Pentingnya Memulihkan Mental Anak-anak Korban Bencana Alam
NU Online · Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:55 WIB

Pentingnya Memulihkan Mental Anak-anak Korban Bencana Alam (freepik)
Kolomnis
Dalam buku Filsafat Moral, Dr. Fahruddin Faiz menjelaskan teori perkembangan kognitif manusia yang digagas oleh Jean Piaget. Dalam bukunya itu, ia menulis:
“ Dalam psikologi ada yang disebut teori Piaget, teori perkembangan kognitif, yaitu teori tentang perkembangan pikiran seseorang. Ada fase sensorimotor (sensorimotor), preoperational (pra-operasional), concrete operational (operasional konkret), dan formal operational (operasional formal).” (Fahruddin Faiz, Filsafat Moral: Dari Al-Ghazali, Pakubuwana IV, Lawrence Kohlberg, hingga Hans Jonas, [Bandung: Penerbit Mizan, 2024], hal. 31).
Pada intinya, pada uraian selanjutnya, beliau menulis bahwa fase perkembangan berpikir seseorang itu ada empat fase: yakni (1) usia 0—2 tahun, disebut fase sensorimotor, (2) usia 2—7 tahun, disebut pra-operasional, (3) usia 7—11 tahun, disebut operasional konkret, dan (4) usia 12 ke atas, disebut operasional formal. (Fachruddin Faiz, hal. 31—33).
Baca Juga
Amalan agar Anak Bebas dari Perbuatan Zina Sepanjang Hidup
Kita akan fokus pada fase ke-2 dan ke-3. Sebab, pada dua fase inilah anak-anak mulai memiliki kesadaran dan pemahaman tentang kehidupan di sekitarnya. Misalnya, anak usia 2—7 mulai punya keinginan sendiri. Mulai merasakan nyaman dan tidak.
Jadi, jangan heran pada usia ini anak kita biasanya sangat rewel, minta ini-itu harus dipenuhi. Sementara itu, pada fase berikutnya, usia 7—11, kemampuan berpikirnya sudah mulai utuh; sudah mulai cerdas-kritis. Mulai mengerti sebab-akibat.
Pada dua fase itulah mereka sejatinya juga mulai merasakan kesedihan saat lingkungan sekitarnya tidak nyaman, kehilangan sesuatu, kehilangan kasih sayang, dan hal-hal buruk lainnya, termasuk saat kekacauan alam sekitarnya terjadi, seperti bencana alam. Mereka sebenarnya merasakannya walaupun masih dalam bentuk ekspresi antara menangis dan rasa takut, belum layaknya orang dewasa pada umumnya.
Baca Juga
Doa Pagari Anak-anak dari Bahaya Pandangan Jahat (Penyakit Ain)
Jadi, mental mereka sejatinya sedang tidak baik-baik saja saat tertimpa bencana alam, terutama mereka yang sudah kehilangan orang-orang terdekatnya, baik orang tua atau famili lainnya. Trauma itu ada, tapi tertutupi oleh bahasa tubuh mereka saat bermain lumpur pasca-bencana alam.
Dengan alasan inilah, memulihkan mental anak-anak korban bencana alam sangat penting. Mereka bukan hanya membutuhkan bantuan berupa makanan pokok sehari-hari, tapi juga perlu pemulihan mental demi kelanjutan masa depannya yang masih panjang.
Baca Juga
Bencana dalam Pandangan Islam
Perhatian Islam terhadap Mental Anak-anak
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menggambarkan sosok Rasulullah SAW sebagai insan yang sangat lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada anak-anak. Tidak hanya kepada anak-anaknya atau cucunya, tapi kepada semua anak. Bahkan, kata beliau, sifat ini merupakan sifat Rasulullah SAW yang senantiasa diwujudkan dalam tindak nyata atau memang kebiasaan beliau sehari-hari.
Imam al-Ghazali menulis:
وَالتَّلَطُّفُ بِالصِّبْيَانِ مِنْ عَادَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم
Artinya: “Bersikap penuh kelembutan pada anak-anak sobi merupakan kebiasaan Rasulullah SAW.” (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, [Beirut: Darul Ma'rifah, t.t.], jilid II, hal. 196).
Kebiasaan Rasulullah SAW ini mengisyaratkan bahwa Islam sangat perhatian pada mental anak-anak, khususnya pada usia-usia yang telah disebutkan, sebuah kasih sayang dan kelembutan merupakan implementasi dari menjaga mental mereka tetap sehat.
