Adab Bermedia Sosial ketika Terjadi Bencana: Menjaga Hati, Empati, dan Informasi
NU Online · Selasa, 2 Desember 2025 | 05:00 WIB

Ilustrasi bencana. Sumber: Canva/NU Online.
Kolomnis
Bencana banjir yang melanda beberapa wilayah di Sumatra baru-baru ini meninggalkan luka yang mendalam. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian terhenti, dan sebagian harus merelakan orang-orang tercinta. Di tengah suasana penuh duka seperti ini, media sosial menjadi ruang yang ramai oleh berbagai respons. Sebagian orang mengabarkan kondisi lapangan, menggerakkan bantuan, atau menyampaikan simpati.
Di sisi lain, tidak sedikit yang tergesa mengaitkan peristiwa tersebut dengan hukuman atau azab, seolah mengetahui secara pasti penyebab di balik bencana itu. Unggahan semacam ini tidak hanya menyinggung para korban, tetapi juga dapat memperkeruh suasana ketika masyarakat sedang berusaha memulihkan diri. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami cara menyikapi bencana dengan bijak dan menjaga etika dalam bermedia sosial.
Sikap Seorang Muslim terhadap Musibah secara Akidah
Secara akidah umat Islam harus meyakini bahwa segala sesuatu termasuk bencana yang menimpa masyarakat pada hakikatnya berasal dari Allah swt. Keyakinan ini ditegaskan dalam surat An Nisa ayat 78:
Baca Juga
Khutbah Jumat: Tiga Pelajaran Penting Bencana Alam bagi Tiap Muslim
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
Artinya, “Katakanlah, ‘Semuanya berasal dari sisi Allah,’” (Surat An Nisa ayat 78).
Keyakinan bahwa bencana datang dari Allah menjadi bagian dari keimanan kepada ketetapan Allah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Baca Juga
Pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jilani Menyikapi Bencana Alam
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ المَرْءُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Seorang Muslim tidak beriman sampai ia mengimani takdir yang baik dan yang buruk,’” (HR Ahmad).
Walaupun segala sesuatu berasal dari Allah, kita tetap perlu menjaga etika dan akhlak dalam memandang takdir. Rasulullah saw mengajarkan agar hal yang baik dinisbahkan kepada Allah, sedangkan sesuatu yang buruk dikembalikan kepada manusia sebagai bentuk adab. Ajaran ini tertuang dalam hadits berikut:
Baca Juga
Izin Penambangan Emas Terbit, Warga Trenggalek Terancam Bencana Alam Dahsyat hingga Bencana Kemaksiatan
وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Artinya, “Seluruh kebaikan ada dalam kuasa-Mu dan keburukan tidak dinisbahkan kepada-Mu.” (HR Muslim).
Sebagai umat Islam kita meyakini bahwa bencana adalah bagian dari takdir Allah swt. Meski demikian, manusia tetap dituntut untuk menunjukkan akhlak yang baik dalam memandang peristiwa tersebut. Kita diajarkan untuk melihat bencana sebagai momentum mengakui kekhilafan, kesalahan, kekeliruan, atau kezaliman yang mungkin dilakukan manusia.
Selanjutnya, apakah bencana merupakan azab dari suatu dosa atau bukan? Dalam buku Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU (hlm. 8) yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jatim dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Jatim disebutkan bahwa ulama memang berbeda pendapat perihal musibah dan bencana yang menimpa masyarakat.
Sebagian ulama menyatakan, musibah atau bencana merupakan azab dari Allah. Sedangkan ulama lainnya menyatakan, musibah atau bencana bukan merupakan azab dari Allah. Dalil yang digunakan ulama pertama adalah Surat As-Syura ayat 30:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Artinya, “Musibah yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan kalian, dan Allah telah memaafkan banyak kesalahan.” (As-Syura: 30).
Sementara ulama kedua yang mengatakan bahwa musibah bukanlah suatu azab dari perbuatan manusia memiliki beberapa alasan sebagaimana disampaikan Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir Mafatihul Ghaib [Beirut, Darul Ihya’ at-Turots al-Arabi: 1420], jilid XXVII, halaman 199-200):
Pertama, balasan suatu dosa hanya akan terjadi pada hari kiamat sebagaimana Surat Ghafir ayat 17:
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
“Pada hari itu (kiamat) setiap orang dibalas karena apa yang dilakukannya,” (Surat Ghafir ayat 17).
