Anak-Anak di Pidie Jaya Aceh Belajar dan Mengaji di Kamp Pengungsian
NU Online · Jumat, 5 Desember 2025 | 04:00 WIB

Suasana anak-anak di Pidie Jaya Aceh mengaji di kamp pengungsian. (Foto: Helmi Abu Bakar)
Pidie Jaya, NU Online
Aroma lumpur, kayu basah, dan pakaian lembab masih menyertai hari-hari warga Gampong Geunteng, Kecamatan Meurah Dua, Pidie Jaya, setelah banjir bandang tiba-tiba menerjang dan menghancurkan sebagian besar permukiman mereka.
Di antara tenda-tenda pengungsian yang berdiri rapat di Negeri Japakeh, para pengungsi kekurangan kebutuhan jasmani dan rohani. Anak-anak kehilangan rumah, sekolah, dan rutinitas belajar yang selama ini menjaga keseharian mereka.
Namun musibah besar itu tidak memadamkan semangat menuntut ilmu. Warga menginisiasi pusat belajar darurat yang mereka sebut Pengungsian Balee Beut (PBB), tempat kegiatan belajar dan mengaji bagi anak-anak kembali dihidupkan.
Baca Juga
Korban Banjir Aceh Bertambah, PC ISNU Pidie Salurkan Bantuan untuk Warga Terdampak
Di sebuah bangunan sederhana yang dijadikan lokasi belajar, suara anak-anak mengeja huruf demi huruf Al-Qur’an kembali terdengar. Mereka duduk bersila dengan pakaian seadanya yang masih menyisakan bekas lumpur. Meski serba kekurangan, semangat mereka tidak surut.
Tidak menunggu situasi ideal
Di balik kegiatan ini, berdiri sosok Tgk Masliani, guru ngaji yang sejak hari pertama pengungsian bertekad agar anak-anak tetap mengaji. Bersama beberapa pengajar lainnya, ia mengatur kegiatan belajar meski tanpa meja, kursi, papan tulis, atau kitab yang memadai.
Ia sendiri adalah korban banjir. Namun ketika sebagian warga masih terpukul oleh kehilangan rumah dan harta benda, Tgk Masliani sudah memikirkan kelanjutan pendidikan anak-anak.
Baca Juga
Tiga Kecamatan di Aceh Timur Terisolasi, GP Ansor Minta Pemerintah Prioritaskan Evakuasi dan Bantuan Medis
“Rumah masyarakat dihantam banjir bahkan sebagian tinggal kenangan, lumpur dan bekas kayu juga kirim aneka ragam bekal dari pergunungan melalui Krueng Meureudu tiba di Kawasan Genteng dan wilayah Negeri Japakeh lainnya,” katanya.
Baginya, kebutuhan jasmani memang penting, tetapi pendidikan rohani anak-anak jauh lebih menyentuh masa depan.
“Jika mereka dibiarkan lama tanpa belajar, bukan hanya rumah yang hilang. Karakter mereka ikut hanyut,” ujar Tgk Masliani.
Sejumlah anak bahkan datang dengan menangis karena kitab dan Iqra’ mereka hanyut. Tgk Masliani menenangkan mereka dengan lembut.
Baca Juga
Walhi Aceh Sebut Pembalakan Liar dan Kebun Sawit Jadi Biang Kerok Banjir di Pulau Sumatra
“Rumah hilang, harta benda diseret air banjir berlumpur juga sirna dan kitab hilang bisa diganti. Ilmu dan semangat beut Seumebeut hilang? Sulit kembali," katanya.
Penopang utama gerakan ilmu
Kegiatan belajar ini juga mendapat dukungan penuh dari Tgk Abdullah, koordinator pengajian sekaligus alumni Pondok Pesantren Darul Munawwarah Kuta Krueng. Ia mengatur jadwal pengajian, membagi kelompok belajar, mendata kebutuhan kitab, dan berkoordinasi dengan pengajar serta relawan. Ia melihat pentingnya menjaga tradisi ilmu.
Baca Juga
Gusdurian Aceh Ungkap Anak-Anak Alami Trauma Psikologis Pascabanjir dan Longsor
“Bencana adalah ujian. Tapi kalau ilmu berhenti, itu kelalaian,” ujarnya.
Peran penting lainnya datang dari Keuchik Gampong Geunteng, yang memastikan kegiatan PBB berjalan tertib dan aman meski situasi sosial masih kacau.
“Ini bukan hanya kegiatan belajar. Ini adalah terapi psikologis bagi anak-anak agar tetap merasa punya arah dan tempat berpijak,” katanya.
Pemerintah Gampong membantu menyediakan lokasi, mengoordinasikan logistik, serta mendata kebutuhan Iqra’, mushaf Al-Qur’an, dan alat tulis.
Baca Juga
Warga Aceh Alami Kesulitan Dampak Banjir: BBM Langka, Listrik Padam, Harga Bahan Pokok Naik
“Jika makan dan obat-obatan kita usahakan, kebutuhan ilmu juga harus kita jaga,” tutupnya.
Selepas magrib, kegiatan pengajian biasanya ditutup dengan doa bersama. Suara anak-anak yang bergetar menahan sedih mengiringi suasana malam yang masih dipenuhi lumpur dan sisa-sisa banjir.
Pelajaran yang mereka dapatkan hari itu bukan hanya tajwid atau huruf hijaiyah, tetapi juga hikmah bahwa hidup harus tetap berjalan. Bagi para orang tua, suara anak mengaji menjadi penyejuk di tengah ketidakpastian.
“Rumoh hana le (rumah musnah)… tapi suara Qur’an masih ada. Itu sudah cukup,” ujar salah satu orang tua pengungsi.
Namun hingga lebih dari satu pekan pascabanjir, kebutuhan pengungsi masih jauh dari terpenuhi. Bantuan logistik belum merata, banyak warga belum mendapatkan pakaian layak, dan kebutuhan dasar masih kurang.
Keuchik Gampong Geunteng berharap bantuan segera menyentuh warga yang masih bertahan di pengungsian.
“Meskipun bantuan jasmani berupa sembako dan lainnya, termasuk bantuan kesehatan tak dirasakan sepenuhnya oleh warga, berharap pemerintah dan lembaga yang memberikan bantuan untuk tak melupakan Gampong Genteng tetapi menghidupkan lentera ilmu via beut Seumebeut (taklim) tak boleh dilupakan dan kendur,” pintanya.