Kencing Kucing Menyebar di Sudut Rumah, Bagaimana Cara Menyucikannya? - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Kencing Kucing Menyebar di Sudut Rumah, Bagaimana Cara Menyucikannya?

NU Online  ·  Kamis, 18 Desember 2025 | 17:00 WIB

Kencing Kucing Menyebar di Sudut Rumah, Bagaimana Cara Menyucikannya?

Ilustrasi kucing. (Foto: NU Online/Freepik)

Muhamad Hanif Rahman

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mohon maaf mengganggu waktunya. Saya ingin bertanya. Di dalam rumah terdapat kucing yang sering tiba-tiba bertengkar. Biasanya saat bertengkar, kucing tersebut kencing yang menyebar ke berbagai tempat, bahkan bisa mengenai area yang tidak terlihat oleh mata. 

Lalu, bagaimana cara menyucikan najis kencing kucing yang telah menyebar ke seluruh ruangan tersebut? Atas perhatian dan jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Baca Juga

Makanan yang Dijilat Kucing, Apakah Najis?

Jawaban:

Wa‘alaikumussalām warahmatullāhi wabarakātuh.

Saudara penanya yang budiman, sebelumnya kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kepercayaan Anda kepada kami sehingga berkenan menyampaikan pertanyaan ini. Semoga saudara penanya beserta para pembaca setia NU Online senantiasa dianugerahi kesehatan, umur panjang, serta keteguhan dalam ketaatan kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.

Kucing merupakan salah satu hewan jinak yang banyak dipelihara karena kelucuannya. Menurut mayoritas ulama, kucing termasuk hewan yang suci, sehingga boleh dipelihara, dimiliki, dan dikuasai. Di antara dalil yang menunjukkan kesucian kucing adalah hadis Nabi:

إنَّ رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ، أَوِ الطَّوَّافَاتِ 

Baca Juga

Kucing Menjilat dan Meninggalkan Liur di Kaki Orang Shalat, Batalkah?

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah  bersabda: ‘Kucing itu tidak najis. Ia termasuk hewan yang biasa berkeliling di sekitar kalian.’” (HR. at-Tirmidzi). 

Meskipun kucing bukan termasuk hewan yang najis, namun air kencingnya dihukumi najis sebagaimana kotoran hewan lain yang tidak halal dimakan dagingnya. Bahkan menurut Imam ad-Damiri hal itu adalah ijmak. 

فَبَوْلُ ما لا يؤكل لحمه نجس بالإجماع اهـ

Artinya: “Air kencing hewan yang tidak halal dimakan dagingnya adalah najis berdasarkan ijmak.” (Ad-Damiri, An-Nazmul Wahaj, [Beirut, Darul Minhaj: t.t] juz I halaman 410). 

Cara Menyucikan Najis dan Syarat-Syaratnya 

Hukum membasuh najis adalah wajib. Namun kewajiban ini tidak harus dilakukan segera, melainkan ketika seseorang hendak melaksanakan shalat dan dibatasi oleh waktu shalat. Oleh karena itu, kewajiban tersebut menjadi bersifat mendesak apabila waktu shalat yang tersisa sudah sempit. (Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri Ala Ibnu Qasim [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah:t.t] juz I halaman 196).

Adapun tata cara menyucikan najis mutawassiṭah (kencing dan kotoran hewan) adalah sebagai berikut: apabila najisnya tampak secara kasat mata, maka penyuciannya diawali dengan menghilangkan najis tersebut beserta sifat-sifatnya, yaitu rasa, warna, dan baunya. Setelah itu barulah dibasuh dengan air dengan cara mengalirkannya ke bagian yang terkena najis.

Sementara itu, apabila najisnya tidak tampak, maka cukup dengan mengalirkan air ke bagian yang terkena najis tersebut, meskipun hanya satu kali basuhan. Berikut penjelasan selengkapnya sebagaimana disebutkan dalam Kitab Fathul Qarib:

وكيفية غسل النجاسة إن كانت مشاهدة بالعين، وهي المسماة بالعينية تكون بزوال عينها ومُحاولة زوال أوصافها من طَعْم أو لون أو ريح؛ فإن بقي طَعمُ النجاسة ضرَّ، أو لونٌ أو ريحٌ عسُر زوالُه لم يضر

وإن كانت النجاسة غير مشاهدة وهي المسماة بالحُكمية فيكفي جَرْي الماء على المتنجس بها ولو مرة واحدة. الى ان قال ...ويشترط في غسل المتنجس ورودُ الماء عليه إن كان قليلا، فإن عكس لم يطهر. أما الماء الكثير فلا فرق بين كون المتنجس واردا أو مورودا

Artinya: “Adapun cara mencuci najis: Jika najis itu terlihat oleh mata, yang disebut najis ‘ainiyah, maka caranya dengan menghilangkan najisnya serta berusaha menghilangkan sifat-sifatnya berupa rasa, warna, atau bau. Apabila rasa najis masih tersisa, maka hal itu membahayakan. Namun apabila yang tersisa warna atau bau yang sulit dihilangkan, maka tidak membahayakan.

Sedangkan apabila najis itu tidak terlihat, yang disebut najis hukmiyah, maka cukup dengan mengalirkan air ke benda yang terkena najis tersebut meskipun hanya satu kali.

Kemudian disyaratkan dalam membasuh benda yang terkena najis dengan air sedikit, air itu harus mengalir ke benda yang najis; jika dibalik (benda najis yang dimasukkan ke air sedikit), maka tidak menjadi suci. Adapun air yang banyak, maka tidak ada perbedaan apakah benda najis yang mendatangi air atau air yang mendatangi benda najis.”(Muhammad bin Qasim bin Muhammad, Fathul Qarib al-Mujib, [Bairut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 56-57).

Cara Menyucikan Najis yang Tidak Diketahui

Kewajiban membasuh najis sebagaimana keterangan di atas berlaku apabila diketahui secara pasti dan diyakini bahwa bagian yang akan dibersihkan benar-benar terkena najis, berdasarkan tanda-tanda yang menunjukkan adanya najis tersebut.

Namun, bagaimana jika keberadaan najis itu tidak dapat dipastikan karena telah menyebar ke berbagai tempat, sementara tanda-tanda najisnya pun sudah tidak lagi terlihat?

Dalam kondisi demikian, maka tempat yang tidak diyakini terkena najis tidak perlu untuk dibasuh dengan berpegangan dengan hukum asalnya yakni suci. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Mu‘īn:

قاعدة مهمة: وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله فيه قولان معروفان بقولي الأصل والظاهر أو الغالب أرجحهما أنه طاهر عملا بالأصل المتيقن لأنه أضبط من الغالب المختلف بالأحوال والأزمان 

Artinya, "Sebuah kaidah penting: bahwa sesuatu yang asalnya suci tetapi diduga kuat terkena najis karena seringnya najis pada sesuatu yang serupa, ada dua pendapat yang dikenal sebagai pendapat ‘asal’ dan ‘zhahir’ atau ‘ghalib’ pendapat yang lebih kuat adalah pendapat bahwa benda tersebut tetap suci berdasarkan asal yang diyakini, karena itu lebih akurat dibandingkan dengan kebiasaan yang berbeda keadaan dan waktunya." (Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu'in, [Beirut, Darul Ibnu Hazm: tt], halaman 83). 

Keterangan di atas menegaskan bahwa sesuatu tidak dapat dihukumi najis hanya berdasarkan keraguan, melainkan harus didasarkan pada keyakinan. Dengan kata lain, penentuan najis atau tidaknya suatu tempat berlandaskan pada keyakinan, bukan sekadar dugaan atau prasangka.

Kesimpulan 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jawaban atas pertanyaan tentang cara menyucikan najis kencing kucing yang telah menyebar ke seluruh ruangan adalah sebagai berikut:

Pertama, apabila najisnya tampak, maka cara menyucikannya adalah dengan terlebih dahulu menghilangkan wujud najis tersebut hingga sifat-sifatnya yaitu warna, rasa, dan baunya hilang. Setelah itu, bagian yang terkena najis dibasuh dengan air suci menyucikan dengan cara mengalirkannya.

Kedua, apabila najisnya tidak tampak dan sifat-sifatnya pun sudah tidak ditemukan, maka cukup dengan mengalirkan air ke bagian yang terkena najis tersebut.

Adapun jika najisnya telah menyebar dan tidak diketahui secara pasti bagian mana saja yang terkena najis, maka yang wajib dibersihkan hanyalah bagian-bagian yang diyakini terkena najis, bukan seluruh ruangan. Sebab, dasar penetapan kenajisan suatu tempat adalah keyakinan, bukan sekadar dugaan atau praduga semata.

Namun, apabila kondisi tersebut justru menimbulkan rasa waswas, sementara membersihkan seluruh ruangan bukanlah perkara yang mudah dan keadaan seperti ini sering berulang, maka solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan tempat khusus untuk shalat yang dipastikan steril dari kucing.

Selain itu, dalam rangka menghindari rasa waswas, seseorang juga dapat mengikuti salah satu pendapat dalam mazhab Maliki yang menyatakan bahwa menghilangkan najis hukumnya sunah, bukan wajib. Sehingga shalat tetap sah meskipun terkena najis karena hukum menghilangkan najis bukan wajib melainkan sunah. Berikut penjelasan Imam ad-Dardīr al-Mālikī:

إزالة النجاسة واجبة إن ذَكَرَ وَقَدَرَ هو أحد المشهورَيْن في المذهب. وعليه: فإن صلَّى بها عامدًا قادرًا على إزالتها أعاد صلاته أبدًا وجوبًا؛ لبطلانها. والمشهور الثاني أنَّ إزالتها سنة إن ذكر وقدر أيضًا

Artinya: “Menghilangkan najis hukumnya wajib apabila ia ingat dan mampu; ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang masyhur dalam mazhab. Berdasarkan pendapat ini, apabila seseorang shalat dengan membawa najis dalam keadaan sengaja dan mampu menghilangkannya, maka ia wajib mengulangi shalatnya, karena shalatnya batal. Pendapat masyhur yang kedua menyatakan bahwa menghilangkan najis hukumnya sunah meskipun ia ingat dan mampu.” (Imam ad-Dardir al-Maliki, asy-Syarhu as-Saghīr, [Cairo, Darul Ma‘arif: t t] juz I halaman 66). 

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat dipahami dengan baik dan memberikan manfaat. Wallahu a‘lam.

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default