Sebab, jika mereka diperlukan sebaliknya atau minimal tidak menerima kasih sayang yang cukup, kesehatan mental mereka cenderung terganggu. Bahkan, juga akan berdampak pada pertumbuhan mereka di masa depan.
Dalam konteks ini, ada penjelasan menarik dalam kitab al-Jauharul Farid Syarhun 'alal Manhajis Sadid, sebagaimana redaksi berikut:
لقد حث الشارع على العطف والرحمة بالأطفال بما فيه مصلحتهم وفق الطبيعة الفريزية في الطفولة ، واعتنى بتربيتهم إعتداء زائدا ، فينبغي للوالدين أن يلاعباهم منذ صغرهم ، ويداعباهم ويرعياهم بما فيه تهذيب أخلاقهم ، كما قال بعض السلف : لاعب ابنك سبعا ، وأدبه سبعا ، وآخه سبعا ، ثم ألق حبله على غاربه
وشعور الرأفة بالأولاد والرحمة بهم ينتج آثارا عظيمة في نفوسهم ويساعد كثيرا في نتيجة مراحل التربية فيما بعد ، والقلب المتجرد عن الرحمة بهم ، المتصف بالغلظة والفظاظة هو أعظم أسباب في انحراف الأولاد عن مناهج الإسلام ، ولهذا علمنا الحبيب الأعظم عليه الصلاة والسلام بموضوع الرحمة بهم ، فقد لاعب صلى الله عليه وسلم الحسن والحسين وأبناء الصحابة رضي الله عنهم
Artinya: "Syariat sungguh menganjurkan untuk (mendidik) anak-anak dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Dengan cara melaksanakan hal-hal yang mengandung maslahat sesuai dengan tabiat kekanak-kanakannya. Sederhananya, pada usia mereka harus dididik dengan ekstra perhatian.”
"Oleh sebab itu, sebaiknya bagi orang tua bercanda gurau dengan mereka dengan tetap berorientasi pada perbaikan akhlak. Sebagaimana uraian sebagian ulama salaf berikut: 'Berguraulah bersama anakmu 7 kali, ajarilah akhlak 7 kali, dan bersaudaralah (jadikan ia layaknya saudara) 7 kali. Lalu, lepaslah ia atas pengembaraannya'.”
"Perasaan kelembutan dan kasih sayang terhadap anak-anak memiliki dampak yang sangat besar di hati atau jiwa mereka, serta sangat membantu dalam proses pendidikannya di masa depan. Anak-anak yang tumbuh tanpa merasakan kelembutan dan kasih sayang di hatinya, tapi malah penuh dengan sifat kekerasan, berpotensi besar menjadi penyebab menyimpang dari manhaj Islam.
Oleh karena inilah, Rasulullah SAW sering bergurau dengan Hasan dan Husain, serta dengan anak-anak para sahabatnya." (Kiai Ahmad Ghazali Lanbulan, al-Jauharul Farid Syarhun 'alal Manhajis Sadid, [Lanbulan: PP Al-Mubarak], hal. 24)
Jadi, berdasarkan uraian di atas, anak-anak korban bencana alam tidak hanya membutuhkan uluran tangan berupa makanan pokok dan pakaian yang bisa membuat fisik mereka pulih, tapi juga membutuhkan sentuhan kasih sayang dan bimbingan moral untuk memulihkan mental dari trauma, kehilangan, dan kesulitan yang mereka alami.
Langkah Pemulihan Mental yang Bisa Dilakukan
Pemulihan kondisi mental membutuhkan kolaborasi dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Relawan yang memiliki akses serta tenaga diharapkan dapat turun langsung ke lokasi terdampak. Demikian pula pemerintah daerah setempat, yang telah memperoleh dukungan dari pemerintah pusat, perlu bergerak cepat dan responsif dalam penanganan.
Baik relawan maupun pemerintah, selain memenuhi kebutuhan pokok untuk keberlangsungan hidup, sebaiknya juga mengalokasikan bantuan khusus bagi pemulihan mental, terutama bagi anak-anak. Dalam ajaran Islam, penyaluran bantuan harus dilakukan secara optimal dengan memberikan yang terbaik, serta memperhatikan kebutuhan pihak yang dibantu, termasuk aspek kesehatan mental mereka.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Baqarah [2]: 267).
Ayat ini menyatakan bahwa dalam mengalokasikan sebuah bantuan harus dengan baik, termasuk harus memerhatikan kebutuhan yang dibantu. Salah satu cara yang baik adalah menggunakannya untuk pemulihan mental anak-anak korban bencana alam. Cara seperti ini bukan hanya baik, tapi sangat baik dan tepat, karena pemberian yang baik tidak melulu berupa barang.
