Eksploitasi Alam: Wujud Nyata dari Kufur Nikmat - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Eksploitasi Alam: Wujud Nyata dari Kufur Nikmat

NU Online  ·  Selasa, 2 Desember 2025 | 14:00 WIB

Eksploitasi Alam: Wujud Nyata dari Kufur Nikmat

Ilustrasi deforestasi. Sumber: Canva/NU Online.

Siti Isnaini

Kolomnis

Hujan deras yang mengguyur Sumatera Utara dalam beberapa pekan terakhir telah menelan banyak korban jiwa dan melenyapkan ribuan rumah di Langkat serta Deli Serdang. Begitupula longsor di Tapanuli Selatan dan abrasi di pesisir timur Sumatera. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per November 2025 mencatat lebih dari 3.200 kejadian bencana di seluruh Indonesia sepanjang tahun ini, diantaranya adalah banjir, longsor, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem dengan total lebih dari 7 juta jiwa terdampak dan 1.200 korban meninggal dunia. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya, menandakan bahwa intensitas bencana kian meningkat dan pola alam semakin tak menentu.


Dibalik bencana alam tersebut, sebagian masyarakat memaknainya sebagai takdir yang telah digariskan oleh Tuhan, sebagian lagi memandang ini sebagai akibat dari ulah tangan dan keserakahan manusia dalam mengelola sumber daya alam. Lantas, bagaimana sebenarnya Al-Qur'an memandang fenomena tersebut.


Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa musibah yang menimpa manusia dan alam merupakan takdir yang telah Allah tetapkan dalam lauhul mahfudz, sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Hadid ayat 22:

Baca Juga

Hadits Seputar Keutamaan Menanam Pohon


مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَاۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ ۝٢٢

Artinya: "Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah."


Imam Baghawi dalam kitabnya menafsirkan musibah di muka bumi adalah kondisi kekeringan, minimnya tumbuh-tumbuhan, dan berkurangnya buah-buahan. Sedangkan musibah yang terjadi pada diri seseorang adalah kondisi sakit dan tidak memiliki keturunan.


قوله عز وجل: { مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ } يعني: قحط المطر وقلة النبات ونقص الثمار { وَلا فِي أَنْفُسِكُم } يعني: الأمراض وفقد الأولاد

Baca Juga

Pepohonan dan Tumbuhan dalam Al-Qur’an: Fungsi serta Manfaatnya


Artinya, "Allah azza wa jalla berfirman (Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi), (yang dimaksud مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ) ialah kondisi kekeringan, minimnya tumbuh-tumbuhan, dan berkurangnya buah-buahan, (yang dimaksud  مُصِيبَةٍ فِي أَنْفُسِكُم) ialah kondisi sakit dan tidak memiliki keturunan." (Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi [Beirut, Darut Tayyibah li al-Nashr wa at-Tawzi', 2010], jilid VIII, hlm. 40).

Lebih lanjut, Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya menambahkan bahwa tidaklah musibah yang terjadi atas izin Allah. Sebagaimana berikut: 


مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ. قال ابن عباس: بأمر الله، يعني: عن قدره ومشيئته


Artinya: "Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa kecuali atas izin Allah. Imam Ibnu Abbas berpendapat bahwa musibah tersebut atas perintah Allah, yakni berdasarkan takdir dan kehendak-Nya." (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 2004], vol 8, hlm. 137).


Takdir memang mencakup segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Tetapi, adanya takdir bukan berarti manusia bebas dari tanggung jawab dan pasrah tanpa usaha. Allah berfirman:


إنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (QS. Ar-Ra'du [13]: 11).


Dalam kitab tafsir ar-Razi disebutkan bahwa seluruh mufassir sepakat bahwa maknanya ialah: Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum yang berada dalam nikmat dengan menurunkan azab atau balasan, kecuali jika mereka sendiri melakukan maksiat dan kerusakan, sebagaimana berikut:


أما قوله تعالى : { إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيّرُ مَا بِقَوْمٍ حتى يُغَيّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ } فكلام جميع المفسرين يدل على أن المراد لا يغير ما هم فيه من النعم بإنزال الانتقام إلا بأن يكون منهم المعاصي والفساد . قال القاضي : والظاهر لا يحتمل إلا هذا المعنى لأنه لا شيء مما يفعله تعالى سوى العقاب إلا وقد يبتدىء به في الدنيا من دون تغيير يصدر من العبد فيما تقدم لأنه تعالى ابتدأ بالنعم دينا ودنياً ويفضل في ذلك من شاء على من يشاء ، فالمراد مما ذكره الله تعالى التغيير بالهلاك والعقاب

Artinya: "Adapun firman Allah Ta‘ala: “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri)” maka seluruh mufassir sepakat bahwa maknanya ialah: Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum yang berada dalam nikmat dengan menurunkan azab atau balasan, kecuali jika mereka sendiri melakukan maksiat dan kerusakan.


Al-Qadhi berkata: Makna yang tampak dari ayat ini tidak dapat diartikan selain demikian. Sebab, tidak ada satu pun perbuatan Allah selain hukuman (azab) yang terjadi tanpa didahului perubahan dari pihak hamba. Karena sesungguhnya Allah telah memulai dengan nikmat, baik nikmat agama maupun dunia, dan Dia memberi keutamaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka yang dimaksud dengan perubahan yang disebutkan Allah dalam ayat ini adalah perubahan berupa kebinasaan dan hukuman." (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghayb [Beirut, Darul Ihya', 2009], vol 9, hlm. 155).

