Kewajiban Pemerintah dalam Islam: Totalitas Turun Tangan Membantu Korban Bencana - NU Online

Central Informasi
By -
0

 

Kewajiban Pemerintah dalam Islam: Totalitas Turun Tangan Membantu Korban Bencana

NU Online  ·  Senin, 1 Desember 2025 | 15:30 WIB


Ilustrasi banjir. Sumber: Canva/NU Online.

Muhammad Zainul Millah

Kolomnis

Belakangan ini, bencana demi bencana terus berdatangan. Mulai dari banjir, hingga tanah longsor. Hal ini tentu menjadi musibah yang memprihatinkan. Banyak masyarakat yang kelaparan, kehilangan harta dan tempat tinggal, bahkan kehilangan nyawa.


Banyak seruan dan tuntutan dari masyarakat agar negara bergerak cepat dalam menyikapi bencana, terutama dengan menyelamatkan dan membantu para korban. Selain itu, masyarakat juga mendesak agar status bencana tersebut segera ditetapkan sebagai Bencana Nasional.


Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Masing-masing pemerintah pusat dan daerah memiliki wewenang dalam penanggulangan bencana.

Baca Juga

Khutbah Jumat: Tiga Pelajaran Penting Bencana Alam bagi Tiap Muslim


Tujuan penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman risiko dan dampak bencana.


Dalam pandangan Islam, kehadiran negara di tengah bencana harus dilakukan. Pemerintah wajib hadir untuk membantu dan menyelamatkan para korban terdampak bencana. Syekh Abdurrahman Al-Jaziri menjelaskan bahwa wajib bagi pemerintah untuk menghilangkan kemudaratan dari rakyatnya. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, pemerintah juga berkewajiban membantu para korban terdampak bencana.


يَجِبُ عَلَى كُلِّ رَئِيسٍ قَادِرٍ سَوَاءٌ كَانَ حَاكِمًا أَوْ غَيْرَهُ أَنْ يَرْفَعَ الضَّرَرَ عَنْ مَرْءُوسِيهِ، فَلَا يُؤْذِيَهُمْ هُوَ وَلَا يَسْمَحُ لِأَحَدٍ أَنْ يُؤْذِيَهُمْ


Artinya “Wajib atas setiap pemimpin yang mampu, baik ia seorang hakim maupun selainnya, untuk menghilangkan mudarat dari orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Maka ia tidak boleh menyakiti mereka, dan tidak boleh membiarkan siapa pun menyakiti mereka.” (Kitabul Fiqhi 'alal Madzahibil Arba’ah, [Beirut: Darul Fikr,] juz v, halaman 326).


Penjelasan ini sangat relevan dengan kondisi saat ini. Ketika bencana terjadi, pemerintah tidak boleh hanya menonton atau menunda tanggap darurat. Negara berkewajiban hadir dengan cepat, menurunkan tim evakuasi, membuka akses logistik, dan menyediakan tempat aman bagi korban. Membiarkan rakyat kesulitan adalah bentuk kelalaian terhadap amanah kepemimpinan.

Baca Juga

Problematika Akad Sewa-Menyewa dalam Fiqih Bencana


Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi menjelaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan kas negara untuk membantu orang-orang yang membutuhkan.


قَوْلُهُ: عِنْدَ اخْتِلَالِ الخ أَيْ أَنَّ الْمُخَاطَبَ بِدَفْعِ الضَّرَرِ الْمُوسِرُ عِنْدَ عَدَمِ انْتِظَامِ بَيْتِ الْمَالِ وَعَدَمِ وفَاءِ الزَّكَاةِ، أَوْ نَحْوِهَا بِكَفَايَتِهِ فَإِنْ لَمْ يَخْتَلّ مَا ذُكِرَ أَوْ وُفِّيَتْ الزَّكَاةُ بِهَا لَا يَكُونُ الْمُوسِرُ هُوَ الْمُخَاطَب بِهِ بَلْ يَكُونُ دَفْعُ ضَرَرِهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ أَوْ مِنَ الزَّكَاةِ


Artinya “(Ungkapan: ketika terjadi kekacauan) yaitu bahwa pihak yang dibebani mencegah bahaya adalah orang yang mampu (al-mûsir) pada saat Baitul Mal tidak tertata atau zakat tidak mencukupi, atau dari sumber lain. Apabila keadaan yang disebutkan tidak terganggu, atau zakat tersedia untuk kebutuhan itu, maka orang yang mampu (al-mûsir) tidak menjadi pihak yang dibebani. Dalam hal ini, kewajiban mencegah bahaya menjadi tanggung jawab Baitul Mal atau dari zakat. (Ianatuth Thalibin, [Beirut: Darul kutub Al-Ilmiyah, 2006] Juz IV, halaman 324).


