6 Penghalang Menerima Warisan Menurut Islam: Hukum, Kasus, dan Penjelasan Ulama

Salah satu hak dasar yang sering kali terlupakan dalam perbincangan sehari-hari adalah hak untuk menerima warisan. Warisan tidak sekadar harta yang berpindah tangan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tetapi juga bagian dari keadilan yang dijaga oleh syariat.
Dalam banyak kasus, warisan menjadi pemberian terakhir yang diberikan seseorang kepada keluarganya. Maka dari itu, tidak heran jika Al-Qur’an dan hadits Nabi sangat rinci dalam mengatur siapa saja yang berhak menerima, berapa bagian yang layak, dan bagaimana pembagiannya dilakukan secara adil.
Namun, tidak semua orang bisa serta-merta mendapatkan bagian warisan, meski secara hubungan darah atau status pernikahan ia termasuk ahli waris. Sebab, syariat menetapkan bahwa hak waris itu pada dasarnya berlaku untuk semua yang memenuhi syarat saja, selama tidak ada sesuatu yang menghalangi.
Artinya, selama seseorang berada dalam posisi yang sah sebagai ahli waris, dan tidak terdapat penghalang dalam dirinya, maka haknya tetap dijamin. Warisan, dalam hal ini, tidak diberikan karena belas kasihan atau pilihan sepihak pewaris, melainkan berdasarkan ketetapan hukum syariat.
Di sisi lain, Islam juga mengenal konsep “mawani’ul irts” atau penghalang-penghalang warisan. Konsep ini menjadi semacam rambu yang menjaga agar hak itu tidak jatuh ke tangan yang tidak layak, baik karena alasan moral, hukum, atau prinsip-prinsip lain yang dijaga oleh agama. Jika seseorang terbukti memiliki salah satu dari penghalang itu, maka meskipun ia adalah anak kandung, pasangan sah, atau kerabat dekat, haknya untuk mendapatkan warisan otomatis gugur.
Merujuk penjelasan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 505 H), terdapat enam hal yang menjadi penghalang seseorang untuk menerima warisan. Sehingga, orang-orang yang dalam dirinya terdapat dari salah satu yang enam, maka hak untuk menerima warisan guru darinya, sekalipun ia berstatus sebagai ahli waris secara hubungan keluarga. Berikut ini perinciannya:
الْبَاب الرَّابِع فِي مَوَانِع الْمِيرَاث وَهِي سِتَّة الأول اخْتِلَاف الدّين، الثاني الرَّقِيق، الثَّالِث الْقَتْل، الرَّابِع استبهام تَارِيخ الْمَوْت، الْخَامِس اللّعان، السَّادِس الشَّك فِي الِاسْتِحْقَاق
Artinya, “Bab Keempat tentang penghalang-penghalang warisan, dan jumlahnya ada enam: Pertama, perbedaan agama. Kedua, status sebagai budak. Ketiga, pembunuhan. Keempat, ketidakjelasan waktu kematian. Kelima, li’an (sumpah yang dilakukan antara suami dan istri dalam hal tuduhan zina dan penafian nasab). Keenam, keraguan dalam kelayakan menerima warisan.” (Al-Wasith fil Mazhab, [Kairo, Darussalam: 1417], jilid IV, halaman 360).
Untuk lebih mudah dipahami dengan sempurna, mari kita bahas lebih rinci dan lebih detail satu-persatu:
Pertama, perbedaan agama. Perbedaan agama menjadi salah satu batas tegas dalam hukum waris. Seorang non-Muslim tidak dapat menerima warisan dari seorang Muslim, begitu pun sebaliknya, seorang Muslim tidak dapat menerima warisan dari n0n-Muslim, termasuk dalam konteks ini adalah orang murtad, yaitu orang yang keluar dari ajaran Islam setelah sebelumnya memeluknya. Penghalang pertama ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya, yaitu:
لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى
Artinya, “Tidak saling mewarisi orang-orang yang menganut dua agama yang berbeda .” (HR Al-Baihaqi dan Ahmad).
