Bencana Akibat Ulah Manusia: Pandangan Ulama Tafsir tentang Kerusakan Lingkungan
NU Online · Rabu, 3 Desember 2025 | 20:20 WIB

(bencana) (freepik)
Kolomnis
Akhir-akhir ini, bencana banjir kembali melanda Pulau Sumatera, mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Tentu saja, musibah seperti ini tidak muncul begitu saja. Ada banyak faktor yang memicunya, dan salah satu yang paling berpengaruh adalah rusaknya lingkungan akibat ulah manusia.
Penggundulan hutan, misalnya, membuat ekosistem kehilangan keseimbangannya. Akar-akar pohon yang seharusnya menahan air hilang, tanah menjadi gersang, dan akhirnya alam tidak lagi mampu menjalankan fungsinya secara normal. Ketika keseimbangan itu terganggu, bencana pun menjadi lebih mudah terjadi.
Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali mengingatkan manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Larangan ini merupakan peringatan tegas agar kita menjaga keseimbangan alam yang telah Allah ciptakan dengan sempurna.
Baca Juga
3 Tahapan Mitigasi Bencana Banjir
Salah satu ayat bahkan menggambarkan sikap sekelompok orang yang justru berbuat merusak, namun mengaku bahwa tindakan mereka adalah bentuk perbaikan. Sikap seperti ini menunjukkan betapa mudahnya manusia tertipu oleh perbuatannya sendiri, merasa benar, padahal apa yang dilakukan justru membawa mudarat bagi lingkungan dan kehidupan.
Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 11–12:
Baca Juga
LPBINU Jelaskan Dua Penyebab Banjir Rob Semarang
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ اَلَآ اِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُوْنَ وَلٰكِنْ لَّا يَشْعُرُوْنَ
Baca Juga
Pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jilani Menyikapi Bencana Alam
Artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ketahuilah bahwa mereka itulah para pembuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.”
Syekh Rāghib al-Aṣfahānī menafsirkan kata "al-fasād" sebagai segala sesuatu yang keluar dari batas keseimbangan dan ketentuan normal, baik yang bersifat fisik maupun non fisik:
الفساد: خروج الشيء عن الاعتدال، والصلاح على الضد منه، والافساد: إخراجه عن الاعتدال، والفساد عام في الكفر والضلال وكل ما هو ضار، والصلاح عام في الإيمان والرشد وكل نافع.
Artinya; “Al-fasād adalah keluarnya sesuatu dari nilai keseimbangan. Lawannya adalah as-ṣalāḥ. Adapun ‘pengrusakan’ adalah tindakan yang mengeluarkan sesuatu dari keseimbangan tersebut. Istilah ‘fasad’ dalam ayat itu berlaku umum, baik terhadap kekafiran, kesesatan, maupun segala hal yang membawa bahaya.” (Rāghib al-Aṣfahānī, Mu’jam al-Mufradat li Alfaz al-Qur’an, (Mesir: Jāmi‘ah Thanta, 1999 M), juz I, hlm, 100).
Dari penafsiran ini dapat dipahami bahwa segala bentuk perbuatan yang menyebabkan terganggunya keseimbangan, termasuk keseimbangan alam, tergolong sebagai fasād.
Pada ayat lain, Allah Swt. kembali menegaskan larangan merusak bumi. Dalam Surat Al-A‘rāf ayat 56, Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
Artinya; "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik,"
Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi'in, Ad-daḥḥāk, menafsirkan ayat ini dengan larangan merusak sumber air dan menebang pohon dengan cara yang membahayakan:
وقال الضحاك: معناه لا تعوروا الْمَاءَ الْمَعِينَ، وَلَا تَقْطَعُوا الشَّجَرَ الْمُثْمِرَ ضِرَارًا.
Artinya; “Janganlah kalian mengotori air yang jernih dan janganlah menebang pohon yang berbuah dengan cara yang menimbulkan bahaya.” (Imam Qurthubi, Tafsīr al-Jami' li Ahkami Al-Qur'an, (Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriyyah, 1963 M), juz 7, hlm. 226).
Dua ayat tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa syariat melarang segala bentuk perusakan alam yang dapat membahayakan manusia dan lingkungannya. Larangan ini menjadi pedoman agar manusia menjaga keseimbangan bumi, tidak merusak tatanan yang telah Allah ciptakan, serta senantiasa menimbang dampak setiap tindakan terhadap keberlanjutan kehidupan.
Hukuman Bagi Pelaku Perusak Lingkungan
Dalam hukum positif Indonesia, larangan merusak alam ditegaskan melalui beberapa peraturan, di antaranya:
Pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap kegiatan yang berdampak pada lingkungan wajib dilakukan dengan memperhatikan kelestarian alam. Artinya, siapa pun baik individu, perusahaan, maupun lembaga, harus memastikan bahwa aktivitas mereka tidak menimbulkan kerusakan.
Kedua, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (beserta revisinya). Peraturan ini mengatur tata kelola pertambangan secara lebih ketat, termasuk kewajiban menjaga dan memulihkan lingkungan. Di dalamnya terdapat berbagai ketentuan, juga diperkuat oleh sejumlah putusan Mahkamah Agung serta regulasi dari Ditjen Minerba, yang mempertegas pentingnya AMDAL dan izin pertambangan sebagai syarat utama sebelum melakukan kegiatan tambang.
Dengan adanya aturan-aturan ini, jelas bahwa merusak alam bukan sekadar perbuatan yang tidak bermoral, tetapi juga pelanggaran hukum. Negara hadir untuk memastikan kelestarian lingkungan tetap terjaga demi generasi hari ini dan masa depan.
