Pria Tewas Dikeroyok di Dalam Masjid, Sosiolog Sebut Fenomena Premanisme Lokal yang Merajalela - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Pria Tewas Dikeroyok di Dalam Masjid, Sosiolog Sebut Fenomena Premanisme Lokal yang Merajalela

NU Online  ·  Kamis, 6 November 2025 | 19:30 WIB

Pria Tewas Dikeroyok di Dalam Masjid, Sosiolog Sebut Fenomena Premanisme Lokal yang Merajalela

Arjuna​​​​​​​ Tamaraya (21) dikeroyok dan dianiaya tanpa ampun di dalam Masjid Agung Sibolga hanya karena alasan tidur di masjid. (Foto: tangkapan layar video CCTV masjid)

Ayu Lestari

Jakarta, NU Online

Tindak kekerasan masih kerap terjadi di masyarakat. Nahasnya tindakan kekerasan ini sampai merambah ke tempat ibadah, yaitu masjid. Korban serang laki-laki dianiaya hingga akhirnya tewas di tempat terjai di Masjid Agung Sibolga, Sumatra Utara. Korban bernama Arjuna Tamaraya (21) dikeroyok di dalam masjid oleh lima pelaku karena alasan tidur di masjid. Hal itu menjadikan kekerasan seolah lekat sebagai jalan penyelesaian masalah.


Samsul Maarif, Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarya (UNY) menjelaskan bahwa penyebab tindak kekerasan yang kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat bisa karena dua faktor, yakni psikis maupun sosial. Kedua pemicu ini saling berkaitan.


"Keduanya sama-sama berpengaruh. Namun dalam sosiologi, lingkungan sosial akan lebih ditekankan. Masjid merupakan institusi (keagamaan) yang memiliki nilai-nilai dan ikatan dengan masyarakat di sekitarnya. Hal ini menjadikan masjid bisa lebih dari tempat beribadah, namun juga institusi yang berfungsi secara sosial," ucap Samsul saat diwawancara melalui pesan WhatsApp pada, Kamis (6/11/2025).

Baca Juga

Islam Tidak Boleh Dijalankan dengan Pemaksaan dan Kekerasan


Menurutnya, kekerasan bisa disinyalir oleh kontrol sosial yang berlebihan, fanatisme buta, perasaan kolektif yang keliru, hingga kondisi psikologis. Namun dalam hal ini, kata dia, jika kekerasan berada di ruang masjid, bisa jadi dikarenakan adanya aksi premanisme lokal.


"Premanisme bekerja dalam ruang masjid yang saya katakan sebelumnya sebagai ruang yang lebih dari institusi keagamaan. Masjid juga memiliki dimensi sosial yang mencakup kewilayahan dan kekuasaan lokal," sambung Samsul.


Di sini, kata dia, masjid sebagai tempat beribadah bisa kita kesampingkan sementara (dan hal tersebut juga didukung oleh pernyataan takmir masjid yang mengatakan pelaku kekerasan bukanlah pengurus). 


Kata Samsul, premanisme lokal semacam itu akan mudah membagi orang, seperti musafir sebagai orang luar yang harus tunduk pada segala aturan yang ditetapkan oleh preman lokal. "Ketika terdapat hal yang dianggap pelanggaran, maka orang luar tersebut akan amat mudah dijadikan sebagai kambing hitam," terangnya.


Kendati demikian, premanisme lokal juga menandakan sistem keamanan resmi yang ada di daerah tersebut kurang berfungsi dengan baik, dan preman tersebut yang mengambil alih kekosongan fungsi tersebut. Oleh karena itu, hadirnya standar moral beragama supaya pola kehidupan bermasyarakat berjalan dengan baik.

Baca Juga

Larangan Gunakan Kekerasan atas Nama Amar Ma’ruf Nahi Munkar


"Figur keagamaan sebenarnya juga berperan secara sosial. Banyak kegiatan-kegiatan masyarakat bisa dimulai dari tempat ibadah. Saya pikir dalam kondisi normal dan stabil, secara umum agama mengajarkan kehidupan yang penuh pengertian, toleran, dan damai sekaligus menolak adanya perilaku kekerasan secara vulgar," lanjutnya.


Kaitannya dengan hal ini berhubungan langsung dengan beberapa kasus pembunuhan dan penganiayaan di dalam masjid. "Premanisme di tingkat lokal ini memang meresahkan. Masjid sebetulnya telah membuka diri bagi para musafir dan mereka para preman itu sendiri. Keterbukaan tersebut justru malah dijadikan masuknya politik kekuasaan wilayah oleh para preman," tutur Samsul.


Pada dasarnya preman ini parasit yang selalu menginginkan keuntungan material dengan cara menghisap tanpa harus bekerja kecuali hanya dengan menakut-nakuti dan setiap saat bisa berlaku kekerasan. 


"Mereka harus terus menegaskan posisinya tersebut di suatu wilayah, dan kekerasan menjadi alat kekuasaannya. Sebagai parasit, mereka bisa menempel di berbagai induk semangnya. Mereka ini bisa jadi bersembunyi pada identitas keagamaan agar apa yang mereka lakukan bisa dibenarkan," tandasnya.


Pelaku atau masyarakat yang memilih jalan kekerasan hingga melenyapkan nyawa orang lain itu memang lagi-lagi terdapat ciri-ciri layaknya seorang preman.


"Saya sedikit meyakini bahwa ini adalah puncak dari banyak fenomena serupa terjadi namun tak nampak ini adalah mekanisme para preman itu menjalani hidup," kata Samsul.

Baca Juga

Belajarlah Tasawuf untuk Hindari Virus Radikalisme Kekerasan


Faktor psikologis dan lingkungan sosial yang buruk

Sementara itu, Mahmudi, Sosiolog Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengatakan, kasus pengeroyokan pria hingga tewas di masjid merupakan bentuk kekerasan yang dipengaruhi oleh psikologis tidak sehat dan lingkungan sosial buruk yang memicu konflik dan kekerasan fisik.


"Faktor pemicu pembunuhan adalah rasa tersinggung dan keberatan pelaku terhadap korban yang tidur di masjid tanpa izin, memicu tindakan kekerasan fisik yang fatal," kata Mahmudi, Kamis (6/11/2025).


Dia menjelaskan, Islam menetapkan standar moral dengan larangan keras membunuh dan mengajarkan pengendalian emosi serta penyelesaian konflik secara damai untuk mencegah kekerasan massal maupun individual.


"Fenomena kekerasan di tempat ibadah mencerminkan kondisi kefrustrasian sosial dan konflik interpersonal yang terjadi di mana saja, bahkan di ruang yang seharusnya suci dan damai," sahutnya.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default