Di atas sudah jelaskan bahwa kesehatan mental anak-anak sangat penting dan bahkan berdampak pada masa depan yang mereka akan hadapi. Inilah alasan mengapa pemulihan mental merupakan pemberian yang sangat baik.
Langkah-langkah kecil harus mulai dilakukan, misalnya bantuan yang ada bisa juga dibelikan cemilan atau jajan, snack, atau mainan seperlunya. Tentu langkah ini dilakukan setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Langkah seperti ini, walaupun nampak receh, tapi akan membuat hati mereka senang. Rasulullah SAW bersabda:
وقال ﷺ: أحب العباد إلى الله تعالى أنفع الناس للناس، وأفضل الأعمال إدخال السرور على قلب المؤمن يطرد عنه جوعا أو يكشف عنه كربا أو يقضى له دينا.
Artinya: "Rasulullah SAW bersabda: 'Hamba yang paling disenangi Allah SWT adalah dia yang paling bermanfaat kepada masyarakat. Dan amal yang paling utama adalah memberi kebahagiaan di hati Mukimin, dengan cara memberi makanan sampai kenyang, menghilangkan kesedihannya, atau melunasi hutangnya'." (HR Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliaya).
Hadits ini menggambarkan bahwa bantuan materi, seperti memberikan makanan atau melunasi utang, pada hakikatnya bertujuan meringankan kesulitan dan memulihkan kondisi terpuruk yang dialami saudara kita.
Bantuan tersebut diharapkan mampu menghadirkan secercah kebahagiaan di hati mereka. Terlebih jika sasarannya adalah anak-anak, langkah sederhana seperti membelikan camilan, jajanan, atau mainan dapat menjadi awal proses pemulihan trauma yang mereka alami.
Langkah besar yang mungkin bisa mulai dilakukan adalah mengaktifkan sekolah-sekolah, walaupun dengan peralatan dan tempat seadanya. Sebab, di sekolah lah tempat yang tepat anak-anak bisa mulai diberi bimbingan moral untuk memulihkan mental mereka.
ثُمَّ يَشْتَغِلُ فِي الْمَكْتَبِ فَيَتَعَلَّمُ الْقُرْآنَ وَأَحَادِيثَ الأخبار وَحِكَايَاتِ الْأَبْرَارِ وَأَحْوَالَهُمْ لِيَنْغَرِسَ فِي نَفْسِهِ حُبُّ الصالحين ويحفظ مِنَ الْأَشْعَارِ الَّتِي فِيهَا ذِكْرُ الْعِشْقِ وَأَهْلِهِ ويحفظ من مخالطة الأدباء الذين يزعمون أن ذلك من الظرف ورقة الطبع فَإِنَّ ذَلِكَ يَغْرِسُ فِي قُلُوبِ الصِّبْيَانِ بَذْرَ الْفَسَادِ
Artinya: "Kemudian mereka (anak-anak) sebaiknya disibukkan di dalam perpustakaan supaya belajar al-Qur'an, hadits-hadits, dan kisah-kisah dan ihwal orang-orang baik supaya menjadi bibit kecintaan mereka terhadap orang-orang saleh.
"Di samping itu, supaya tejaga dari syi'ir-syi'ir yang hanya mengandung kerinduan, dan juga supaya terhindar dari pengajar yang beranggapan hal itu dapat melembutkan tabiat. Padahal, hal itu dapat menumbuhkan bibit kerusakan di hati anak-anak." (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma'rifah, t.t.], jilid III, hal. 73).
Uraian Imam Ghazali ini mengisyaratkan pentingnya anak-anak bersegera memulai belajar kembali di sekolah mereka masing-masing. Di samping memang kebutuhan untuk menimba ilmu, juga dapat meminimalisir resiko anak-anak terjerumus ke hal negatif di luar sekolah, termasuk juga tempat yang paling efektif memulihkan trauma yang sedang mereka rasakan.
Walhasil, baik pemerintah dan para relawan sedang berdedikasi di lokasi terdampak, memulihkan mental anak-anak korban bencana alam jangan sampai terlupakan. Memang penting memenuhi kebutuhan pokok demi kelangsungan hidup, tapi memulihkan mental anak-anak tidak kalah pentingnya demi menjaga asa masa depan mereka. Wallahu a'lam.
-----------------------
Syifaul Qulub Amin, Alumnus PP Nurul Cholil Bangkalan dan Pegiat Literasi Keislaman