Kedua, budak. Dalam sistem waris, status merdeka seseorang sangat menentukan haknya atas harta. Seorang budak, apa pun bentuk statusnya, apakah ia budak murni (qin), anak dari seorang budak (ummul walad), atau sedang dalam proses pembebasan (mukatab), tidak memiliki hak untuk mewarisi, dan juga tidak dapat diwarisi.
Sebab pokoknya sederhana, yaitu seorang budak tidak memiliki hak milik secara penuh atas harta. Bahkan jika ada anggapan bahwa ia bisa memiliki harta dengan izin tuannya, kepemilikan semacam itu bersifat lemah dan tidak diakui dalam konteks warisan.
Dalam kasus yang lain, seperti seseorang yang statusnya setengah budak dan setengah merdeka, ulama berbeda pendapat. Qaul qadim menyatakan bahwa ia tidak dapat diwarisi karena kepemilikannya tidak utuh, sedangkan qaul jadid menganggap ia bisa diwarisi, karena separuh status merdekanya memungkinkan ia memiliki harta, dan keluarga tetap menjadi pihak yang paling berhak atas peninggalannya. (Al-Ghazali, IV/361).
Ketiga, pembunuhan. Seseorang yang membunuh tidak bisa menerima warisan dari orang yang ia bunuh. Seperti contoh, seorang anak membunuh orang tuanya, maka dengan pembunuhan ini secara otomatis akan menghilangkan hak waris dari orang tuanya.
Analoginya, seseorang tidak boleh mengambil keuntungan dari perbuatan zalim yang ia lakukan. Namun tentu saja, pembunuhan tidak semuanya sama. Ada yang menyebabkan pelaku wajib bertanggung jawab, baik dengan membayar denda (diyat), menjalani hukuman qishash, atau menunaikan kafarat, baik sengaja maupun tidak, dengan cara langsung seperti menusuk, atau tidak langsung seperti menggali lubang berbahaya. Dalam semua kasus ini, pelaku kehilangan hak waris.
Ada juga pembunuhan yang terjadi dalam konteks hukum, misalnya seorang penguasa menjatuhkan hukuman mati (hudud) atas pelaku kejahatan. Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang tetap melarang waris karena melihat keumuman larangan, ada yang membolehkan karena pembunuhan dilakukan atas nama hukum, dan tidak untuk keuntungan pribadi.
Jika seseorang dihukum mati karena ia sendiri mengaku telah melakukan pembunuhan, maka warisannya tidak terhalang, karena pengakuan pribadi dianggap jujur dan tidak menimbulkan kecurigaan. Tapi jika ia dihukum karena adanya bukti dari pihak lain (seperti saksi atau barang bukti), maka sebagian ulama berpendapat bahwa hak warisnya bisa saja terhalang. Sebab, ada kemungkinan muncul keraguan, yaitu apakah hakim benar-benar menilai dengan tepat, atau ada kemungkinan keputusan itu keliru.
Ada juga bentuk pembunuhan yang secara hukum diperbolehkan, tapi tidak wajib dilakukan, seperti membunuh dalam rangka qishash, membela diri dari penyerang, atau menghadapi pemberontak bersenjata. Meskipun tindakan ini diperbolehkan, sebagian besar ulama menilai bahwa pelakunya tetap kehilangan hak waris. Mengapa? Karena ia tetap memilih untuk menghilangkan nyawa orang yang seharusnya menjadi pewarisnya, meskipun atas nama keadilan. (Al-Ghazali, IV/362).
Keempat, ketidakjelasan waktu kematian. Dalam beberapa kejadian tragis, seperti kecelakaan, bencana alam, atau lainnya, bisa saja beberapa anggota keluarga meninggal di waktu yang hampir bersamaan. Dalam keadaan seperti ini, jika tidak ada bukti yang bisa memastikan siapa yang wafat lebih dulu, maka dalam hukum waris mereka dianggap meninggal secara bersamaan. Artinya, mereka tidak saling mewarisi satu sama lain. Sebaliknya, harta masing-masing akan dibagikan langsung kepada ahli waris lain yang masih hidup.
