Air Liur Penderita Epilepsi Menetes Saat Shalat, Sahkah? - NU Online

Central Informasi
By -
0

 

Air Liur Penderita Epilepsi Menetes Saat Shalat, Sahkah?

NU Online  ·  Jumat, 5 Desember 2025 | 13:36 WIB

Air Liur Penderita Epilepsi Menetes Saat Shalat, Sahkah?

shalat

Muhamad Hanif Rahman

Pertanyaan 


Assalamualaikum wr wb. Redaksi Keislaman NU Online, saya ingin bertanya tentang bagaimana hukum bagi penderita epilepsi yang saat shalat merasa ada cairan mengalir karena sulit berkonsentrasi, namun ia tidak mengeceknya? Apakah shalatnya tetap sah dan apakah pakaiannya masih boleh digunakan untuk shalat berikutnya? (Hamba Allah)



Jawaban

Etika Meludah dalam Islam

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara penanya yang budiman, terima kasih kami sampaikan atas kepercayaan Anda untuk bertanya kepada redaksi keislaman NU Online. Semoga Anda beserta seluruh pembaca setia NU Online senantiasa dianugerahi kesehatan dan kekuatan untuk terus melakukan ketaatan kepada-Nya.

Penyakit ayan atau epilepsi adalah kondisi yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kejang secara berulang. Salah satu gejala yang umum tampak ketika seseorang mengalami kejang adalah keluarnya air liur dari mulut. Hal ini terjadi karena produksi air liur meningkat dan tidak dapat ditelan selama fase kejang.


Dilansir dari laman Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI), air liur—atau saliva dalam istilah medis—adalah cairan bening menyerupai lendir yang diproduksi oleh kelenjar air liur. Kelenjar tersebut terletak di sisi pipi, bagian bawah lidah, dan rahang bawah.

Baca Juga

Penjelasan Hukum Menelan Ludah Bercampur Darah Gusi Saat Puasa

Pada orang sehat, kelenjar ini dapat memproduksi air liur sebanyak 0,5 hingga 2 liter per hari. Air liur terdiri atas 99,5% air, 0,3% protein, serta 0,2% zat anorganik (seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida, dan karbonat) serta zat organik seperti enzim. Air liur berfungsi menjaga kelembapan mulut, gigi, dan tenggorokan, serta berperan penting dalam kesehatan rongga mulut dan proses pencernaan awal.

Baca Juga

Hukum Ludah dan Riak Tertelan Saat Shalat

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa air liur diproduksi di dalam mulut, bukan dari lambung, karena seluruh prosesnya berlangsung pada kelenjar air liur yang berada di sisi pipi, bawah lidah, dan rahang bawah.


Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan saudara penanya: apakah sah shalatnya penderita epilepsi yang air liurnya mengalir hingga membasahi pakaian, dan apakah pakaian yang terkena air liur tersebut menjadi najis?


Status Air Liur; Najis atau Tidak?

Untuk menjawab sah tidaknya shalat serta najis tidaknya pakaian yang terkena air liur  berkaitan erat dengan status air liur itu sendiri. Berikut penjelasannya.


Di dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dijelaskan tentang adab meludah di dalam masjid dan saat melaksanakan shalat. Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, beliau berkata:

 

أن رسول الله ﷺ رَأَى نُخَامَةً فِي قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ. فَأَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: «مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ؟ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ. تَحْتَ قَدَمِهِ. فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا» وَوَصَفَ الْقَاسِمُ، فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ


Artinya: “Bahwa Rasulullah melihat dahak di arah kiblat masjid. Maka beliau menghadap kepada orang-orang lalu bersabda:


‘Apa yang terjadi dengan salah seorang di antara kalian yang berdiri menghadap Tuhannya lalu ia meludah di depannya? Apakah salah seorang dari kalian suka jika seseorang menghadapnya lalu meludah ke wajahnya?

Maka apabila salah seorang dari kalian hendak meludah, hendaklah meludah ke arah kiri, atau di bawah kaki. Jika ia tidak menemukan (tempat untuk meludah), maka lakukanlah seperti ini.’ Al-Qasim menggambarkan tindakan Nabi: beliau meludah ke bajunya kemudian menggosok sebagiannya itu dengan bagian lainnya." (HR. Imam Muslim)


Imam an-Nawawi, dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, ludah bukanlah najis dan tidak membatalkan shalat. Hadits ini sekaligus menjadi dalil bahwa adanya sedikit gerakan dalam shalat, seperti meludah atau mengeluarkan dahak, tidak otomatis merusak keabsahan shalat.

