Tata Cara Shalat ketika Tak Menemukan Tempat Layak di Saat Banjir - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Tata Cara Shalat ketika Tak Menemukan Tempat Layak di Saat Banjir

NU Online  ·  Selasa, 2 Desember 2025 | 07:00 WIB

Tata Cara Shalat ketika Tak Menemukan Tempat Layak di Saat Banjir

Ilustrasi shalat. Sumber: Canva/NU Online.

Sunnatullah

Kolomnis

Duka mendalam menyelimuti kita semua atas musibah banjir yang melanda Sumatera Utara, Sumatra Barat, dan berbagai wilayah lainnya beberapa waktu lalu. Kehilangan nyawa dalam bencana ini merupakan ujian berat bagi kita semua. Semoga Allah menerima amal ibadah para korban yang meninggal dunia serta menempatkan mereka di tempat terbaik di sisi-Nya. Dan bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga Allah memberikan ketabahan, kekuatan, dan kesabaran dalam menghadapi cobaan ini.


Banjir adalah fenomena alam yang bisa datang kapan saja, dan seringkali tanpa bisa diprediksi sepenuhnya. Dan dampaknya tidak hanya merusak tempat tinggal dan infrastruktur saja, tetapi juga mempengaruhi aktivitas ibadah umat Islam. Dalam kondisi normal, kita bisa dengan mudah melaksanakan shalat di masjid, mushalla, atau tempat yang bersih dan layak. Namun bagaimana jika banjir melanda dan kita kesulitan menemukan tempat yang layak?


Nah dalam kondisi seperti ini, umat Islam tidak hanya diuji pada keteguhan hati saja, tetapi juga pada keteguhan untuk tetap menjalankan syariat di tengah keterbatasan. Maka dalam hal ini Islam memberikan dispensasi, termasuk ketika ibadah-ibadah wajib harus dijalankan dalam kondisi yang jauh dari normal. Karena banjir yang melanda tidak hanya bencana alam saja, tetapi juga memunculkan beberapa problem, seperti tempat tinggal tidak layak, pakaian basah, air kotor menggenangi masjid, bahkan untuk berdiri di tanah pun sering kali tidak memungkinkan.


Lantas, bagaimana cara shalat dalam keadaan ketika tidak menemukan tempat yang layak saat terkena musibah banjir seperti dalam deskripsi ini? Mari kita bahas.


Perlu diketahui, para ulama sepakat bahwa shalat adalah kewajiban yang tidak gugur dalam kondisi apa pun selama akal masih sehat dan kesadaran masih ada. Dalam situasi darurat seperti banjir, kita diperintahkan untuk tetap berusaha melaksanakan shalat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada. Syekh Sulaiman al-Bujairami dalam salah satu kitabnya mengatakan:

Baca Juga

Susunan Bacaan Wirid Sesudah Shalat Lima Waktu


إنَّ فَرْضَ الصَّلَاةِ لَا يَسْقُطُ عَن الْمُكَلَّفِ مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا


Artinya, “Sungguh kewajiban shalat tidak gugur bagi orang mukalaf selama akalnya masih ada.” (Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut: Darul Fikr, 1995 M/1415 H], jilid II, halaman 13).


Adapun praktik shalat saat banjir pada dasarnya tidak berbeda dari praktik shalat dalam kondisi normal. Semua syarat, rukun, dan ketentuannya tetap berlaku sebagaimana biasanya. Prinsip dasarnya adalah bahwa selama seseorang masih mampu melaksanakan bagian-bagian shalat sebagaimana mestinya, maka ia wajib melaksanakannya sesuai kemampuan tersebut. Jika mampu berdiri, maka berdiri tetap menjadi kewajiban dalam shalat fardu. Jika tidak mampu, maka boleh shalat sambil duduk. Jika duduk pun tidak bisa, ia boleh shalat sambil berbaring dengan memberi isyarat pada rukuk dan sujud.


Namun bagaimana jika tidak ada tempat layak? Sementara yang ada hanyalah tempat yang masih dipenuhi air?


