Yenny Wahid Sebut Gerakan Kemanusiaan Tak Selalu Bergantung pada Besaran Dana
NU Online · Selasa, 2 Desember 2025 | 19:30 WIB

Pendiri Wahid Foundation Yenny Wahid dalam Diskusi Budaya Filantropi Dalam Gerak Kemanusiaan Keluarga Wahid di Aula Griya Gus Dur, Jl Taman Amir Hamzah No. 8, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Pendiri Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid) menekankan pentingnya empati sebagai fondasi utama dalam gerakan kemanusiaan.
Ia menyebut bahwa gerakan kemanusiaan tidak selalu bergantung pada besarnya dana, tetapi pada kemauan untuk peduli dan bertindak membantu sesama.
“Yang paling penting dalam melakukan kegiatan kemanusiaan sebenarnya bukan uang. Banyak orang punya banyak uang, tetapi tidak melakukan apa-apa. Yang penting itu niatnya dulu, semangatnya, dan kemauan untuk berbuat,” kata Yenny dalam Diskusi Budaya Filantropi Dalam Gerak Kemanusiaan Keluarga Wahid di Aula Griya Gus Dur, Jl Taman Amir Hamzah No. 8, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025).
Baca Juga
3 Alasan NU Bukan Organisasi Islam Biasa menurut Yenny Wahid
Yenny menjelaskan bahwa empati dapat diwujudkan dalam tindakan sederhana sehari-hari. Di antaranya menolong tetangga yang kesulitan, membantu mereka yang membutuhkan, hingga membela warga berbeda agama yang mengalami perlakuan tidak adil. Menurutnya, seluruh tindakan tersebut merupakan bentuk nyata gerakan kemanusiaan.
“Dalam Islam jelas dikatakan, sedekah itu bukan hanya uang. Senyum pun sedekah, jadi ketika kita punya komitmen menciptakan masyarakat yang damai dan saling menghargai, itu tidak selalu membutuhkan uang,” tegasnya.
Yenny menambahkan bahwa misi Wahid Foundation tetap berpegang pada upaya membangun masyarakat damai sesuai ajaran Islam serta menjaga kelestarian lingkungan.
“Core issue dari Wahid Foundation tetap sama yaitu menciptakan masyarakat yang damai, sesuai ajaran Islam, dan menjaga lingkungan alam. Itu yang paling penting,” jelasnya.
Baca Juga
Aksi Kemanusiaan Banser Banyumas, Gendong Lansia sampai Rumah Usai Divaksin

Sementara itu, Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Haidar Bagir, memberikan catatan mengenai kondisi filantropi di Indonesia. Ia menyebut ada kecenderungan lembaga-lembaga besar menilai keberhasilan berdasarkan besarnya dana yang terkumpul, sehingga pendekatannya menjadi terlalu menyerupai logika bisnis.
Baca Juga
Alissa Wahid Ingatkan Pentingnya Gerakan Kemanusiaan untuk Warga Miskin Terdampak Covid-19
“Saya melihat banyak lembaga besar menilai keberhasilan dari jumlah dana yang berhasil dikumpulkan setiap tahun, bahkan bahasa promosi sudah menyerupai bahasa bisnis,” ujarnya.
Menurut Haidar, gerakan filantropi tidak boleh berhenti pada bantuan karitatif atau sekadar pengumpulan dana. Jika institusionalisasi terlalu dominan, nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi ruh gerakan justru bisa tergerus.
“Saya memang cukup lama turun langsung ke masyarakat, saya melihat ada bahaya dalam proses institusional/koorporasi filantropi bila tidak seimbang. Jika presentasi keberhasilan, yang ditampilkan adalah kenaikan persentase,” jelasnya.
“Misalnya, banyak NGO besar yang saya kenal menilai keberhasilan dari jumlah dana yang berhasil dikumpulkan per tahun,” tambahnya.
Baca Juga
Yenny Wahid: Potensi Perempuan Perlu Dibangkitkan
Haidar juga menyoroti mekanisme lembaga donor internasional yang dinilainya sangat mekanistis. Menurutnya, proposal dan pelaporan kerap dibuat hanya untuk memenuhi standar teknis sehingga kehilangan dimensi kemanusiaan yang semestinya menjadi inti gerakan sosial.
“Ini yang saya khawatirkan. Seperti dua sisi pisau, gerakan berbasis karitatif saja tanpa institusionalisasi tidak maksimal, tetapi jika terlalu menekankan institusionalisasi, sentuhan nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi dasar gerakan filantropi justru terkikis,” ujarnya.
Haidar juga menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan dalam ranah filantropi. Berdasarkan pengalamannya, perempuan, terutama para ibu, memiliki kemampuan mengelola sumber daya dengan lebih hati-hati dan produktif.
“Hasil riset PFI yang dipimpin Prof Amelia Audi menunjukkan budaya filantropi Indonesia sangat kaya, berbasis nilai rahmat,” jelasnya.
Menurut Haidar, konsep rahmat dalam Islam tidak hanya berupa spontanitas belas kasih ketika terjadi bencana, tetapi juga menuntut adanya kerja sistematis, terorganisir, dan berkelanjutan melalui sistem sosial dan kelembagaan.
“Filantropi harus mendorong masyarakat mengorganisir pemberdayaan, bukan hanya membagikan bantuan,” pungkasnya.