Lebih jauh, an-Nawawi menyebutkan bahwa ludah, ingus, dan dahak merupakan benda yang suci. Hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama, tanpa ada perbedaan pendapat berarti. Memang terdapat riwayat dari al-Khaththabi yang menisbatkan kepada Ibrahim an-Nakha‘i bahwa ludah dianggap najis. Namun an-Nawawi sendiri meragukan kebenaran riwayat tersebut dan menilai bahwa pendapat itu tidak dapat dipastikan berasal darinya.

Simak penjelasan berikut;


فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ وَتَحْتَ قَدَمِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ هَذَا فِيهِ جَوَازُ الْفِعْلِ فِي الصَّلَاةِ وَفِيهِ أَنَّ الْبُزَاقَ وَالْمُخَاطَ وَالنُّخَاعَةَ طَاهِرَاتٌ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا مَا حَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ أَنَّهُ قَالَ الْبُزَاقُ نَجَسٌ وَلَا أَظُنُّهُ يَصِحُّ عَنْهُ وَفِيهِ أَنَّ الْبُصَاقَ لَا يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَكَذَا التَّنَخُّعُ إِنْ لَمْ يَتَبَيَّنْ مِنْهُ حَرْفَانِ أَوْ كَانَ مَغْلُوبًا عَلَيْهِ


Artinya: “Maka hendaklah ia meludah ke arah kirinya dan di bawah kakinya. Jika ia tidak menemukan (tempat untuk meludah), maka hendaklah ia melakukan seperti ini.”
Al-Qasim lalu memberikan contoh; ia meludah pada kain (pakaiannya), kemudian menggosokkan sebagian kain itu dengan sebagian yang lain.


Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan gerakan dalam shalat. Juga terdapat dalil bahwa ludah, ingus, dan dahak adalah benda-benda yang suci. Dan hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin, kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Khaththabi dari Ibrahim an-Nakha‘i, bahwa ia berkata: ‘Ludah adalah najis.’ Namun aku (Imam an-Nawawi) tidak mengira riwayat itu benar darinya.

Dalam hadits itu juga terdapat dalil bahwa meludah tidak membatalkan shalat, demikian pula mengeluarkan dahak, selama tidak sampai terlihat dua huruf, atau bila dilakukan karena tidak mampu menghindarinya.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Syarah Nawawi ala Muslim, [Beirut: Darul Ihya' at-Turots], Juz V, halaman 40).


Berdasarkan hadis sahih dan penjelasan Imam Nawawi di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa ludah, ingus, dan dahak hukumnya suci. Meludah saat shalat diperbolehkan selama tidak sampai nampak dua huruf (karena dapat membatalkan shalat) atau karena tidak mampu menahannya.

Adapun adabnya adalah tidak meludah ke arah kiblat, tetapi ke arah kiri atau ke bawah kaki. Jika tidak menemukan tempat untuk meludah, maka dapat meludah pada kain pakaiannya kemudian menggosokkan bagian kain tersebut dengan bagian lainnya.

Namun, ludah yang awalnya suci dapat berubah menjadi najis apabila ludahnya diketahui berasal dari dalam lambung karena suatu penyakit atau sebab tertentu. Hal itu dapat dikenali dari baunya yang busuk. Berikut keterangannya:


الماء الذي يسيل في النوم طاهر وإن كان متغير الرائحة كاللعاب، وإن علم أنه خرج من المعدة لمرض أو علة، ويعرف ذلك بالنتن فهو نجس

Artinya: "Cairan yang keluar saat tidur hukumnya suci meskipun berubah baunya, seperti air liur. Namun, apabila diketahui bahwa cairan itu keluar dari lambung karena suatu penyakit atau sebab tertentu dan hal itu dapat dikenali dari baunya yang busuk maka hukumnya najis." (Abul Mahasin Abdul Wahid ar-Rauyani, Bahrul Madzhab [Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: t.th] juz I halaman 62).


Walhasil, shalat penderita epilepsi yang air liurnya mengalir hingga membasahi pakaian tetap sah sebab mengeluarkan air liur saat shalat tidak membatalkan shalat selama tidak sampai menampakkan dua huruf. Terlebih lagi, penderita epilepsi tidak mampu mengontrol keluarnya air liur tersebut.


Selain itu, air liur murni yang tidak bercampur dengan najis hukumnya suci. Berbeda jika air liurnya diketahui berasal dari lambung yang dapat ditandai dengan bau busuk maka hukumnya najis. Dengan demikian, pakaian yang terkena air liur tersebut tetap suci dan boleh digunakan untuk shalat berikutnya.


Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Wallahu a‘lam.

-----------------------------
Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default