Ini karena kita tidak bisa memastikan siapa yang punya hak lebih dulu. Dalam situasi seperti ini, kejelasan waktu kematian jadi sangat penting, karena warisan hanya bisa diberikan kepada orang yang pasti masih hidup saat pewaris meninggal.
Kelima, li’an. Li'an adalah ucapan-ucapan tertentu yang dijadikan sebagai hujah bagi orang yang terpaksa menuduh seseorang yang telah menodai tempat tidurnya dan menimpakan aib kepadanya, atau untuk menolak anak yang dinisbatkan kepadanya. Contoh ucapan lian adalah, suami berkata kepada istrinya: “Aku bersumpah demi Allah bahwa istriku benar-benar telah berzina.” (Taqiyuddin Ad-Dimasyqi, Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 1994], halaman 420).
Hal seperti ini menjadikan hubungan keduanya terputus, bahkan jika ada anak dari pernikahan itu, sang suami dianggap menolak mengakui anak tersebut. Nah, tentu saja karena nasab si anak ke ayahnya terputus, maka hubungan waris antara keduanya juga ikut gugur. Anak itu tidak bisa mewarisi dari ayahnya, dan si ayah pun tidak bisa mewarisi dari anaknya. Tapi hubungan dengan ibu tetap utuh. Si anak masih bisa mewarisi ibunya, dan sang ibu pun tetap mendapat bagian warisan dari anaknya, yaitu sepertiga harta jika anak tidak punya keturunan atau saudara.
Keenam, keraguan dalam kelayakan menerima warisan. Dalam hukum warisan, keraguan terhadap kelayakan seseorang untuk menerima warisan bisa muncul dari beberapa faktor, yang semuanya berhubungan dengan ketidakjelasan atau ketidaktepatan informasi terkait status pewaris.
Ada beberapa penyebab utama yang menyebabkan keraguan ini. Berikut rinciannya:
- Keraguan dalam keberadaan.
Misalnya, ketika seseorang hilang atau menjadi tawanan, dan tidak ada kabar tentangnya.Dalam kondisi seperti ini, seseorang tidak bisa langsung dianggap mewarisi sampai ada bukti yang jelas bahwa orang tersebut telah meninggal. Atau jika telah melalui waktu yang dianggap cukup lama, menurut keputusan hakim, di mana orang tersebut tidak mungkin lagi hidup.
Perhitungan waktu dimulai dari saat orang itu hilang atau tidak diketahui keberadaannya, bukan dari saat ia meninggal.
- Keraguan dalam nasab. Dalam hal ini, apabila hubungan keluarga atau keturunan seseorang tidak jelas, misalnya, jika ada perbedaan pendapat perihal siapa orang tua atau garis keturunan yang sah, maka hukum yang berlaku adalah seperti pada orang yang hilang.
- Keraguan karena kehamilan. Seorang janin bisa mewarisi, tetapi dengan dua syarat.
Pertama, janin harus lahir dalam keadaan hidup. Jika lahir mati, maka ia dianggap tidak ada dan tidak memiliki hak untuk mewarisi.Kedua, janin harus sudah ada saat pewaris meninggal, yaitu jika ia lahir dalam waktu kurang dari enam bulan setelah kematian pewaris.
Namun, jika janin lahir lebih dari empat tahun setelah kematian pewaris, ia tidak dapat mewarisi. Jika lahir antara rentang enam bulan sampai empat tahun, maka ia masih bisa mewarisi karena nasabnya dianggap sah, yang berarti hak warisnya mengikuti status nasab tersebut. (Al-Ghazali, IV/364).
Demikianlah enam sebab yang dapat menghalangi seseorang untuk menerima hak warisan dalam Islam. Perbedaan agama, status perbudakan, pembunuhan, ketidakjelasan waktu kematian, li’an, dan keraguan dalam kelayakan menerima warisan adalah faktor-faktor yang secara jelas membatasi hak seseorang untuk mewarisi. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar