Gus Umar Wahid: Ibarat Pasien, NU sedang Masuk IGD - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Gus Umar Wahid: Ibarat Pasien, NU sedang Masuk IGD

NU Online  ·  Jumat, 5 Desember 2025 | 18:00 WIB

Gus Umar Wahid: Ibarat Pasien, NU sedang Masuk IGD

Gus Umar Wahid saat menghadiri Haul Ke-15 Gus Dur, di Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Desember 2024. (Foto: NU Online/Suwitno)

Haekal Attar

Penulis

Persoalan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak baru. Pada Selasa (2/12/2025), Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menerbitkan Surat Undangan/Pemberitahuan Rapat Pleno yang salah satu agendanya adalah Penetapan Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU. Rapat Pleno ini rencananya digelar di Hotel Sultan, Jakarta, pada 9-10 Desember 2025.


Rapat Pleno ini ditentang oleh KH Yahya Cholil Staquf yang menyatakan bahwa ia adalah Mandataris Muktamar sebagai Ketua Umum PBNU yang tidak bisa diberhentikan, kecuali melalui Muktamar atau Muktamar Luar Biasa, sehingga Rapat Pleno tidak sah jika tanpa kehadirannya.


Sementara Rais Aam KH Miftachul Akhyar telah mengeluarkan Surat Edaran yang menyatakan bahwa Gus Yahya sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU per 26 November 2025 pukul 00.45 WIB. Kiai Miftachul Akhyar merangkap sebagai Ketua Umum PBNU selama masa kekosongan jabatan ini.


Para sesepuh NU kemudian menggelar pertemuan di Pesantren Ploso, Kediri, Jawa Timur, pada 30 November 2025. Forum ini menyerukan agar persoalan di PBNU bisa diselesaikan dengan cara islah (rekonsiliasi).


Sebagai tindak lanjut atas seruan sesepuh NU di Ploso dan merespons persoalan di PBNU yang tak juga rampung, Pesantren Tebuireng Jombang mengambil peran sebagai ruang temu dan tabayun bagi kedua belah pihak.


Pesantren yang memiliki akar historis dengan Pendiri NU ini mengundang jajaran Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU untuk bersilaturahmi dalam format pertemuan yang dirancang menghadirkan suasana tenang dan penuh penghormatan.


KH Umar Wahid (Gus Umar) bertindak sebagai sohibul hajat. Ia membuka pintu bagi proses dialog yang diharapkan dapat meredakan ketegangan.


Pertemuan ini diatur dalam dua sesi terpisah: sesi untuk Rais Aam, serta sesi untuk Ketua Umum. Para Mustasyar PBNU diundang menjadi ruang penengah, sesuai peran mereka sebagai pemberi nasihat dan pertimbangan dalam organisasi.


Tokoh-tokoh sepuh seperti KH Ma'ruf Amin dan sejumlah kiai kharismatik lainnya dijadwalkan hadir. Melalui pertemuan ini, Gus Umar berharap PBNU akan menemukan jalan islah, atau setidaknya meraih ketenangan sementara sebelum melangkah ke proses penyelesaian lebih mendalam.


Untuk menggali apa yang terjadi di balik upaya mempertemukan dua pucuk pimpinan PBNU itu, Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan dan reporter Haekal Attar mewawancarai Gus Umar melalui sambungan telepon pada Kamis (4/12/2025).

Baca Juga

Kronologi Persoalan di PBNU (1): dari Rapat Syuriyah, Pernyataan Ketum dan Sekjen, hingga Kegelisahan PWNU


Dalam perbincangan ini, Gus Umar menjelaskan latar belakang gagasan pertemuan, harapan yang ia titipkan, serta pandangannya mengenai kemungkinan islah yang kini menjadi tuntutan moral di tengah persoalan organisasi. Berikut petikan wawancaranya.


Bagaimana cerita latar belakang pertemuan di Pesantren Tebuireng itu, Gus?


Ceritanya? Bingung ya? Kalau anda bingung, saya juga bingung. Hahaha. Saya ini, terus terang, tidak pernah aktif di organisasi NU, meski saya pasti orang NU dari lahir. Bahkan dari sebelum lahir, sudah jadi orang NU. Waktu mahasiswa, saya aktif di PMII. Tapi setelah saya lulus, saya memilih jalur dunia profesi. Jadi, saya aktif di dunia profesi saya, terutama di bidang perumahsakitan. Terus apa yang mau anda tanyakan? Hahaha.