Perlu diketahui, bahwa shalat di atas genangan air tidak menghalangi sahnya shalat, selama tetap mengusahakan untuk tetap menjaga kesucian diri dan pakaian semaksimal mungkin. Bahkan, Rasulullah pernah melakukan shalat di atas genangan air hingga terlihat sisa tanah becek yang menempel pada dahi beliau. Dalam riwayat yang berasal dari Abu Said al-Khudri disebutkan:

Baca Juga

Doa Kamilin, Dibaca Sesudah Shalat Tarawih


جَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ، وَأَقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي جَبْهَتِهِ


Artinya, “Awan datang lalu menurunkan hujan hingga atap masjid bocor. Atap masjid itu terbuat dari pelepah kurma. Kemudian shalat didirikan dan aku melihat Rasulullah saw sujud di atas air dan lumpur, hingga aku melihat bekas lumpur di dahinya.” (HR Bukhari dan Muslim).


Riwayat ini menjadi dalil diperbolehkannya shalat di atas genangan air dan tanah becek. Situasi atap masjid yang bocor dan meneteskan air hujan sehingga membentuk genangan dan lumpur di dalam masjid merupakan analogi yang sangat tepat untuk kondisi banjir yang melanda beberapa saudara yang ada di Sumatra.


Jika Rasulullah sendiri bersujud langsung di atas air dan lumpur tanpa memindahkan shalat ke tempat lain, maka ini menunjukkan bahwa kesulitan untuk mendapatkan tempat yang kering dan bersih sepenuhnya membolehkan seorang untuk shalat di tempat yang serupa, seperti di lantai rumah atau tanah yang tergenang air banjir, selama ia tetap berusaha menjaga kesuciannya.


Bahkan, dijelaskan bahwa yang menempel pada dahi Rasulullah saat itu tidak hanya sekadar bekas (atsar) lumpur tipis yang tertinggal setelah air surut, tetapi benar-benar lumpur yang memenuhi wajah beliau. Hal ini ditegaskan dalam riwayat Ibn Abi Hazim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah selesai melaksanakan shalat Subuh, wajah beliau penuh dengan lumpur dan air,


وَفي رِوَايَةِ ابْنِ أَبِي حَازِمٍ: انْصَرَفَ مِنَ الصُّبْحِ وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً. وَهَذَا يُشْعِرُ بِأَنَّ قَوْلَهُ: أَثَرَ المَاءِ وَالطِّينِ لَمْ يُرَدْ بِهِ مَحْضَ الأَثَرِ، وَهُوَ مَا يَبْقَى بَعْدَ إِزَالَةِ العَيْنِ


Artinya, “Dalam riwayat Ibnu Abi Hazim, ‘Beliau selesai dari shalat Subuh dan wajahnya penuh dengan lumpur dan air.’ Riwayat ini menunjukkan bahwa ungkapan ‘bekas air dan lumpur’ tidak hanya bermakna sekadar bekas yang tersisa setelah menghilangkan bendanya.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H], jilid IV, halaman 258).


Riwayat ini menunjukkan bahwa kondisi Rasulullah saat sujud tidak hanya terkena cipratan kecil atau sisa basah dari air hujan saja, melainkan seluruh wajah beliau benar-benar terkena lumpur. Dengan demikian, shalat yang dilakukan dalam kondisi genangan air dan tanah becek tidak hanya dibolehkan, tetapi telah dipraktikkan secara nyata oleh Nabi sendiri.


Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tata cara shalat dalam keadaan banjir pada dasarnya sama dengan tata cara shalat pada kondisi normal. Semua syarat-syarat dan rukun-rukun shalat tetap berlaku, dan kita wajib melaksanakannya semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kita.


Adapun perihal tempat shalat, jika tidak ditemukan tempat yang kering dan layak akibat genangan banjir, maka shalat di tempat yang masih terdapat genangan air tidak menjadi masalah dan tetap sah. Hal ini berdasarkan riwayat shahih yang menceritakan perihal bagaimana Rasulullah bersujud di atas air dan lumpur hingga bekas lumpur tersebut memenuhi wajah beliau. Wallahu a’lam bisshawab.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default