Kultum Ramadhan: Surga Dikelilingi Ujian, Neraka Dikelilingi Kenikmatan

Siapa yang tidak menginginkan surga? Hampir semua umat Muslim mendambakannya. Dalam Islam, surga digambarkan sebagai tempat dengan keindahan dan kenikmatan yang tiada bandingannya. Surga adalah tempat mulia yang dijanjikan Allah Ta’ala bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Namun, Rasulullah SAW telah menggambarkan bahwa jalan menuju surga penuh dengan halangan dan rintangan. Sebagaimana sabda beliau:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, "Sungguh surga dikelilingi kesulitan-kesulitan, sedangkan neraka kebalikannya, artinya dikelilingi oleh keinginan hawa nafsu." (Mutafaq alaihi)
Ibnu Katsir menjelaskan arti kata "makarih" dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah jilid 20 hal 387:
وَهِىَ الْأَعْمَالُ الشَّاقَّةُ عَلَى الْأَنْفُسِ مِنْ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُسْتَحَبَّاتِ وَتَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ وَالصَّبْرِ عَلَى الْمَكْرُوهَاتِ
Artinya: "Yaitu amal-amal yang berat bagi jiwa, seperti melaksanakan kewajiban dan amalan sunnah, meninggalkan perkara yang diharamkan, serta bersabar atas hal-hal yang tidak disukai."
Maknanya, surga bukanlah sesuatu yang mudah untuk digapai, tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk meraihnya. Terlebih lagi, sebagai manusia, kita sering kali lalai dan lupa. Kita juga memiliki hawa nafsu yang senantiasa mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan.
Khusus mengenai hawa nafsu, Baginda Nabi mendeskripsikannya sebagai musuh yang paling sulit dikendalikan, karena berada dalam diri sendiri, bagaikan musuh dalam selimut. Beliau bersabda:
أَعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ. أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ
Artinya, "Musuh terbesarmu adalah nafsumu sendiri yang berada dalam dirimu," (HR Baihaqi)
Banyak riwayat menyebut hawa nafsu sebagai musuh terberat karena harus dilawan dari dalam diri sendiri. Kita mungkin mudah melawan orang lain atau hewan buas yang terlihat, tetapi hawa nafsu sulit dikendalikan.
Sebab, mata kita lebih sering melihat aib orang lain daripada diri sendiri, telinga lebih peka terhadap kesalahan orang lain, dan lisan mudah mencela serta menggunjing, namun cepat mencari pembelaan saat diri sendiri bersalah.
Begitulah sifat hawa nafsu. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Futuhul Ghaib lil Imam Syatibi jilid 16 hal 157:
وَعَنْ أَبِي بَكْرِ الوَرَّاقِ: النَّفْسُ كَافِرَةٌ فِي وَقْتٍ، مُنَافِقَةٌ فِي وَقْتٍ، مُرَائِيَّةٌ فِي وَقْتٍ، وَعَلَى الأَحْوَالِ كُلِّهَا هِيَ كَافِرَةٌ، لِأَنَّهَا لَا تَأْلَفُ الحَقَّ أَبَدًا، وَهِيَ مُنَافِقَةٌ لِأَنَّهَا لَا تَفِي بِالوَعْدِ، وَهِيَ مُرَائِيَةٌ لِأَنَّهَا لَا تُحِبُّ أَنْ تَعْمَلَ عَمَلًا، وَلَا تَخْطُوَ خَطْوَةً إِلَّا لِرُؤْيَةِ الخَلْقِ؛ فَمَنْ كَانَ هَذِهِ صِفَاتَهُ، فَهِيَ حَقِيْقَةٌ بِدَوَامِ المَلَامَةِ لَهَا
Artinya: "Dan dari Abi Bakr Al-Warraq: hawa nafsu itu kafir pada satu waktu, munafik pada waktu lain, dan selalu riya' atau pamer dalam penampilannya pada waktu lain. Dan dalam semua keadaan, hawa nafsu itu kafir, karena tidak pernah mencintai kebenaran, munafik karena tidak pernah menepati janji, dan selalu pamer dalam penampilannya karena tidak pernah melakukan sesuatu kecuali untuk dilihat oleh orang lain. Maka siapa saja yang memiliki sifat-sifat ini, maka ia berhak untuk terus-menerus dicela."
Namun, kita juga harus menyadari bahwa tanpa nafsu, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Nafsu ibarat kendaraan, dengannya kita dapat menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan. Oleh karena itu, hawa nafsu harus ditundukkan dengan sungguh-sungguh.
Mengendalikan hawa nafsu tidak mungkin dilakukan tanpa memaksanya untuk taat dan bersabar dalam meninggalkan apa yang diinginkannya. Sebagaimana isyarat yang disampaikan oleh Imam Bushiri dalam Qasidah Burdah-nya:
وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى # حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
Artinya, "Nafsu bagaikan bayi, bila kau biarkan tanpa kau sapih, maka akan beranjak remaja dengan tetap suka menyusu. Namun bila engkau sapih, maka bayi akan berhenti sendiri."
Maknanya bahwa nafsu hanya bisa dikendalikan dengan memaksanya untuk berhenti menginginkan sesuatu. Inilah yang dimaksud dari hadits di atas, bahwa yang terberat dari diri kita untuk menggapai surga adalah proses memantaskan diri untuk menggapainya, sedangkan memantaskan diri yang paling sulit adalah mengendalikan hawa nafsu untuk selalu taat kepada perintah Allah, dan tentunya meninggalkan syahwat dan seluruh larangan syariat.
Terlebih saat ini, yakni di bulan Ramadhan, bulan di mana pintu pintu surga dibuka seluas-luasnya. Bulan yang tepat untuk kita jadikan sebagai ajang untuk berlatih memantaskan diri mendapatkan Rahmat Allah Ta'ala. Bagaimana tidak, di dalam puasa terdapat pelatihan untuk menundukkan nafsu. Sebagaimana penjelasan dalam kitab I'anatuth Thalibin jilid 2 halaman 299:
وَالصَّوْمُ مِنْ أَبْلَغِ الأَشْيَاءِ فِي رِيَاضَةِ النَّفْسِ، وَكَسْرِ الشَّهْوَةِ، وَاسْتَنَارَةِ القَلْبِ، وَتَأْدِيْبِ الجَوَارِحِ وَتَقْوِيْمِهَا وَتَنْشِيْطِهَا لِلْعِبَادَةِ. وَفِيْهِ الثَّوَابُ العَظِيْمُ، وَالجَزَاءُ الكَرِيْمُ الَّذِي لَا نِهَايَةَ لَهُ
Artinya, "Puasa adalah salah satu cara yang paling efektif dalam melatih jiwa, mematahkan nafsu, menerangi hati, mendidik anggota tubuh, serta memperbaiki dan menguatkannya untuk beribadah. Dalam puasa terdapat pahala yang sangat besar dan balasan yang mulia, yang tidak ada akhirnya". Wallahu a'lam.
Ustadz Abdul Karim Malik, Alumni Al Falah Ploso Kediri, Pengurus LBM PCNU Kabupaten Bekasi dan Tenaga Pengajar Pondok Pesantren YAPINK Tambun-Bekasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar