Bolehkah Takfir (Mengkafirkan) Pelaku Dosa Besar? - Tebuireng.online

Dunia Berita
By -
0

 

Bolehkah Takfir (Mengkafirkan) Pelaku Dosa Besar?

Ilustrasi mengkafirkan seseorang (sumber: jurnalisa)

وَاِذۡ قَالَ لُقۡمٰنُ لِا بۡنِه وَهُوَ يَعِظُه يٰبُنَىَّ لَا تُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ ‌اِنَّ الشِّرۡكَ لَـظُلۡمٌ عَظِيۡمٌ

Artinya; Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)

Kajian Tafsir

  1. Tafsir Al-Aisar: Konteks ayat yang mulai ini masih berbicara tentang penetapan tauhid dan ancaman bagi mereka yang berbuat syirik. Syirik atau memperseukutukan Allah pada ayat ini, dalam beribadah dengan sesuatu apapun. Kemudian Luqman memberi alasan akan larangannya tersebut, agar anaknya dapat memahami apa yang di katakan.

Adapun ungkapan ‘Zalim’ di atas adalah melentakan sesuatu tidak pada pada tempatnya, dimana hal itu berakibat pada kerusakan dan kerugian yang besar. Beribadah kepada selain Allah adalah meletakan sesuatu bukan pada tempatnya. Karena yang berhak untuk diibadahidan disembah hanyalah Allah dan itulah hak Allah atas hambanya, sebagai balasan atas diciptakannya mereka. (jilid 5)

  1. Tafsir Ibnu Katsir: Allah Ta’ala memberitahukan tentang pesan Luqman kepada anaknya. Nama lengkap Luqman uala Luqman ibn Anqa’ bin Sadun, sedang anaknya bernama Taran. Demikianlah menurut kisah yang dikemukakan oleh as-Sahaili. Pertama-pertama Luqman berpesan agar anaknya menyembah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Kemudian mewanti-wanti anaknya bahwa “Sesungguhnya, mempersekutukan itu benar-benar merupakan kezaliman yang besar.” Syirik merupakan perbuatan terzalim di antara kezaliman.

Kajian Hadis Kitab Shahih Bukhari

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ ، أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ  لَمَّا نَزَلَتِ : { الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ } شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّنَا لَا يَظْلِمُ نَفْسَهُ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ ذَلِكَ، إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ، أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ : { يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ }

Artinya; “Tatkala ayat, ‘Orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampuri keimanannya dengan kezaliman,’ diturunkan maka terasa beratlah bagi para sahabat Rasullah. Mereka berkata, ‘Siapa di antar kami yang tidak mencampuri keimanannya dengan kezaliman?’ Maka, Rasullah bersabda, ‘Maksud ayat itu bukanlah demikian. Apakah kamu tidak menyimak ucapan Luqman yang berbunyi ‘Hai anakku, jangalah menyekutukan Allah. Sesungguhnya, mempersukutukan itu benar-benar kezaliman yang besar.” (HR. Bukhari)

Penjelasan

Ayat di atas bukan berarti seorang muslim sangat mudah dalam ‘mengkafirkan’ seseorang, apalagi yang dikafirkan adalah justru sesama muslim sendiri. Dalam literatur sejarah peradaban Islam, I’itiqad kaum Khawarij adalah sangat mudah menuduh kafir bagi orang-orang yang tidak suka mengikutinya.

Nafi’i bin Azraq yang mendapatkan gelar Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij mefawatkan bahwa sekalian orang yang membatahnya adalah kafir yang halal darahnya, halal hartanya dan halal anak istrinya.

Surah inilah yang menjadi paham keterlaluan dari orang-orang Khawarij yang memakai ayat-ayat guna mengkafirkan bagi orang Islam yang menjadi lawan politiknya. Mereka dengan mudah mengatakan: “Mereka salah, karena itu dia kafir, karena itu halal darahnya, halal hartanya, karena itu halal anak istrinya dan kampung mereka adalah Darul Harb. Walaupun yang mereka katakan salah ini adalah orang-orang Islam yang dosanya hanya tidak mau menerima pahamnya, sekalipun belum tentu kebenaranya.

Penulis: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary

  • TAG

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default