Kedua, bencana menimpa pada siapa saja, saleh atau tidak, beriman atau tidak. Semua orang tertimpa bencana. Ketiga, dunia adalah tempat beramal, bukan tempat pembalasan. Keempat, bencana sebagai suatu musibah diturunkan karena menjadi proses yang terbaik bagi manusia.
Ar-Razi menjelaskan:
إِنَّ حُصُولَ هَذِهِ الْمَصَائِبِ يَكُونُ مِنْ بَابِ الِامْتِحَانِ فِي التَّكْلِيفِ لَا مِنْ بَابِ الْعُقُوبَةِ كَمَا فِي حَقِّ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ وَيُحْمَلُ قَوْلُهُ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ عَلَى أَنَّ الْأَصْلَحَ عِنْدَ إِتْيَانِكُمْ بِذَلِكَ الْكَسْبِ إِنْزَالُ هَذِهِ الْمَصَائِبِ عَلَيْكُمْ وَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ بَقِيَّةِ الدَّلَائِلِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Artinya, “Sesungguhnya terjadinya berbagai musibah itu termasuk bentuk ujian dalam menjalankan beban syariat, bukan sebagai hukuman. sebagaimana yang terjadi pada para nabi dan para wali. Adapun firman Allah ‘maka musibah itu terjadi karena perbuatan tangan kalian sendiri’ dipahami bahwa ketika kalian melakukan perbuatan itu, maka yang paling tepat menurut hikmah Allah adalah diturunkannya musibah tersebut kepada kalian. Demikian pula cara menjawab dalil-dalil selebihnya. Dan Allah lebih mengetahui.” (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turots al-Arabi: 1420], jilid XXVII, halaman 200)
Etika Bermedia Sosial dalam Menyikapi Musibah
Dalam menghadapi bencana seorang muslim tidak hanya dituntut beriman kepada ketetapan Allah, tetapi juga menjaga adab dalam menilai sebuah peristiwa. Pada titik inilah diperlukan kehati-hatian agar seseorang tidak melampaui batas kewenangan teologisnya.
Musibah merupakan bagian dari takdir, namun menentukan apa yang berada di balik takdir itu apakah berupa ujian, peringatan, atau azab bukan wewenang yang dapat diputuskan begitu saja oleh individu. Lebih-lebih jika sampai menvonis masyarakat yang terkena bencana sebagai pelaku maksiat atau menilai musibah yang menimpa mereka sebagai azab.
Pengguna media sosial perlu menahan diri dari sikap menghakimi. Menyebut korban sebagai pelaku maksiat atau menilai bencana sebagai azab bagi orang tertentu adalah tindakan yang tidak sensitif terhadap kondisi para penyintas. Sikap seperti ini dapat memicu penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan perbedaan pandangan para ulama tentang sebab terjadinya musibah. Ketika suatu wilayah baru saja mengalami bencana, masyarakat setempat sedang menghadapi tekanan fisik dan psikologis yang berat. Tuduhan semacam itu hanya menambah luka yang mereka rasakan.
Menjaga etika dalam bermedia sosial berarti mempertimbangkan perasaan para korban dan menghadirkan unggahan yang membawa manfaat. Setiap komentar perlu diarahkan pada dukungan atau doa, bukan penilaian yang memperburuk keadaan. Dalam situasi musibah, sikap empati dan kehati-hatian lebih utama agar para korban merasa didampingi dan dihargai dalam proses mereka menghadapi ujian tersebut.
Sebaliknya, media sosial harus dijadikan ruang untuk menumbuhkan empati terhadap korban bencana. Prinsip empati ini sebenarnya sangat kuat diajarkan dalam ajaran Islam. Empati dapat ditunjukkan dengan mendoakan kebaikan, memberi dukungan, dan mengajak masyarakat untuk berdonasi untuk para korban bencana.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.” (HR. Muslim).
Sebagai muslim, selain beriman kepada takdir, kita diajarkan untuk menjaga akhlak dan etika dalam menyikapi peristiwa tersebut. Media sosial seharusnya menjadi sarana menebar empati, dukungan, dan doa bagi para korban, bukan tempat menilai atau menyudutkan mereka. Waallahu A’lam
Ustadz Bushiri, pengajar di Zawiyah Syaikona Muhammad Kholil Bangkalan.