencana alam? Apakah mereka termasuk ke dalam salah satu dari delapan golongan penerima zakat (asnaf) yang disebutkan dalam Al-Qur’an?
Pada prinsipnya, penyaluran zakat kepada korban bencana alam diperbolehkan apabila mereka tergolong fakir atau miskin. Tidak sedikit korban bencana yang sejak awal hidup dalam keterbatasan. Ada pula mereka yang sebelumnya berkecukupan, namun seketika kehilangan seluruh harta benda akibat bencana. Dalam kondisi demikian, ketika mereka tidak lagi memiliki makanan, tempat tinggal, maupun sarana hidup dasar, maka mereka berhak menerima zakat.
Sebaliknya, korban bencana yang masih memiliki harta atau sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya tidak termasuk sebagai penerima zakat. Meski demikian, mereka tetap dapat menerima bantuan lain di luar zakat, seperti sedekah, infak, dan donasi sosial sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas kemanusiaan.
Syekh Sulaiman al-Bujairimi memberi penjelasan terkait batas seorang dianggap fakir dan miskin. Beliau menyebut seseorang tergolong fakir ketika ia hanya memiliki atau mampu menghasilkan kurang dari setengah kebutuhan hariannya. Sementara miskin adalah mereka yang memiliki atau menghasilkan setengah dari kebutuhannya atau lebih, tetapi tetap belum mencapai tingkat kecukupan. Ia mengatakan:
ضَابِطُ الْفَقِيرِ أَنْ يَمْلِكَ، أَوْ يَكْتَسِبَ أَقَلَّ مِنْ نِصْفِ مَا يَحْتَاجُهُ وَضَابِطُ الْمِسْكِينِ أَنْ يَمْلِكَ، أَوْ يَكْتَسِبَ نِصْفَ مَا يَحْتَاجُهُ فَأَكْثَرَ وَلَمْ يَصِلْ إلَى قَدْرِ كِفَايَتِهِ مِنْ
Artinya, “Batasan seseorang disebut fakir adalah ia memiliki atau menghasilkan seperdua (setengah) dari kebutuhannya. Dan batasan miskin adalah memiliki atau menghasilkan separuh atau lebih dari kebutuhannya – namun masih belum sampai pada kadar kecukupannya” (Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi, [Batba’ah al-Halabi: 1950], jilid III, halaman 309).
Bagaimana bila zakat yang diberikan berasal dari luar wilayah bencana? Pada prinsipnya, zakat harus didistribusikan di daerah tempat zakat itu diwajibkan. Hal ini karena zakat memiliki fungsi sosial untuk membantu masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, memindahkan zakat ke wilayah lain tidak diperbolehkan apabila di daerah asal masih terdapat mustahik.
Hal ini sebagaimana penjelasan Syekh Nawawi Banten:
وَفهم من ذَلِك أَن مُقْتَضى الْمَذْهَب حُرْمَة نقل الزَّكَاة من مَحل وُجُوبهَا مَعَ وجود الْمُسْتَحقّين بِهِ إِلَى مَحل آخر
Artinya, “Bisa dipahami dari hal itu bahwa menurut pendapat mazhab haram hukumnya memindah zakat dari tempat wajibnya zakat itu dikeluarkan menuju tempat lain apabila ada mustahik di sana” (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: t.t.], halaman 182)
Namun, zakat boleh dipindahkan bila kebutuhan di daerah lain sangat mendesak. Misalnya, ada wilayah bencana yang membutuhkan bantuan segera. Pada situasi seperti ini, pemindahan zakat menjadi boleh. Al-Qurthubi meriwayatkan dari Sahnun Al-Maliki bahwa diperbolehkan mengalihkan distribusi zakat kepada daerah lain yang lebih mendesak kebutuhannya:
وَرُوِيَ عَنْ سَحْنُونٍ أَنَّهُ قَالَ: وَلَوْ بَلَغَ الْإِمَامَ أَنَّ بِبَعْضِ الْبِلَادِ حَاجَةً شَدِيدَةً جَازَ لَهُ نَقْلُ بَعْضِ الصَّدَقَةِ الْمُسْتَحَقَّةِ لِغَيْرِهِ إِلَيْهِ، فَإِنَّ الْحَاجَةَ إِذَا نَزَلَتْ وَجَبَ تَقْدِيمُهَا عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُحْتَاجٍ
Artinya, “Diriwayatkan dari Sahnun bahwa ia berkata: “Apabila sampai kepada imam (penguasa) berita bahwa di suatu negeri terdapat kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh baginya memindahkan sebagian harta sedekah (zakat) yang menjadi hak suatu daerah ke daerah tersebut. Sebab, apabila terjadi keadaan darurat dan kebutuhan mendesak, maka wajib untuk mendahulukannya daripada orang-orang yang tidak berada dalam keadaan membutuhkan.” (Al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub Misriyah: 1964], jilid VIII, halaman 175).