Apakah anda yang berinisiatif mengadakan pertemuan tersebut? Atau inisiatifnya datang dari rembukan dengan para Masyayikh Pesantren Tebuireng?


Begini, pergaulan saya kan lebih banyak di luar NU. NU itu begitu besar pengaruhnya sehingga apa yang terjadi di NU sering ditanyakan oleh teman-teman saya dari orang-orang kesehatan, pengusaha, dan aktivis yang kebanyakan tidak terkait dengan NU. Tapi mereka sangat concern terhadap NU karena menganggap NU ini satu jangkarnya Republik.


Banyak yang tanya kepada saya setelah terjadi peristiwa yang menggemparkan ini. Saya tidak bisa menjawab karena saya juga tidak mengerti. Semuanya enggak percaya. Kata mereka, “Masa Pak Umar enggak ngerti?” Loh, memang saya tidak mengerti, terus gimana?


Terus terang mereka sangat prihatin, sangat menyayangkan. Saya juga sama dengan mereka.


Lalu, tanggal 22 November saya harus ke Tebuireng. Saya kan bikin buku tentang Kiai Wahid, Bu Nyai Sholihah, dan putra-putrinya. Banyak yang mengundang saya untuk membedah buku. Nah, tanggal 22 November itu giliran Tebuireng yang minta, jadi saya ke sana. Nah, tanggal 21 November sore, saya dengar tentang pemecatan itu. Reaksi saya: akhirnya terjadi juga. Sebelumnya, saya sudah banyak mendengar apa yang terjadi di PBNU.


Kemudian, subuh-subuh, saya berdoa di makamnya Hadratusyekh, Kiai Wahid, dan Bu Nyai Sholihah, ibu saya. Makamnya kan bertetangga, jadi mereka masih bisa ngobrol. Hahaha. Terus saya ke makamnya Gus Dur. Terus terang saya merasa sedih banget. Saya pikir, ini kakek saya, bapak saya, ibu saya, dan abang saya semuanya berjuang untuk NU. Saya tahu banget soal itu. Tapi, NU kok sekarang jadi begini? Itu yang saya rasakan. Saya jadi terguncang.


Sebelum pertemuan hari Minggu di Ploso, saya ditelepon adik saya, Gus Salam (KH Abdussalam Shohib), pengasuh Pesantren Denanyar, di hari Sabtu. Dia bilang, "Mas, besok njenengan sama kiai-kiai diaturi (diundang) ke Ploso." Lalu saya jawab, "Ada apa?" Kata Gus Salam, "Ini mau bicarakan NU."

Baca Juga

Kronologi Persoalan di PBNU (2): Syuriyah Terbitkan Surat, Ketum Gelar Silaturahim Alim Ulama, Sekjen Menanggapi


Dalam hati saya, urusan saya kan enggak ada. Tapi, ya itu tadi, saya teringat kakek dan ayah saya. Ayah saya itu wafat dalam perjalanan ke Sumedang untuk menghadiri konferensi NU Cabang Sumedang. Saya mengurusi kesehatan Gus Dur itu puluhan tahun. Jadi, atas pertimbangan itu dan keadaan NU yang seperti ini, akhirnya saya bilang [kepada Gus Salam], “Saya konsultasi dulu ke dokter saya, apakah dibolehkan menghadiri acara itu atau tidak.”


Lalu saya kontak dokter saya dan dia bilang, "Dokter Umar, saya enggak nganjurin anda terlibat. Jangan ya."


Nah, saya masih menawar sama Gus Salam, kalau pertemuannya dibikin di Tebuireng bagaimana? Kata dia, "Wah, sudah terlanjur disebarin, dibikin di Ploso. Ini saja, njenengan ikut lewat Zoom." Kemudian saya dikabari bahwa pertemuan lanjutan dilakukan di Tebuireng dan saya menjadi sohibul hajat.


Kebetulan memang di antara para kiai yang diundang di Ploso, Gus Kikin (KH Abdul Hakim Machfudz, Pengasuh Pesantren Tebuireng dan Ketua PWNU Jawa Timur) tidak terundang. Jadi, saya koordinasi dengan Gus Kikin.


Di pertemuan Ploso, saya ditanya, bagaimana kalau pertemuan berikutnya digelar di Tebuireng? Saya jawab, “Oke.” Walaupun Gus Kikin belum dikontak soal pertemuan lanjutan, saya pikir beliau pasti setuju lah.


Jadi, cerita tentang latar belakang pertemuan di Tebuireng seperti itu. Sederhana saja, tidak rumit-rumit.