Sedangkan Imam Qurthubi memiliki penafsiran lain terkait ayat ini, sebagai berikut:


قوله تعالى: (إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم) أخبر الله تعالى في هذه الآية أنه لا يغير ما بقوم حتى يقع منهم تغيير، إما منهم أو من الناظر لهم، أو ممن هو منهم بسبب، كما غير الله بالمنهزمين يوم أحد بسبب تغيير الرماة بأنفسهم، إلى غير هذا من أمثلة الشريعة، فليس معنى الآية أنه ليس ينزل بأحد عقوبة إلا بأن يتقدم منه ذنب، بل قد تنزل المصائب بذنوب الغير، كما قال صلى الله عليه وسلم - وقد سئل أنهلك وفينا الصالحون ؟ قال - نعم إذا كثر الخبث

Artinya: Firman Allah Ta‘ala: (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri) Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai terjadi perubahan dari pihak mereka sendiri, baik perubahan itu berasal dari diri mereka secara langsung, dari pemimpin atau pengurus mereka, maupun dari orang yang masih memiliki hubungan sebab dengan mereka.  Sebagaimana, Allah mengubah keadaan kaum Muslimin yang kalah pada Perang Uhud disebabkan perubahan sikap para pemanah yang meninggalkan posisi mereka. Begitu pula dengan berbagai contoh lainnya dalam syariat.  Maka makna ayat ini bukanlah Allah tidak menimpakan hukuman kepada siapa pun kecuali jika orang itu lebih dahulu berbuat dosa, tetapi terkadang musibah juga turun karena dosa orang lain. Sebagaimana sabda Nabi SAW ketika beliau ditanya:  “Apakah kami akan binasa padahal di antara kami masih ada orang-orang saleh?” Beliau menjawab: “Ya, apabila kemaksiatan dan kejahatan sudah merajalela.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, 2007], jilid IX, hlm. 294).

Berdasarkan penafsiran ini, maka musibah yang Allah turunkan bukan semata-mata takdir tanpa sebab, melainkan musibah tersebut merupakan akibat perbuatan manusia yang zalim dan serakah dalam mengelola sumber daya alam. Sebagaimana firman Allah:


وَمَا كُنَّا مُهْلِكِى الْقُرٰىٓ اِلَّا وَاَهْلُهَا ظٰلِمُوْنَ ۝٥٩


Artinya: "Tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri-negeri, kecuali penduduknya dalam keadaan zalim." (QS. Al-Qashash [28]: 59).


Dalam kitab Tafsir Bahrul Madid dijelaskan bahwa Allah tidak akan membinasakan atau menurunkan musibah kepada suatu negeri kecuali apabila penduduknya memang pantas menerimanya. Ibnu Ajibah menafsirkan bahwa kebinasaan itu bukan bentuk balas dendam dari Allah, melainkan karena penduduk negeri tersebut telah berhak mendapatkan azab akibat kezaliman mereka sendiri. 


Kezaliman itu berupa sikap terus-menerus dalam kekufuran, kemaksiatan, serta keras kepala terhadap kebenaran meskipun sebelumnya telah diberi peringatan dan penjelasan (Ibnu Ajibah, Tafsir Bahrul Madid, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003], jilid IV, hlm. 442).


Sementara itu, Imam Al-Ka'bi dalam Tafsir Ar-Razi mengemukakan pendapat senada. Beliau menjelaskan bahwa berbagai ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah tidak memulai suatu penyiksaan atau kebinasaan tanpa adanya sebab dari manusia itu sendiri. 


Di antara dalilnya adalah ayat yang menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri; Allah tidak akan mengazab suatu kaum apabila mereka bersyukur dan beriman; dan Allah tidak membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya berada dalam keadaan zalim. Semua ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak pernah memulai tindakan yang menimbulkan mudarat tanpa alasan yang adil (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghayb, [Beirut: Darul Ihya’, 2009], jilid X, hlm. 21).


Fazlur Rahman juga menyinggung masalah ini dalam bukunya, “The calamities that befall man are not arbitrary acts of God; they are the natural and moral consequences of his own actions. The Qur’an views the order of the universe as morally structured, when man violates this moral order, he brings suffering upon himself, not as a divine vengeance, but as a means to make him realize and return to the right path.” (Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. [University of Chicago Press, 2009], hlm. 48-49).


Artinya: “Bencana yang menimpa manusia bukanlah tindakan sewenang-wenang dari Tuhan; melainkan konsekuensi alami dan moral dari perbuatannya sendiri. Al-Qur’an memandang tatanan alam semesta sebagai struktur moral, ketika manusia melanggarnya, ia menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai balasan dendam Ilahi, tetapi sebagai cara agar ia sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Kutipan ini menjadi dasar bagi gagasan bahwa bencana ekologis berfungsi sebagai mekanisme moral, peringatan agar manusia menyadari pelanggaran terhadap tatanan alam dan memperbaikinya. Beberapa penafsiran ini juga menegaskan prinsip tanggung jawab sosial kolektif. Di mana bencana bisa jadi akibat perubahan moral dalam masyarakat atau perilaku fasad fil ardh, baik karena perbuatan individu, pemimpin, maupun suatu kelompok. Ironinya, musibah tersebut dapat menimpa seluruh komunitas ketika kemaksiatan telah meluas dan dibiarkan tanpa upaya perbaikan.

Dengan demikian bencana alam yang menimpa beberapa daerah di Indonesia saat ini, boleh jadi memang sudah takdir Allah, namun tidak dapat dipungkiri bahwa musibah ini juga diakibatkan ulah tangan manusia yang serakah dalam pembebasan hutan menjadi ladang sawit, pengerukan tambang yang berlebihan, penggundulan hutan, dan penebangan hutan tropis yang menyebabkan deforestasi.


Ustadzah Siti Isnaini, Alumni Kelas Menulis Keislaman NU Online 2025.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default