Cara Memandikan Jenazah di Tengah Keterbatasan Air Bersih saat Bencana
NU Online · Selasa, 16 Desember 2025 | 18:00 WIB

Ilustrasi jenazah korban bencana. Sumber: Canva/NU Online.
Kolomnis
Saat ini, duka mendalam tengah menyelimuti kita semua atas musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Sumatra. Banjir bandang yang terjadi bukan sekadar luapan air biasa, tetapi datang bersama gelondongan kayu besar, lumpur, dan material tanah yang terseret derasnya arus. Kondisi ini diduga kuat diperparah oleh kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan penebangan pohon secara masif, yang membuat alam kehilangan daya tahannya.
Akibat bencana tersebut, tidak sedikit harta benda warga yang hanyut terbawa arus. Rumah-rumah rusak bahkan lenyap, akses antarwilayah terputus, dan aktivitas masyarakat lumpuh total. Yang lebih memilukan, musibah ini juga merenggut banyak korban jiwa dan meninggalkan luka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.
Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagaimana tercantum dalam tautan resmi yang menyertainya, jumlah korban meninggal dunia mencapai ratusan orang.
Baca Juga
Beda Letak Kepala Jenazah Laki-laki dan Perempuan saat Dishalati
Sementara itu, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, dan ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi meninggalkan rumah mereka demi keselamatan. Data ini menunjukkan betapa besar dampak kemanusiaan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut dan betapa mendesaknya upaya penanganan serta kepedulian bersama.
Dengan jumlah korban jiwa yang hampir menyentuh angka ribuan tersebut, para relawan atau petugas dan pihak yang terlibat mengalami kesulitan untuk melakukan proses pemulasaran jenazah. Hal ini disebabkan karena ketersediaan air bersih untuk memandikan jenazah yang masih sangat minim. Jangankan memandikan jenazah, untuk kebutuhan minum saja masyarakat yang terdampak masih sangat kesulitan.
Kewajiban Mengurusi Jenazah
Secara lahiriah, manusia merupakan makhluk yang dimuliakan. Bahkan dalam keadaan sudah wafat, jenazahnya juga harus diperlakukan dengan terhormat layaknya ketika ia masih hidup. Setidaknya, ada empat kewajiban yang dipikul oleh orang yang masih hidup secara kolektif (fardhu kifayah) terhadap jenazah umat Islam. Dalam kitab Taqrib dijelaskan:
Baca Juga
Hukum Menunda Pemakaman Jenazah karena Tunggu Kelengkapan Keluarga
ويلزم في الميت أربعة أشياء غسله وتكفينه والصلاة عليه ودفنه
Artinya, "Kewajiban terhadap mayit ada empat; memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya." (Abu Syuja’, Matn al-Ghayah wat Taqrib, [Surabaya: Al-Hidayah, t.th], hal. 23-24).
Pemulasaran jenazah dengan melakukan empat hal di atas adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang masih hidup; memandikan jenazah, mengkafani, menshalati kemudian menguburkannya. Akan tetapi, kewajiban ini bersifat kolektif atau yang biasa disebut dengan fardhu kifayah. Artinya kewajiban menjadi gugur ketika ada orang yang telah melakukannya.
Terkait fardhu kifayah ini, Syekh Zakariya al-Anshari dalam Lubbul Ushul menjelaskan definisinya sebagai berikut,
فرض الكفاية مهم يقصد جزما حصوله من غير نظر بالذات لفاعله
Artinya, "Fardhu kifayah adalah perkara penting yang harus terealisasi tanpa memandang kepada siapa pelakunya," (Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul Syarh Lubbil Ushul, [T.tp, Al-Haramain, 2016], hlm. 30).
Memandikan jenazah adalah proses pertama yang harus dilakukan sebelum prosesi yang lain. Saking urgennya, menurut pendapat yang kuat, salah satu syarat sah shalat jenazah adalah jenazah yang dishalati harus dimandikan terlebih dahulu. Artinya, jenazah tidak boleh dishalati sebelum ia dimandikan terlebih dahulu. Bahkan ketika sudah dimakamkan tetapi jenazah tersebut belum dimandikan, kuburannya wajib dibongkar untuk dimandikan asalkan jenazahnya masih utuh.
