LPTNU Dorong Penguatan Pendanaan dan Tata Kelola untuk Tingkatkan Mutu Perguruan Tinggi - NU Online

Central Informasi
By -
0

  

LPTNU Dorong Penguatan Pendanaan dan Tata Kelola untuk Tingkatkan Mutu Perguruan Tinggi

NU Online  ·  Selasa, 2 Desember 2025 | 15:15 WIB

LPTNU Dorong Penguatan Pendanaan dan Tata Kelola untuk Tingkatkan Mutu Perguruan Tinggi

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Muhammad Asrofi

Jakarta, NU Online

Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) mendorong penguatan pendanaan dan tata kelola yang akuntabel untuk meningkatkan kualitas atau perguruan tinggi nasional.


Hal ini disampaikan Sekretaris LPTNU M Faishal Aminudin merespons kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak, tetapi belum diiringi peningkatan mutu yang memadai.


Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di dunia. Namun, banyak kampus masih tertinggal dalam aspek riset, kesejahteraan dosen, tata kelola kelembagaan, dan daya saing lulusan.

Baca Juga

Perguruan Tinggi NU, Upaya Revitalisasi Pendidikan Ideal


Kondisi itu, menurut Faishal, hanya dapat diperbaiki melalui komitmen pendanaan yang jelas dan manajemen yang kuat.


“Pendidikan tinggi yang berkualitas memang membutuhkan dana yang memadai. Hal ini dulu yang harus dipastikan terpenuhi,” kata Faishal kepada NU Online, Senin (1/12/2025).


Ia menegaskan bahwa kecukupan anggaran akan berdampak langsung pada kesejahteraan dosen, penguatan riset, penyediaan sarana prasarana pembelajaran, hingga dukungan kerja sama dan eksposur akademik. Tanpa itu, kampus sulit berkembang.


Lebih jauh, Faishal menyoroti masih lemahnya standar mutu perguruan tinggi, terutama di banyak perguruan tinggi swasta (PTS) yang dikelola yayasan pendidikan dan pesantren. Ia menyebut konflik internal yayasan sebagai salah satu penyebab utama menurunnya kualitas PTS.

Baca Juga

LPTNU dan Modernisasi Perguruan Tinggi NU


“Persoalan besar dari perguruan tinggi swasta yang dikelola oleh yayasan adalah keberlangsungan dan daya tahannya dari konflik internal. Banyak kasus menunjukkan PTS-PTS besar mengalami penurunan ketika terjadi konflik internal yayasan dan menyebabkan penurunan kapabilitas perguruan tingginya. Kurangnya kesadaran bahwa yayasan itu sebenarnya didirikan untuk menjadi aset publik, bukan milik keluarga dan keturunannya,” ujarnya.


Menurutnya, PTS yang berbadan hukum organisasi masyarakat (ormas) cenderung lebih stabil karena struktur kepemilikannya jelas dan tidak didominasi individu. Karena itu, penggunaan anggaran negara idealnya diberikan kepada lembaga pendidikan dengan tata kelola yang transparan dan berorientasi publik.


“Berbeda dengan PTS yang didirikan oleh dan berbadan hukum Ormas yang sudah jelas kepemilikan aset dan badan hukumnya milik ormas dan bisa meminimalisir dominasi orang perorang di dalamnya. Ini yang sebenarnya menjadi hal penting bahwa idealnya, anggaran pemerintah baik APBN atau APBD itu digunakan untuk pembangunan fasilitas milik negara atau ormas yang posisi dan tata kelolanya jelas,” tegasnya.


Faishal juga menyinggung polemik penggunaan APBN untuk pembangunan pesantren. Menurutnya, kejelasan regulasi dan akuntabilitas aset menjadi kunci agar dukungan negara tepat sasaran.

Baca Juga

Perguruan Tinggi di Pesantren


“Lebih baik dipertegas saja, bahwa anggaran pemerintah bisa digunakan selain untuk fasilitas dan aset negara, juga bisa diberikan kepada fasilitas dan aset ormas yang status kepemilikan asetnya akan diberikan kepada negara jika ormas tersebut bubar dan semua kegiatan ormas tersebut tidak bertentangan dengan negara,” kata Faishal.


Pembatasan pendirian kampus baru
 

Faishal juga menyoroti maraknya pertumbuhan PTS. Ia menilai, pengawasan pemerintah terhadap perizinan pendirian perguruan tinggi perlu diperketat. Menurutnya, banyak PTS yang didirikan tanpa perhitungan kebutuhan masyarakat dan lebih berorientasi pada perekrutan mahasiswa.


“Banyaknya jumlah perguruan tinggi tentu sangat tergantung pada siapa pemberi izinnya? Sejauh mana mereka menerapkan kriteria pendirian perguruan tinggi? Dan seberapa konsisten menegakkan kriteria tersebut? Jika seperti saat ini jumlah PTS overload,” ujarnya.