Jadi, yang rumit hanya tafsirannya?


Hahaha…


Pertemuan di Tebuireng kan ada dua sesi. Pertama, Mustasyar dengan Rais Aam, dua Wakil Rais Aam, Gus Ipul, dan Gus Gudfan. Kedua, Mustasyar dengan Katib Aam, dua orang dari Syuriyah, Gus Yahya, dan Amin Said Husni. Mengapa dijadikan sesi berbeda?


Saya dengar memang ada dua pilihan: sekaligus diundang atau terpisah. Saya tidak ikut pertemuan untuk menentukan hal itu. Saya tinggal terima kabar saja. Rupanya lebih banyak yang berpikir untuk dipisah. Menurut saya, pertemuan di Tebuireng nanti sifatnya lebih banyak tabayun [untuk menjelaskan] mengapa semua proses ini bisa terjadi.

Baca Juga

Kronologi Persoalan di PBNU (3): Surat Edaran Syuriyah, Status Ketum, hingga Dorongan PWNU untuk Islah


Tapi ini lucu ya. Pertemuan dengan Syuriyah, dalam hal ini Rais Aam, yang mendampingi Tanfidziyah. Yang diundang Ketua Umum PBNU, yang mendampingi dari Syuriyah. Jadi, saya menganggap ini pertemuan kubunya Rais Aam dengan kubunya Ketua Umum. Hahaha.


Mungkin setelah pertemuan di Tebuireng, para Mustasyar akan berdiskusi, lalu mengambil kesimpulan. Kira-kira seperti itu lah.


Apakah semua Mustasyar sudah dihubungi?


Tadi saya mengontak Gus Salam, katanya beberapa orang konfirmasi akan hadir. KH Ma'ruf Amin akan hadir. Itu kira-kira.


Jadi, orang yang mengkoordinasi teknis pertemuan itu Gus Salam?


Salah satunya iya, Gus Salam. Ada juga Gus Atho (Lirboyo). Saya tidak tahu persisnya siapa lagi. Barangkali juga Gus Kautsar (Ploso).


Apakah bisa dibilang bahwa selain sohibul hajat, anda juga bertindak sebagai inisiator?


Saya tidak berani menganggap diri saya sebagai inisiator. Saya cuma usul, kenapa enggak di Tebuireng. Gitu saja. Bagi saya begini, NU itu kan yang mendirikan Hadratussyekh. Beliau juga pendiri Pesantren Tebuireng. Jadi, menurut saya, sudah sepatutnya kalau situasi seperti ini, salah satu yang harus kita ingat adalah para pendiri, Kiai Hasyim, Kiai Wahab, Kiai Bisri, dan beberapa kiai lain. Mereka mendirikan NU dengan satu tujuan yang mulia, yaitu untuk kepentingan umat. Ayolah kita ingat itu.


Nah, karena itu, salah satunya yang gampang ya kita bikin di Tebuireng, supaya kedua belah pihak ini—kalau boleh saya sebut pihak—ingat tentang perjuangan para pendiri NU. Bagaimana dulu kiai-kiai ini mendirikan NU pada zaman penjajahan Belanda. Saya berharap dengan mau mengingat itu, kita akan merasa bahwa kita tidak boleh bias. Landasan kita adalah apa yang sudah diwariskan oleh para pendiri NU, terutama Hadratussyekh. Itu dasar pikiran saya.


Saya mau cerita. Mas Ivan tahu tidak waktu Muktamar NU di Jombang tahun 2015?

Baca Juga

Kronologi Persoalan di PBNU (4): Gus Yahya Rotasi Pengurus, KH Miftachul Akhyar Bentuk TPF, Sesepuh NU Dorong Islah


Iya, saya hadir di situ. Bagaimana, Gus?


Itu kan tidak [ada agenda] ziarah ke makam Hadratussyekh. Betul tidak? Saya itu ngelus dada sebagai jamaah NU dan sebagai cucu Hadratussyekh.


Saya kan pernah jadi pengurus PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia). Nah, saya punya teman aktivis PSSI. Dia bilang kepada saya, "Mas, kita di PSSI kalau mau kongres selalu ziarah ke makam Ir. Soeratin (pendiri PSSI) di Yogya. Lah ini NU bikin Muktamar di Jombang, kok tidak ziarah ke makam Hadratussyekh, gimana itu?” Lalu saya bilang, “Lu aja nanya begitu, apalagi gue. Gue enggak bisa jawab lah.” Hahaha. Nah, begitu kira-kira.