Sayangnya, implementasi regulasi tersebut di lapangan masih kurang optimal. Akibatnya, marak terjadi penebangan pohon secara ilegal dan munculnya pertambangan tanpa izin yang merusak hutan serta mengubah fungsi kawasan secara tidak terkontrol.
Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor sehingga banyak rakyat kecil yang tidak berdosa terkena akan dampak kerusakan ini.
Al-Qur’an sejatinya telah memperingatkan bahwa kerusakan ekologis merupakan akibat dari ulah manusia itu sendiri. Allah berfirman dalam Surat Ar-Rūm ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
Artinya; Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Imam ‘Alī al-Ṣābūnī menjelaskan bahwa berbagai musibah dan bencana muncul karena dosa dan kemaksiatan manusia. Simak penjelasan berikut;
{ظَهَرَ الفساد فِي البر والبحر بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي الناس} أي ظهرت البلايا والنكبات في بر الأرض وبحرها بسبب معاصي الناس وذنوبهم.
Artinya; “Munculnya bencana di darat dan laut disebabkan oleh maksiat yang dilakukan manusia dan dosa-dosa mereka.” (Ali Ash-Shabuni, Ṣafwat at-Tafāsīr, (Kairo: Dār al-Ṣābūnī, 1997 M), juz 2, hlm. 442)
Musibah yang terjadi seyogianya menjadi refleksi dan pelajaran penting agar tumbuh kesadaran untuk menjaga dan melestarikan alam. Dalam hal ini, Imam al-Sya‘rāwī memberikan penjelasan mendalam saat menafsirkan Surat Al-A‘rāf ayat 56:
{وَلَا تُفْسِدُواْ فِي الأرض بَعْدَ إِصْلَاحِهَا} ، والإِصلاح الذي يطلبه الله منا أن نستديمه أو نرقيه إنما يتأتى بإيجاد مقومات الحياة على وجه جميل.
مثال ذلك الهواء وهو العنصر الأول في الحياة المسخرة لك؛ يصرّفه سبحانه حتى لا يفسد. والنعيم الثاني في الحياة وهو الشراب؛ إنه سبحانه ينزل لك الماء من السماء، ثم القوت الذي يخرجه لك من الأرض. والمواشي التي تأخذ منها اللبن، والأوبار، والأصواف، والجلود، كل ذلك سخره الله لك، وهذا إصلاح في الأرض، لكن هل هذه كل المقومات الأساسية؟ لا؛ لأنه إن وجدت كل هذه المقومات الأساسية ثم وجد الغصب، والسرقة، والرشوة، والاختلاس، فسيفسد كل شيء، ولا يعدل كل ذلك ويقيمه ويجعله سويا إلا الدين؛ لأنه كمنهج يمنع الإِفساد في الأرض
Artinya : “dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah allah memperbaikinya.” Makna islāh (perbaikan) yang allah perintahkan untuk dipertahankan atau ditingkatkan oleh manusia hanya dapat diwujudkan melalui pemenuhan seluruh unsur penopang kehidupan dalam bentuk yang tertata dan berkelanjutan.
Sebagai ilustrasi, unsur udara merupakan komponen pertama kehidupan yang telah allah tundukkan bagi manusia; dia mengatur sirkulasinya secara seimbang sehingga tidak mengalami kerusakan. Selanjutnya adalah unsur kenikmatan kedua, yakni air minum; allah menurunkan air dari langit sebagai sumber kehidupan. Kemudian bahan pangan yang allah tumbuhkan dari permukaan bumi.
Begitu pula hewan ternak yang menyediakan susu, serat, wol, dan kulit—seluruhnya merupakan bentuk penundukan (tasḫīr) ilahi bagi kepentingan manusia. Semua itu termasuk dalam kategori islāh yang allah tetapkan di bumi.
Akan tetapi, apakah komponen-komponen tersebut mencakup seluruh faktor fundamental bagi keberlangsungan kehidupan? Tidak. Karena walaupun seluruh unsur tersebut tersedia, jika dalam masyarakat muncul praktik perampasan, pencurian, korupsi, suap, atau bentuk-bentuk penggelapan lainnya, maka tatanan kehidupan akan mengalami kerusakan secara menyeluruh.
Tidak ada sistem yang mampu mengoreksi, menegakkan kembali, dan menstabilkan kondisi tersebut selain agama; sebab agama, sebagai manhaj normatif dan etis, memiliki fungsi esensial dalam mencegah terjadinya kerusakan di muka bumi. (Imam al-Sya‘rāwī, Khawatirusy Sya'rawi Haulal Qur'anil Karim, (Kairo: Muṭba‘ah Akhbār al-Yawm, 1997 M), juz 7, hlm. 4237).
Penjelasan ini menegaskan bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tugas sosial, tetapi juga bagian dari perintah agama. Karena itu, upaya melestarikan alam seharusnya tidak hanya mengandalkan aturan dan program pemerintah, tetapi juga lahir dari kesadaran beragama.
Ketika nilai-nilai agama dijalankan secara konsisten, seperti tidak merusak, menjaga kebersihan, dan berbuat kebaikan, maka itu menjadi salah satu cara paling efektif untuk menjaga kelestarian bumi yang kita tempati.
---------------------
Tian Apriliana, Pengajar di Pondok Pesantren Daarul Haliim, Kabupaten Bandung Barat
(Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman Beranda atau via web filantropi di tautan berikut: https://filantropi.nu.or.id/galang-dana/yuk-bantu-korban-bencana-di-indonesia)