Kapan Kritik Dianggap Mencemarkan Nama Baik? BMP Lirboyo Punya Jawabannya - Lirboyo

Di era digital ini, kritik terhadap lembaga atau institusi sering kali berujung runyam. Dari kasus TNI Siber hingga pesantren, muncul pertanyaan: kapan kritik menjadi pencemaran nama baik? Bahtsul Masail Penutupan (BMP) Pondok Lirboyo membedah dilema ini dari sudut pandang hukum syariat.
Baca juga: Hukum Menjilat Jari untuk Membuka Lembar Al-Quran
Dilema Hukum: Institusi Menggugat
Sebuah kasus yang melibatkan seorang pendiri proyek independen sempat menjadi sorotan. Unggahannya tentang aparat keamanan dianggap menyinggung, sehingga muncul tudingan pencemaran nama baik dari unit siber lembaga tersebut. Padahal, di sinilah letak dilema hukumnya: Putusan Mahkamah Konstitusi No. 105/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa laporan pencemaran nama baik hanya dapat diajukan oleh individu, bukan oleh institusi. Artinya, dasar hukum tudingan itu sendiri menjadi goyah.
Kisah serupa juga pernah terjadi pada sebuah grup musik lokal yang lagunya dianggap merendahkan aparat penegak hukum. Meski tidak sampai bergulir ke meja hijau, mereka akhirnya menghapus lagu tersebut dari layanan streaming dan menyampaikan permintaan maaf—yang bagi banyak warganet tampak lebih seperti akibat tekanan dibanding kesadaran murni.
Dua contoh ini memperlihatkan bahwa, secara hukum, lembaga besar memang kesulitan melaporkan “pencemaran nama baik” jika tidak ada satu individu tertentu yang mengaku dirugikan. Lalu muncul pertanyaan yang lebih filosofis: bila sebuah institusi tak bisa melapor, siapa yang sebenarnya berhak menyuarakan rasa tersinggung dari ribuan anggotanya? Sebab kalau setiap rasa baper lembaga harus dicari wakilnya satu per satu, hukum bisa jadi lebih sibuk mengurus perasaan ketimbang perkara.
Baca juga: Darah Bisul dan Jerawat, Najiskah?
Kritik Pesantren: Ketika Tradisi Bertemu Modernitas
Tidak hanya institusi negara, lembaga pendidikan seperti pesantren pun tak luput dari kritik. Contohnya, konten YouTube Guru Gembul tentang “10 Kesalahan Pesantren” yang menyentuh isu seperti keengganan menerima kritik atau kurangnya kecerdasan nalar.
Meskipun niatnya mungkin konstruktif, kritik semacam ini sering kali memicu respons emosional. Para santri, melalui video tanggapan, menunjukkan bahwa kritik terhadap lembaga yang menjadi identitas dan rumah mereka bisa melukai perasaan personal. Ini membuktikan bahwa meskipun kritik tidak menunjuk satu orang, dampaknya bisa sangat terasa bagi individu di dalamnya.
Baca juga: Menabur Bunga dan Menanam Tumbuhan di atas Kuburan, Bolehkah?
Hasil Keputusan BMP: Tuduhan Pencemaran Nama Baik Institusi, Batasan dan Konsekuensi dalam Syariat
Berikut adalah hasil keputusan Bahtsul Masail Penutupan (BMP) Pondok Pesantren Lirboyo tentang kasus ini:
Dengan mempertimbangkan ‘illat idza’ dan dampak sosial yang nyata, maka statemen atau konten negatif mengenai suatu institusi atau lembaga tertentu dapat dihukumi haram dalam syariat, bila memenuhi salah satu unsur sebagai berikut:
1. Mengandung Unsur Ghibah
Jika dalam pembicaraan negatif tersebut terdapat unsur ghibah, yaitu menyebut perkara yang tidak disukai kepada:
- Individu tertentu (syakhsun mu’ayyan).[1]
- Kelompok tertentu yang dapat dihitung jumlah anggotanya (jama’ah mahshurah).[2]
- Atau kelompok yang tidak terhitung jumlah anggotanya, namun dikehendaki untuk menggunjing seluruh individu yang berada di dalamnya (jama’ah ghairu mahshurah yuradu biha al-kull).[3] Dalam konteks institusi, meskipun tidak semua anggotanya, jika kritik tersebut mengarah pada “oknum-oknum di institusi X yang begini…” dan menimbulkan persepsi negatif bagi semua anggota, maka bisa jatuh dalam kategori ini.