Dalam konteks Indonesia, ini berarti pemerintah wajib mengalokasikan anggaran negara seperti APBN, APBD, dana darurat, maupun cadangan bencana untuk menolong korban. Tidak semestinya masyarakat dibiarkan mencari bantuan sendiri, apalagi mengemis, bahkan menjarah. Negara wajib memastikan bahwa tidak ada warga yang kelaparan atau terisolasi tanpa bantuan.

Baca Juga

Ulama Aceh Desak Presiden Tetapkan Banjir Sumatra sebagai Bencana Nasional

Dalam hal ini, Ad-Damiri juga menegaskan, termasuk tugas pemerintah adalah mengalokasikan dana untuk membantu orang-orang yang terkena bencana atau musibah, yang membutuhkan bantuan.


كَكَسْوَةِ عَارٍ وَإِطْعَامِ جَائِعٍ، وَكَذَلِكَ إِغَاثَةُ الْمُسْتَغِيثِ فِي النَّائِبَاتِ


Artinya “Seperti memberi pakaian kepada yang telanjang dan memberi makan kepada yang kelaparan) dan demikian juga, memberikan pertolongan kepada orang yang meminta bantuan di saat musibah (bencana/kesulitan besar),” (An-Najmul Wahhaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2018] juz VI, halaman 13).

Syekh Izzuddin bin Abdis Salam menjelaskan bahwa tugas pemerintah adalah menjaga rakyatnya dengan melakukan hal-hal yang membawa maslahat untuk rakyatnya, yaitu tindakan yang dapat menolak bahaya dan membawa manfaat. Dalam kaitan bencana, tentu kehadiran negara harus dilakukan untuk menghilangkan bahaya (dharar) dari para korban bencana. (Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil Anam, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah] juz II, halaman 75).


Dalam konteks bencana, hal ini tidak hanya berarti tindakan setelah bencana terjadi, tetapi juga fungsi mitigasi sebelum bencana memperbaiki tanggul, memastikan tata ruang yang benar, mengawasi penebangan hutan, serta membangun sistem peringatan dini. Mengabaikan langkah-langkah pencegahan berarti membiarkan rakyat berada dalam bahaya yang semestinya bisa dicegah.


Sayyid Abu Bakar ad-Dimyathi juga menyampaikan bahwa dalam mengelola dana maslahat, pemerintah harus memprioritaskan orang-orang yang dalam keadaan darurat, seperti korban bencana.


وقولهُ: فيما يَجِبُ على الإِمَامِ الصَّرْفُ فيهِ، أي من مَصَالِحِ المُسْلِمِينَ، وقولهُ: وهو أي ما يَجِبُ على الإِمَامِ الصَّرْفُ فيهِ، وقولهُ: أَهَمُّ مَصَالِحِ المُسْلِمِينَ، وهي كَسَدِّ الثُّغُورِ، وَأَرْزَاقِ القُضَاةِ، وَالعُلَمَاءِ، وَأَهْلِ الضَّرُورَاتِ وَالحَاجَاتِ

Artinya “Ucapannya: ‘pada hal-hal yang wajib bagi imam untuk membelanjakannya’, yaitu dari berbagai kemaslahatan kaum muslimin. Ucapannya: ‘dan itu,’ yakni apa yang wajib bagi imam untuk membelanjakannya. Ucapannya: ‘merupakan kemaslahatan kaum muslimin yang paling penting.’ Yaitu seperti menutup celah-celah perbatasan (keamanan), memberikan gaji para qadhi, para ulama, serta orang-orang yang berada dalam kondisi darurat dan kebutuhan.” (I’anathut Thalibin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah,2018] juz III, halaman 422).


Dengan demikian, kehadiran negara di tengah bencana yang melanda masyarakat merupakan tugas yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam mengalokasikan dana, pemerintah juga harus memprioritaskan para korban bencana karena mereka dalam kondisi darurat. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kab. Blitar.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default