Memandikan Jenazah dalam Kondisi Darurat
Satu hal yang perlu diketahui bahwa memandikan mayit dapat diidentikkan dengan mandi junub bagi orang yang masih hidup. Artinya, yang wajib dilakukan bagi orang yang sedang memandikan jenazah adalah mengguyurkan badan jenazah dengan air bersih cukup satu kali, asalkan air tersebut rata mengenai seluruh bagian tubuh mayit. Hal ini sebagaimana keterangan dalam Kitab Syarah Safinatun Najah karya Syaikh Nawawi Banten,
أقل الغسل تعميم بدنه بالماء أي مرة لأنها الفرض في الحي والميت أولى بها
Artinya, "Paling minimalnya memandikan mayit adalah meratakan badannya dengan air sebanyak satu kali, karena hal tersebut merupakan jumlah wajib ketika hidup (saat mandi janabah), dan mayit lebih utama untuk dilakukan demikian," (Syekh Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Surabaya: Nurul Huda, t.th], hlm. 101).
Ketentuan tersebut adalah aturan ideal yang berlaku dalam kondisi normal. Bahkan, dalam kondisi tersebut, yang paling utama dalam hal memandikan jenazah adalah meratakan jasadnya dengan air sebanyak tiga kali.
Namun, dalam kondisi tertentu, hal tersebut sangat sulit dilakukan. Misalnya di tengah situasi bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra seperti sekarang ini persediaan air sangat minim, ditambah dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit.
Dalam kondisi seperti ini, ulama memberikan solusi yang dapat dijadikan alternatif bagi petugas dan relawan yang menemukan kesulitan dalam mengurusi jenazah korban bencana. Dalam Kitab Al-Majmu, imam An-Nawawi menjelaskan,
إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غسل لتهرى لم يغسل بل ييمم وهذا التيمم واجب لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء الي التيمم كغسل الجناية
Artinya, "Apabila memandikan jenazah tidak mungkin dilakukan karena tidaknya ada air atau jenazah hangus terbakar sehingga jika dimandikan tubuhnya akan hancur, maka jenazah tersebut tidak perlu dimandikan, tetapi (cukup) ditayamumkan. Tayamum ini hukumnya wajib, sebab ia merupakan bentuk penyucian yang tidak berkaitan dengan menghilangkan najis. Sehingga ketika tidak mampu menggunakan air, wajib berpindah kepada tayamum, sebagaimana ketentuan dalam mandi janabah," (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, [Darul Fikr, t.th.], juz V, hlm. 178).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kewajiban memandikan jenazah tidak gugur meskipun air sangat sulit atau bahkan tidak mungkin didapatkan. Dalam kondisi seperti ini, kewajiban tersebut berpindah kepada tayamum. Artinya, memandikan jenazah dianalogikan dengan mandi wajib, yang kewajibannya beralih kepada tayamum ketika penggunaan air tidak memungkinkan.
Sebagaimana tayamum pada umumnya, para relawan atau petugas dapat menggunakan debu yang diyakini mengandung unsur debu, lalu menayamumi jenazah dengan tata cara tayamum biasa. Namun, tayamum ini tidak disyaratkan adanya niat. Sebab, pada dasarnya tayamum tersebut merupakan pengganti dari mandi jenazah, sementara mandi jenazah sendiri juga tidak mensyaratkan niat. Penjelasan ini sebagaimana diterangkan dalam Kitab Nihayatuz Zain.
وتندب النية في التيمم كالغسل ولا تجب على المعتمد
Artinya: "Disunnahkan berniat ketika tayamum (untuk mayit) sebagaimana memandikannya, dan hukumnya tidak wajib menurut pendapat yang mu’tamad," (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Jakarta: Darul Kutb al-Islamiyah, 2008], hlm. 174).
Walhasil, orang yang akan memandikan mayit pertama-tama diharuskan untuk mengupayakan keberadaan air terlebih dahulu. Jika tetap tidak memungkinkan maka langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menayamumi jenazah tersebut sebagaimana tata cara tayamum pada umumnya. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, mengabdi di Pondok Pesantren Manhalul Ma’arif Lombok Tengah.