Kalaupun pertemuan di Tebuireng nanti membuahkan hasil, seperti apa hasil yang anda harapkan sebagai sohibul hajat?


Pertama begini, saya berharap ini bisa islah. Walaupun saya tidak terlalu yakin bahwa islah itu keluar dari hati. Islah itu mungkin karena kondisi. Tapi paling tidak, itu bisa memberi kesejukan bagi jamaah NU dan juga orang di luar NU.


Kemudian harapan saya pribadi, mereka yang bertikai ini, mbok yo ngerti lah… sudahlah, serahkan sama yang lain saja deh. Mereka-mereka yang bertikai itu, saya kok merasa, mudah-mudahan saya salah (narasumber tidak melanjutkan kalimat—Red.). Tapi kalau islah, saya juga tidak yakin itu dari keikhlasan. Banyak faktor mendorong mereka mau islah, tapi kita harus tetap mendorong islah. Kalau enggak islah, saya enggak bayangin apa yang akan terjadi. Bisa pecah ini NU.


Salah satu hasil pertemuan di Ploso adalah anjuran islah. Tapi sampai sekarang, kira-kira satu minggu sesudahnya, belum ada tanda-tanda islah. Kubu Gus Yahya menginginkan islah, namun belum ada respons yang sama dari kubu Kiai Miftach. Ini bagaimana, Gus? Akankah pertemuan di Tebuireng menekankan lagi soal islah?


Saya rasa itu (islah) yang akan ditekankan. Bagaimanapun juga, islah itu untuk menghadapi emergency. Sebagai seorang dokter, saya bisa bilang ini gawat darurat. Saya melihat [NU] ini sedang masuk IGD. Kita urus dulu di IGD, pengobatannya itu namanya islah. Dengan islah, bukan berarti selesai masalahnya. Tapi paling enggak, kita bisa menentukan pasien ini dirawat di ruangan biasa, diperiksa lebih lengkap, atau didiagnosa lebih baik. Kira-kira begitu lah analoginya.


Jadi islah itu sebagai mekanisme kedaruratan?


Iya, iya. Islah itu kalau tidak keluar dari keikhlasan, ya (narasumber tidak melanjutkan kalimat—Red.). Anda kan tahu kenapa terjadi konflik ini. Semua orang tahu. Segala macam kepentingan terkait di situ ya. Jadi islah dulu lah. Setelah islah, mau rawat jalan aja, bisa rawat inap, atau bisa sembuh apa enggak. Lalu, dokternya masih dokter yang di IGD atau dokter spesialis. Ya begitu lah kira-kira.

Baca Juga

Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi


Mengapa yang diundang adalah Mustasyar dalam forum ke arah islah itu?


Saya pikir gini, ngundang Syuriyah kan enggak mungkin, wong yang terlibat kan Rais Aam. Ngundang Tanfidz juga enggak mungkin, wong Ketua Umum terlibat. Dan, ya sudah, akhirnya Mustasyar. Salah satu fungsi Mustasyar kan memberikan nasihat. Nanti sifatnya lebih banyak memberikan pandangan, memberi pertimbangan. Itu memang tupoksinya Mustasyar. Kalau kita lihat di deretan Mustasyar, beliau-beliau itu memang, katakanlah, sudah teruji. Integritas beliau-beliau itu sudah dikenal.


Ada Gus Mus, ada Kiai Ma'ruf Amin, dan kiai-kiai sepuh lain. Dari perempuan ada Bu Sinta Nuriyah. Menurut saya, memang itu tokoh-tokoh yang tepat.


Setelah dua sesi pertemuan di Tebuireng, rencananya anda akan memberikan pernyataan terbuka atau bagaimana?


Tergantung nanti. Saya kan bukan satu-satunya yang merancang pertemuan ini. Tapi saya rasa begini: saya, anda, dan seluruh anggota serta simpatisan, mungkin sebagian besar rakyat Indonesia, berharap NU bisa menjadi jangkar. Mau orang agamanya apa, suku bangsanya apa, semuanya ingin NU tetap menjadi jangkar karena sejarah sudah membuktikan. Masa gara-gara urusan begini, urusan sepele dibanding kebesaran NU, kita jadi ribut.


Sebagai cucu dari Hadratussyekh, putra dari KH Wahid Hasyim, adik dari Gus Dur, sekaligus salah satu sesepuh di NU saat ini, pesan apa yang ingin anda sampaikan kepada kedua pihak yang sedang bertikai?


Besok saja saya sampaikan di Tebuireng. Dari hati ke hati. Hahaha.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default