Hukum Mencopot Pejabat Tak Mampu Bekerja dalam Fiqih - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Hukum Mencopot Pejabat Tak Mampu Bekerja dalam Fiqih

NU Online  ·  Jumat, 5 Desember 2025 | 17:10 WIB

Hukum Mencopot Pejabat Tak Mampu Bekerja dalam Fiqih

freepik

Muhammad Zainul Millah

Kolomnis

Rapat kerja Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, dengan Komisi IV DPR RI pada Kamis, 4 Desember 2024, berlangsung cukup panas. Dalam pertemuan tersebut, beberapa anggota dewan melontarkan kritik tajam terhadap kinerja sang menteri. Bahkan, sebagian di antaranya mendesak Raja Juli Antoni untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Desakan tersebut muncul karena kinerjanya dianggap belum memenuhi harapan masyarakat dan dinilai tidak maksimal.


Anggota DPR Komisi IV DPR RI, Usman Husin, tanpa ragu mencecar Menteri Juli Antoni, bahkan menyatakan, "Mohon izin teman-teman komisi IV mungkin saya keras karena saya paling hatinya kasih, sehingga kalau pak menteri tidak mampu mundur saja. Pak menteri tidak paham soal kehutanan." tegasnya. 


Dalam rapat yang difokuskan pada pembahasan banjir dan longsor di Sumatera itu, para legislator menyoroti lemahnya pengelolaan kehutanan yang dinilai turut menjadi pemicu bencana. Kecurigaan tersebut menguat setelah ditemukan kayu-kayu gelondongan yang terseret arus banjir dalam kondisi sudah digergaji.

Baca Juga

Arti Mimpi Menjadi Pejabat Negara

Temuan ini memunculkan dugaan adanya aktivitas illegal logging oleh perusahaan tertentu, yang sekaligus mengindikasikan adanya persoalan serius dalam pengawasan dan pengelolaan hutan.

Baca Juga

Nabi Muhammad Tegur Pejabat yang Menerima Hadiah


Fenomena desakan agar seorang pejabat mundur dari jabatannya bukanlah hal baru dalam dinamika pemerintahan, baik di Indonesia maupun dalam tradisi politik Islam. Situasi seperti ini biasanya muncul ketika publik atau wakil rakyat menilai seorang pejabat tidak mampu menjalankan amanahnya dengan baik. 

Lalu muncul pertanyaan penting: apakah pejabat yang dinilai tidak kompeten boleh dicopot atau diganti di tengah masa jabatannya?

Baca Juga

Korupsi Pejabat Publik dalam Islam


Dalam pandangan Islam, seorang kepala negara memiliki kewenangan untuk memberhentikan menterinya apabila dianggap lebih membawa kemaslahatan. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang menegaskan bahwa “kebijakan imam terhadap rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan.” 

Terlebih lagi, jika seorang pejabat menunjukkan kinerja yang buruk atau bekerja tidak maksimal, maka pergantiannya justru menjadi langkah yang tepat demi menjaga kepentingan publik dan memastikan roda pemerintahan tetap berjalan efektif.

Di Indonesia, status menteri adalah pejabat negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Kewenangan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan satu-satunya hak prerogatif presiden yang dilakukan sendiri tanpa meminta persetujuan atau pertimbangan dari lembaga lain.

Alasan Menteri Dapat Diberhentikan

Pada Pasal 24 UU 39/2008, dijelaskan beberapa alasan menteri dapat diberhentikan. 

Pertama, menteri berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia atau berakhir masa jabatan.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tersebut juga dikatakan pemberhentian dapat dilakukan jika seorang menteri mengajukan pengunduran diri secara tertulis, tidak mampu menjalankan tugas selama tiga bulan berturut-turut, atau menerima hukuman pidana dengan ancaman minimal lima tahun berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, pelanggaran terhadap larangan rangkap jabatan juga menjadi alasan yang cukup untuk memberhentikan seorang menteri. Presiden bahkan diberi ruang untuk mengambil keputusan berdasarkan “alasan lain” yang dianggap perlu demi menjaga kelancaran dan efektivitas pemerintahan.

Di sisi lain, jika seorang menteri sedang tersangkut dakwaan tindak pidana berat, presiden dapat menjatuhkan pemberhentian sementara sambil menunggu proses hukum berjalan.

Berbagai ketentuan ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia memberikan pedoman yang jelas dan tegas bagi presiden untuk memastikan para menterinya bekerja secara optimal, menjaga integritas, dan menjalankan amanah publik dengan penuh tanggung jawab.


Pemberhentian Pejabat dalam Pandangan Islam 

Begitu pun dalam fikih, seorang pembantu atau menteri dapat diberhentikan kepada negara. Syekh An-Nawawi menjelaskan, menjelaskan seorang Imam (Kepala Negara/Penguasa) memiliki kewenangan mutlak untuk mencopot menteri dari jabatannya seperti seorang Qadhi (Hakim) demi terwujudnya kemaslahatan umum.

Pencopotan itu dapat dilakukan meskipun Qadhi tersebut tidak terbukti melakukan kesalahan, asalkan ada kandidat lain yang lebih baik atau setara dengannya, dan pencopotannya bertujuan untuk mencegah atau meredakan bahaya atau konflik (fitnah).

