Kisah Tsa’labah bin Hatib: Ketika Kaya Justru Menjauhkan dari Agama - NU Online

Central Informasi
By -
0

 

Kisah Tsa’labah bin Hatib: Ketika Kaya Justru Menjauhkan dari Agama



“Kalau nanti aku kaya, aku pasti banyak bersedekah.”
Kalimat begitu biasanya pernah terlintas di benak kita. Tujuannya memang baik. Namun, benarkah semua orang akan menepati janji itu?

Kisah Tsa’labah bin Hatib

Ada seorang sahabat Rasulullah bernama Tsa’labah bin Hatib. Ia dikenal selalu melaksanakan salat berjemaah bersama Rasulullah. Lima waktu ia tempuh bersama Nabi tanpa absen. Tetapi, tiada gading yang tak retak; setiap manusia pasti memiliki kekurangan.

Suatu hari Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau melakukan perbuatan seperti orang munafik, wahai Tsa’labah?”
Pertanyaan itu muncul karena Tsa’labah selalu tergesa-gesa meninggalkan saf setelah salam.

“Wahai utusan Allah,” jawab Tsa’labah sedih, “keadaanku memaksaku melakukan ini. Aku hanya memiliki sepotong baju untuk salat. Istriku di rumah menunggu kepulanganku agar ia bisa memakainya untuk salat.”

Rasulullah memahami keadaannya. Namun kemudian Tsa’labah memohon, “Wahai Rasulullah, doakan aku agar hartaku bertambah banyak.”

Rasulullah menasihatinya, “Wahai Tsa’labah, ketahuilah, sedikit tetapi disyukuri lebih baik daripada banyak tetapi membuatmu lalai.”

Permohonan yang kesekian kalian

Keesokan harinya Tsa’labah kembali datang membawa permohonan yang sama. Rasulullah menolak secara halus, “Ingatlah, Tsa’labah. Engkau telah berjalan di atas kebenaran. Apakah engkau masih menginginkan hal yang lain?”

Namun Tsa’labah bersikeras. “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, jika Allah memberiku harta, aku tidak akan menghabiskannya sendiri. Akan kubagikan kepada orang-orang yang berhak.”

Karena kerasnya sumpah Tsa’labah, Rasulullah akhirnya berdoa, “Ya Allah, berilah Tsa’labah harta sebagaimana ia inginkan.”

Berkat doa Rasulullah

Sejak hari itu, Tsa’labah mulai beternak kambing. Berkat doa Rasulullah, kambing-kambingnya berkembang biak dengan sangat pesat. Jumlahnya begitu banyak hingga memenuhi kota Madinah. Ia pun terpaksa pindah ke pinggiran Madinah. Akibatnya, ia hanya bisa mengikuti salat zuhur dan asar saja.

Namun itu pun tak bertahan lama. Kambingnya terus bertambah, membuatnya harus pindah semakin jauh—hingga akhirnya salat berjemaah tak lagi ia hiraukan. Di pikirannya hanya kambing, kambing, dan kambing. Salat Jumat dan salat lima waktu pun mulai ia tinggalkan.

Akibat kaya, justru menjauhkannya dari agama

Rasulullah sudah lama tidak melihat Tsa’labah. Beliau bertanya kepada para sahabat tentang kabarnya. “Ia berada di lembah dekat pinggiran Madinah, wahai Rasul. Ia sangat sibuk dengan kambing-kambingnya,” jawab para sahabat.

Rasulullah menggelengkan kepala, menyayangkan sikap Tsa’labah yang kini melalaikan urusan agamanya.

Beberapa waktu kemudian, turunlah ayat:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. At-Taubah: 103)

Perbedaan dua orang yang dimintai zakat

Ayat ini memerintahkan penarikan zakat. Rasulullah mengutus dua sahabat untuk mengumpulkan zakat dari para pemilik harta. Dalam sebuah surat Rasulullah menegaskan, “Tagihlah Tsa’labah bin Hatib dan seseorang dari Bani Sulaim.”

Para utusan pun pergi ke rumah Tsa’labah. Mereka membacakan surat Rasulullah. Namun Tsa’labah merespons dengan kasar, “Ini hanya pajak! Atau semacam pajak! Pergilah dulu, nanti kalian kembali lagi.”

Sementara itu, lelaki dari Bani Sulaim yang juga menerima surat tersebut justru berkata, “Ambillah zakat ini. Aku merelakannya.” Padahal para utusan mengatakan bahwa zakat belum wajib baginya. Ia tetap menyerahkan unta terbaiknya sebagai bentuk ketaatan.

Setelah mengumpulkan zakat dari banyak orang, kedua utusan kembali ke rumah Tsa’labah. Namun Tsa’labah tetap menolak. Setelah membaca surat Rasul, ia berkata, “Ini cuma pajak! Atau saudara pajak! Sudahlah, nanti akan kupikirkan lagi.”

Al-Quran menyindir perbuatan Tsa’labah

Para utusan kembali kepada Rasulullah. Beliau mendoakan keberkahan bagi lelaki Bani Sulaim, tetapi tidak mendoakan Tsa’labah yang meremehkan kewajiban zakat—rukun Islam yang ketiga.

Tak lama kemudian turun ayat:

وَمِنْهُمْ مَّنْ عٰهَدَ اللّٰهَ لَىِٕنْ اٰتٰىنَا مِنْ فَضْلِهٖ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُوْنَنَّ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Di antara mereka ada orang-orang yang berjanji kepada Allah: ‘Jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan menjadi orang-orang yang saleh.’”
(QS. At-Taubah: 75)

Ayat ini menyindir langsung Tsa’labah yang mengingkari sumpahnya. Seorang kerabat Tsa’labah mendengar ayat tersebut dan segera menemuinya. “Celaka kau, Tsa’labah! Allah menurunkan ayat ini untuk mengecammu!” katanya.

Tsa’labah panik. Ia segera mengumpulkan kambing-kambingnya untuk diserahkan kepada Rasulullah. Namun langkah itu bukan karena ia benar-benar menyesal, melainkan karena takut dikucilkan, takut dianggap kafir, dan takut kehilangan seluruh hartanya.

Referensi:

Ahmad bin Muhammad al-Khalwati, Hasyiah as-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, II/199.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default