Pertanyaan berikutnya adalah boleh atau tidak memberi zakat kepada korban bencana dalam bentuk uang atau barang? Para ulama memiliki pandangan berbeda dalam hal ini. Mayoritas mazhab seperti Syafii, Maliki, dan Hanbali tidak membolehkan. Sementara madzhab Hanafi memperbolehkan mengeluarkan zakat dalam bentuk uang atau barang yang senilai.
Pendapat Hanafi ini membuka ruang penyaluran zakat dalam bentuk barang yang dibutuhkan korban bencana, seperti makanan, pakaian, dan perlengkapan darurat. Cara ini lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzab, karya Imam An-Nawawi dijelaskan:
فَرْعٌ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إخْرَاجُ القيمة في شئ مِنْ الزَّكَوَاتِ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد، إلَّا أَنَّ مَالِكًا جَوَّزَ الدَّرَاهِمَ عَنْ الدَّنَانِيرِ وعكسه، وقال أبو حنيفة يجوز. فإذا لَزِمَهُ شَاةٌ فَأَخْرَجَ عَنْهَا دَرَاهِمَ بِقِيمَتِهَا أَوْ اخرج عنها ما له قيمة عنده كالكلب والثياب
Artinya, “Cabang masalah: Telah kami sebutkan pendapat mazhab kita bahwa tidak diperbolehkan mengeluarkan zakat berupa barang yang seharga dengan kewajiban zakatnya. Pendapat ini selaras dengan pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Dawud. Kecuali Imam Malik yang memperbolehkan mengeluarkan zakat berupa uang dirham dari zakat uang dinar dan sebaliknya.
Sementara Imam Abu Hanifah memperbolehkan mengeluarkan zakat berupa barang yang seharga dengan kewajiban zakat. Karena itu, apabila orang berkewajiban mengeluarkan zakat berupa kambing, maka boleh (menggantinya dengan) mengeluarkan uang dirham yang senilai dengan harga kambing tersebut, atau (menggantinya dengan) mengeluarkan barang yang sesuai dengan harga kambing tersebut seperti anjing atau baju.” (An-Nawawi, Majmu' Syarah Muhadzab, [Kairo, Al-Muniriyyah: 1344 H], jilid V, halaman 429).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa zakat untuk korban bencana memiliki ketentuan yang cukup jelas. Korban yang kehilangan harta dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berhak menerima zakat sebagai fakir atau miskin. Sementara mereka yang masih memiliki kecukupan tidak boleh menerima zakat, tetapi tetap bisa menerima bantuan lain.
Zakat pada dasarnya harus dibagikan di wilayah tempat zakat itu diwajibkan. Namun kebutuhan darurat di daerah bencana menjadikan pemindahan zakat dibolehkan. Penyaluran zakat dalam bentuk barang juga dapat dilakukan dengan mengikuti pendapat mazhab Hanafi. Pilihan ini membantu korban mendapatkan bantuan yang langsung bisa dipakai. Langkah ini menjadi solusi praktis ketika kebutuhan lapangan sangat mendesak. Wallahu a’lam
--------------
Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan
============
Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman beranda atau via web filantropi di tautan berikut.