Baca Juga

Kiai Sahal Mengelola Pesantren dan Perguruan Tinggi


Konsekuensinya, banyak kampus mengabaikan peningkatan mutu akademik dan hanya fokus mencari mahasiswa baru. Karena itu, LPTNU memilih untuk membatasi pendirian PTNU baru dan lebih menekankan penguatan kualitas kampus yang sudah ada.


“Kami di LPTNU sangat membatasi usulan pendirian perguruan tinggi baru yang berbadan hukum milik perkumpulan. Saat ini kami fokus untuk penguatan tata kelola lembaga agar akuntabel, peningkatan status akreditasi, dan investasi pendidikan lanjut bagi dosen,” jelas Faishal.


Ia menambahkan bahwa pendirian PTNU baru hanya diprioritaskan untuk daerah dengan akses pendidikan tinggi yang masih terbatas.


“Misalnya di Aceh, Papua, NTT. Saat ini PTNU sudah menjangkau lebih dari 80 persen provinsi yang ada di Indonesia. Kami ingin membuat 1 PTNU di setiap provinsi yang besar dan berkualitas. Bukan mendirikan banyak PTNU tapi kualitasnya nihil dan malah menjadi beban administratif bagi pemerintah,” imbuhnya.

Baca Juga

Perguruan Tinggi Riset Berbasis Pesantren


Riset sebagai fondasi mutu

Faishal juga menyoroti lemahnya budaya riset di banyak kampus kecil. Minimnya dana dan SDM terlatih membuat riset sering dilakukan sekadar memenuhi formalitas.


“Bagi PTS kecil, yang bisa dilakukan adalah melakukan investasi sumber daya manusia lebih dulu, misalnya memaksimalkan tingkat pendidikan sampai doktor. Lalu menjalin kemitraan dengan PT lain dalam bentuk kolaborasi riset sehingga SDM tersebut memiliki pengalaman dan juga akses pendanaan sampai publikasi bersama,” ungkapnya.


Ia kembali menegaskan bahwa keterbatasan anggaran adalah kendala terbesar.

Baca Juga

Perguruan Tinggi NU Tak Hanya Banyak, Tapi Harus Bermutu


“Akibatnya, riset tidak dikelola serius karena terkendala minimnya sumber daya manusia berkualifikasi, anggaran sangat tidak memadai, dan iklim riset belum terbentuk," katanya.


Faishal menyebut sebenarnya banyak dosen berkualitas di kampus kecil, namun potensi mereka tidak berkembang karena minim fasilitas dan dukungan riset.


“Jika tidak ada komitmen dari pengelola PTS untuk memberikan paling tidak sepuluh persen anggarannya untuk membiayai riset, maka pemerintah bisa memperbanyak hibah riset sehingga dosen di PTS tetap memiliki kesempatan untuk mendapatkan hibah dan melakukan riset yang bermutu,” ujarnya.


Membangun model pendidikan tinggi adaptif

Faishal menyebut bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi perubahan demografi dan persaingan global. Menurutnya, Indonesia perlu merumuskan model pendidikan tinggi yang adaptif dan berkelanjutan. Ia menekankan bahwa kebijakan pendidikan tidak bisa dibuat terfragmentasi.


“Ada model Humboldt di Jerman, model Skandinavia di Eropa Utara, sampai model-model terbaru seperti Transformer sampai New Education Institution (NEI). Kita tentu memiliki kekhasan, budaya, karakteristik sendiri yang bisa menjadi bagian pembentukan model yang ideal,” ujarnya.


Menurutnya, ada empat hal penting yang harus diaplikasikan dalam pengembangan pendidikan tinggi nasional.


Pertama, kebijakan pendidikan harus dirancang secara komprehensif dan melibatkan seluruh jenjang. Kedua, perguruan tinggi perlu diberikan ruang adaptasi yang luas, termasuk efisiensi tata kelola dan fleksibilitas membuka atau menutup program studi.


Kedua, lembaga pendidikan tinggi harus didesain untuk memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap perubahan. Mereka harus diberikan keleluasaan untuk melakukan efisiensi tata kelola, membuka-menutup program studi sampai melakukan kerja sama,.


Ketiga, pemerintah perlu fokus hanya pada regulasi yang benar-benar mendasar, sementara pengembangan akademik diserahkan kepada asosiasi dan perguruan tinggi.


Keempat, sistem pendidikan tinggi harus terbuka terhadap evaluasi dan mampu merevisi kelemahan tanpa harus mengganti keseluruhan model setiap pergantian kepemimpinan.


Kelima, model yang ideal adalah yang terbuka terhadap evaluasi dan hasil evaluasi tersebut bisa digunakan untuk merevisi atau memperbaiki beberapa aspek yang lemah dalam impelementasinya.


"Bukan model yang harus diganti dengan model baru setiap lima atau 10 tahunan atau setiap ganti menteri berganti juga model yang digunakan,” pungkasnya.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default