2. Menimbulkan Rasa Sakit Hati (Al-Idza’)
Pembicaraan negatif tersebut secara faktual dan akal sehat menimbulkan rasa tersinggung atau sakit hati bagi individu yang menjadi bagian dari institusi tersebut, meskipun tidak disebutkan namanya secara spesifik. Ini sejalan dengan prinsip ‘illat keharaman ghibah.
3. Menimbulkan Kegaduhan Publik yang Kontraproduktif
Jika pembicaraan tersebut berpotensi menyebabkan kegaduhan, kekacauan, atau perpecahan di masyarakat yang kontraproduktif dalam kacamata syariat (iqa’un an-nas fi al-idhtirab aw al-ikhtilal bila fa’idah diniyah), maka hukumnya menjadi haram. Kritik yang seharusnya membangun, tidak boleh justru merusak tatanan sosial.
4. Mengandung Unsur Kebohongan atau Fitnah
Apabila statemen negatif tersebut tidak berdasarkan fakta, berisi kebohongan, atau merupakan tuduhan tanpa dasar yang valid (iftira’, kadzib, qadzaf), maka hukumnya jelas haram. Ini adalah bentuk penuduhan palsu yang sangat dilarang dalam Islam.
5. Mengandung Unsur Adu Domba (An-Namimah)
Jika tujuan di balik pembicaraan negatif itu adalah untuk mengadu domba, menciptakan permusuhan, atau merusak hubungan baik antar individu atau kelompok dalam institusi, maka hal itu termasuk namimah yang diharamkan.
Baca juga: Bolehkah Menjamak Salat Jumat dengan Salat Asar?
Kesimpulan
Kasus-kasus pencemaran nama baik yang melibatkan institusi menunjukkan adanya area abu-abu antara hak untuk mengkritik dan batasan etika serta hukum. Putusan MK menegaskan bahwa institusi tidak bisa menjadi pelapor delik pencemaran nama baik, mendorong agar laporan dilakukan oleh individu yang merasa dirugikan. Namun, dari perspektif syariat, dampak idza’ (menyakiti hati) tetap relevan.
Penting bagi kita, sebagai individu maupun kelompok, untuk bijak dalam menyampaikan kritik. Kritik yang membangun haruslah berlandaskan fakta, disampaikan dengan cara yang santun, dan bertujuan untuk perbaikan, bukan untuk mencela atau memperkeruh suasana. Mengedepankan tabayyun (klarifikasi) dan mencari solusi konstruktif adalah jalan terbaik untuk menjaga kemaslahatan bersama, tanpa harus melukai perasaan atau memicu kegaduhan. Dalam era digital di mana informasi menyebar begitu cepat, menjaga lisan dan tulisan adalah bentuk ketaatan yang tak kalah penting.
Baca juga: Hasil keputusan Bahtsul Masail Penutupan. Komisi A, Komisi B dan Komisi C.
[1] Kesimpulan ini berdasarkan kesepakatan Empat Mazhab
[2] Kesimpulan ini berdasarkan Mazhab Maliki yang disampaikan dalam kitab Lawami’ al-Durar dan Hasyiah ad-Dusuqi
[3] Kesimpulan ini berdasarkan Mazhab Hanafi yang disampaikan dalam kitab Hasyiah Ibn ‘Abidin Ala Radd al-Mukhtar
Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo