Yenny Wahid Ceritakan Pola Asuh Keluarga Gus Dur: Setara dan Jauh dari Konstruksi Sosial Patriarki
NU Online · Selasa, 2 Desember 2025 | 21:00 WIB

Yenny Wahid dalam Diskusi Budaya Filantropi dalam Gerak Kemanusiaan Keluarga Wahid di Aula Griya Gus Dur, Jl Taman Amir Hamzah Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Pendiri Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid) menegaskan bahwa pola asuh egaliter di dalam keluarga menjadi fondasi penting bagi pembentukan karakter anak.
Menurutnya, pola pengasuhan yang setara, konsisten, dan empatik diperlukan untuk menanamkan nilai toleransi sejak dini.
Yenny menceritakan pola pengasuhan di rumah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang setara dan jauh dari konstruksi sosial patriarki.
Baca Juga
Slow Living ala Gus Dur
Ia menuturkan bahwa di rumah, Gus Dur turut mencuci piring, mengganti popok anak, dan melakukan pekerjaan domestik lainnya. Semua itu merupakan hal yang biasa dan sepenuhnya normal bagi keluarga mereka.
“Kalau bicara parenting, mengapa kami (anak-anak Gus Dur) menjadi perempuan-perempuan yang tampak tangguh? (Karena) terbiasa berinteraksi di luar rumah dan merdeka dalam ruang bersama laki-laki,” ujar Yenny dalam Diskusi Budaya Filantropi dalam Gerak Kemanusiaan Keluarga Wahid di Aula Griya Gus Dur, Jl Taman Amir Hamzah Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025).
Menurut Yenny, relasi setara dalam keluarganya membuat mereka justru merasa aneh ketika melihat realitas berbeda di luar rumah. Ia menekankan bahwa ketegasan aturan menjadi bagian penting dalam pendidikan keluarga, termasuk pembiasaan penggunaan gawai bagi anak.
“Main HP di-timer, 30 menit berbunyi, taruh HP-nya. Nangis? Tidak apa-apa, tetapi orang tua harus teguh menetapkan aturan. Anak perlu memahami batasan. Jika dibebaskan begitu saja, kelak ia tidak terbiasa menghadapi tantangan hidup,” katanya.
Baca Juga
Pola Pengasuhan ala Gus Dur-Nyai Sinta: Suami Istri Saling Menghargai, Orang Tua Hindari Memerintah Anak
Yenny juga menyoroti pentingnya kedekatan emosional antara orang tua dan anak. Ia menilai banyak orang tua terjebak dalam sikap patronase dan merasa paling benar sehingga mengabaikan perasaan anak.
“Jika anak kesal, akui dulu perasaannya. Kamu kesal, ya, karena mainanmu diambil? Tetapi walaupun kesal, bukan berarti boleh memukul adik. Perasaannya divalidasi dulu, lalu diarahkan bagaimana menyalurkannya, misalnya memukul bantal atau menulis perasaan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa validasi emosi disertai arahan positif akan membentuk karakter anak yang tidak melampiaskan kemarahan lewat kekerasan.
Selain kedekatan emosional, Yenny mengingatkan pentingnya keteladanan orang tua. Aturan tidak akan efektif jika perilaku orang tua bertentangan dengan ucapannya.
Baca Juga
Alissa Wahid Jelaskan Demokrasi ala Gus Dur: Jadi Ruang untuk Perjuangkan Kemaslahatan
“Jangan melarang anak main HP kalau ibunya sendiri selalu memegang HP,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yenny menyampaikan bahwa keluarganya tumbuh dengan nilai keberagaman yang bersumber dari ajaran Al-Qur’an, bahwa manusia diciptakan berbeda untuk saling mengenal, bukan saling bermusuhan.
“Kalau kita bicara soal toleransi dalam Al-Qur’an, sangat jelas bahwa Allah menciptakan manusia dengan sengaja dalam keberagaman. Islam adalah ajaran yang paling penting sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil muslimin. Artinya, kasih sayang untuk seluruh alam manusia, planet, tumbuhan, laut, sungai, semuanya,” terangnya.
Yenny menegaskan bahwa warisan nilai Gus Dur yang terus hidup dalam keluarganya adalah menerima semua orang tanpa memandang agama, latar sosial, maupun preferensi politik.
Baca Juga
Gus Dur Pahlawan Nasional, PWNU Jakarta: Gus Dur Sudah Lama Jadi Pahlawan di Hati Rakyat
“Gus Dur mengajarkan bahwa semua orang diterima apa adanya. Terlepas dari latar belakang agama, sosial, atau politiknya, tetap diterima. Itu yang membuat Gus Dur menjadi pribadi welas asih, mampu melihat bahwa setiap orang memiliki kebenaran masing-masing,” pungkasnya.