Sunnatullah dalam Bencana Alam: Kerusakan Akibat Ulah Manusia
NU Online · Selasa, 2 Desember 2025 | 10:00 WIB

Ilustrasi pembalakan pohon. Sumber: Canva/NU Online.
Kolomnis
Ada diskusi hangat yang mencuat setelah banjir bandang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa hari silam. Sebagian melihat bencana ini sebagai takdir Allah melalui curah hujan dan kondisi atmosfer ekstrem, sementara sebagian lain menilai bahwa dampak dahsyatnya adalah akibat kelalaian manusia dalam merawat alam, terutama melalui deforestasi besar-besaran.
Kedua sudut pandang ini sebenarnya tidak bertolak belakang dan justru saling melengkapi satu sama lain. Dalam ajaran Islam, takdir Allah seringkali terlaksana melalui sunnatullah, yakni kebiasaan sebab-akibat yang Allah jalankan di dunia.
Dengan kata lain, hujan ekstrem adalah takdir Allah, tetapi kerusakan alam di hulu adalah kelalaian manusia yang memperparah akibat takdir tersebut.
Baca Juga
Makam Wali di Tengah Laut Dibanjiri Peziarah
Dilansir dari situs resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, mengungkapkan bencana ini dipengaruhi oleh kombinasi faktor alam dan kerusakan lingkungan.
Cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal, sedangkan deforestasi dan rusaknya benteng alam akibat ulah manusia membuat banjir menjadi jauh lebih dahsyat. Di sinilah letak kelalaian kita.
Dengan demikian, selain takdir, ada tanggung jawab moral manusia dalam peristiwa ini. Mengakui takdir Allah sambil menyadari peran kita justru membuka pintu hikmah: apa pesan yang Allah hendak sampaikan melalui bencana ini?
Iman kepada takdir tidak semestinya membuat seorang Muslim pasif. Sebaliknya, keimanan itu harus mendorong kita untuk berpikir kritis, mengevaluasi perbuatan, dan mencari petunjuk Allah di balik setiap peristiwa.
Selain seruan untuk bersabar, ujian dari Allah dalam kehidupan juga dimaksudkan untuk menguji kualitas diri manusia. Dalam surat al-Mulk ayat 2, Allah berfirman:
Baca Juga
Doa Saat Hujan Deras Dikhawatirkan Banjir
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
Artinya, “yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
Ketika mengomentari frasa “siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”, Imam al-Baghawi mendefinisikannya dengan:
أَحْسَنُ عَقْلًا، وَأَوْرَعُ عَنْ مَحَارِمِ اللهِ، وَأَسْرَعُ فِي طَاعَةِ اللهِ
Baca Juga
Banjir Jakarta dan Pokok Permasalahannya
Artinya, “yang lebih baik akalnya, lebih menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah, dan lebih bergegas dalam menaati Allah,” (Imam al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil, [Riyadh: Dar Thayyibah, 1412 H], juz VIII, halaman 176).
Mengacu pada tafsir al-Baghawi tersebut, peristiwa banjir bandang yang menimpa Sumatera dan merenggut ratusan nyawa seyogyanya menuntut kita agar menggunakan akal untuk menyelidiki sebab bencana, mengevaluasi kesalahan manusia, dan bersegera memperbaiki lingkungan yang rusak.
Selain melihatnya sebagai ujian (bala’) yang ditakdirkan Allah, kita juga perlu melakukan muhasabah: apakah ada kelalaian dan perbuatan munkar manusia yang turut menghadirkan musibah ini?
Di antara sebab bencana yang diduga kuat memperparah banjir bandang ini adalah eksploitasi sumber daya alam besar-besaran di tiga provinsi terdampak. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat terdapat 600 perusahaan yang melakukan aktivitas deforestasi hingga 1,4 juta hektar di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat sejak 2016-2025.
Jika banjir bandang di Sumatera adalah takdir Allah, maka perusakan alam yang masif tersebut merupakan perbuatan munkar yang Allah tunjukkan keburukannya melalui bencana. Ini karena Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka,” (QS Ar-Ra’d ayat 11).
Sebagian besar penceramah seringkali mengutip ayat ini sebagai motivasi untuk mengubah diri lebih baik agar Allah memperbaiki nasib kita. Padahal, maksud inti dari ayat ini adalah peringatan Allah atas bencana yang Dia turunkan kepada komunitas yang berbuat kerusakan. Imam Ar-Razi menulis dalam tafsirnya:
فَكَلامُ جَمِيعِ المُفَسِّرِينَ يَدُلُّ عَلى أنَّ المُرادَ لا يُغَيِّرُ ما هم فِيهِ مِنَ النِّعَمِ بِإنْزالِ الِانْتِقامِ إلّا بِأنْ يَكُونَ مِنهُمُ المَعاصِي والفَسادُ
Artinya, “Ucapan seluruh mufassir mengindikasikan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak akan mengubah kenikmatan pada suatu komunitas dengan menurunkan siksa kecuali karena adanya kemaksitan dan kerusakan dari komunitas tersebut,” (Imam ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Fikr, 1401 H], Juz 19, Halaman 23).
Dari peristiwa banjir di Sumatera kita bisa belajar bahwa sistem keseimbangan ekologi adalah kenikmatan yang Allah berikan untuk melindungi manusia dari berbagai macam bencana. Ketika manusia merusak nikmat ekologi tersebut, Allah menurunkan bencana sebagai peringatannya.
Dengan demikian, umat Muslim seharusnya semakin aktif mencegah deforestasi dalam merespons bencana ini. Apalagi ketika kemunkaran ekologis dibiarkan, dampaknya menimpa bukan hanya segelintir elite pelaku, tetapi juga orang-orang tak bersalah lainnya. Ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ
Artinya, “Sesungguhnya tatkala masyarakat melihat kemungkaran dan tidak berusaha mengubahnya, maka Allah akan memeratakan siksa dari-Nya,” (HR. Abu Dawud).
Dari paparan ini, jelaslah bahwa banjir bandang di Sumatera bukan semata-mata takdir Allah yang datang begitu saja, tetapi juga teguran atas kelalaian manusia dalam merawat alam yang Allah amanahkan.
Tugas kita bukan hanya bersabar menerima takdir, tetapi juga bermuhasabah, memperbaiki kesalahan, dan mencegah perusakan alam agar bencana serupa tidak terulang. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainun Hisyam, Alumni Studi Agama dan Politik, SOAS University of London dan Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh al-Islamy, Banyumas.