Secara garis besar, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa ada tiga alasan yang membolehkan seorang imam memberhentikan pejabat yang berada di bawah kewenangannya.


Pertama, ketika pejabat tersebut melakukan kesalahan atau memiliki cacat dalam menjalankan tugas, sehingga dianggap tidak lagi layak memegang amanah.


Kedua, ketika muncul sosok lain yang dinilai lebih cakap, lebih amanah, atau lebih mampu menjalankan tanggung jawab dibanding pejabat yang sedang menjabat.


Selanjutnya, yang ketiga, pemberhentian dapat dilakukan demi meredam fitnah atau gejolak di tengah masyarakat, selama ada orang lain yang bisa menggantikannya, untuk menjaga stabilitas dan kemaslahatan.

Simak penjelasan Imam An-Nawawi berikut;


وَلِلْإِمَامِ عَزْلُ قَاضٍ ظَهَرَ مِنْهُ خَلَلٌ أَوْ لَمْ يَظْهَرْ وَهُنَاكَ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ مِثْلُهُ وَفِي عَزْلِهِ بِهِ مَصْلَحَةٌ كَتَسْكِينِ فِتْنَةٍ وَإِلَّا فَلَا، لَكِنْ يَنْفُذُ الْعَزْلُ فِي الْأَصَحِّ.

Artinya “Dan Imam (penguasa/kepala negara) berhak untuk memberhentikan (mencopot) seorang Qadhi (hakim) yang terlihat adanya cela/kekurangan (kesalahan) darinya, atau (bahkan) tidak terlihat (cela), sementara di sana ada yang lebih baik darinya atau yang setara dengannya, dan dalam pemberhentiannya terdapat kemaslahatan seperti meredakan fitnah. 

Jika tidak ada kemaslahatan, maka tidak (boleh dicopot). Akan tetapi, pencopotan itu tetap berlaku (sah), menurut pendapat yang paling sahih (kuat).” (Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin Wa ‘Umdatul Muftin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2017] halaman 197) 

Syekh Kamaluddin Muhammad Ad-Damiri menjelaskan dalam syarahnya bahwa pencopotan menteri yang bermasalah adalah 'ainul mashlahah (inti/hakikat maslahat). Ia berkata;

قَالَ: (وَلِلْإِمَامِ عَزْلُ قَاضٍ ظَهَرَ مِنْهُ خَلَلٌ)؛ لِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ لِلْمُسْلِمِينَ بِالْمَصْلَحَةِ، وَهَذَا عَيْنُ الْمَصْلَحَةِ.

Artinya “(An-Nawawi) berkata: (Dan Imam [penguasa] berhak mencopot Qadhi [hakim] yang terlihat darinya cela/kekurangan); [Penjelasan Ad-Damiri]: Karena wajib atasnya (Imam) untuk memperhatikan kemaslahatan kaum Muslimin, dan (pencopotan ini) adalah inti kemaslahatan.” (An-Najmul Wahhaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2018]  juz VI, halaman 411)


Sementara itu, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa seorang imam (penguasa) berhak mencopot pejabatnya apabila terlihat adanya kekurangan dalam menjalankan tugas, meskipun kekurangan tersebut tidak termasuk pelanggaran berat. Kekurangan itu bisa berupa banyaknya keluhan dari masyarakat, dugaan lemahnya kinerja si pejabat, atau hilangnya wibawa sehingga amanah tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Tindakan pencopotan ini disyariatkan berdasarkan prinsip al-ihtiyath (kehati-hatian), demi menjaga integritas, kelancaran kinerja, serta kemaslahatan umat secara keseluruhan. Simak penjelasan berikut;

وَلِلْإِمَامِ) أَيْ: يَجُوزُ لَهُ (عَزْلُ قَاضٍ) لَمْ يَتَعَيَّنْ (ظَهَرَ مِنْهُ خَلَلٌ) لَا يَقْتَضِي انْعِزَالَهُ كَكَثْرَةِ الشَّكَاوَى مِنْهُ أَوْ ظَنَّ أَنَّهُ ضَعُفَ، أَوْ زَالَتْ هَيْبَتُهُ فِي الْقُلُوبِ وَذَلِكَ؛ لِمَا فِيهِ مِنْ الِاحْتِيَاطِ، 

Artinya “Dan bagi Imam (Penguasa) maksudnya: diperbolehkan baginya untuk mencopot seorang Qadhi (Hakim) yang belum tertentu (tidak ada Qadhi lain yang sepadan), yang terlihat darinya cela/kekurangan yang tidak sampai mengharuskan dirinya otomatis dicopot.

Seperti banyaknya pengaduan/keluhan terhadapnya, atau (Imam) menduga bahwa Qadhi tersebut telah melemah (kinerjanya), atau hilang wibawanya di hati masyarakat. Hal itu (diperbolehkan) karena di dalamnya terdapat Al-Ihtiyath (tindakan kehati-hatian/pencegahan).” (Imam Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2016], juz IV, halaman 353) 


Pada akhirnya, pencopotan pejabat yang tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik merupakan hak penuh pemimpin tertinggi, yang dalam konteks modern, yaitu Presiden, selama didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan rakyat. Langkah ini dapat dilakukan kapan saja, sesuai kebutuhan dan situasi yang berkembang, tanpa harus menunggu masa jabatan berakhir. Wallahu a‘lam.

----------------------
Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kab. Blitar.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default