Kultum Ramadhan: Rezeki Sudah Ditentukan, Namun Ikhtiar Tetap Wajib

Berbicara mengenai rezeki maka ada satu hal yang perlu disadari bersama, bahwa rezeki itu tidak terbatas pada materi saja. Keimanan dan keislaman juga termasuk rezeki, sehingga sama-sama patut disyukuri, serta juga mesti diusahakan semaksimal mungkin.
Dalam agama dikenal dengan istilah hidayah, yaitu sebuah kesadaran terhadap petunjuk ilahi. Sebagai kesadaran maka tidak semua orang memilikinya. Begitu juga ketika sudah terpatri di dalam hatinya kesadaran tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Orang beriman pun demikian; kesadarannya terhadap petunjuk ilahi cukup beragam.
Maka dari itu agama mengajarkan untuk mengupayakannya semaksimal mungkin demi mencapai level kesadaran atau keimanan yang tinggi sehingga semakin dekat dengan Tuhan. Di dalam al-Quran disebutkan:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Artinya, "dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami," (QS. al-Ankabut: 69).
Singkatnya, hidayah selaku rezeki dari Allah harus dicari dan diusahakan dengan totalitas. Begitu juga rezeki yang lain seperti kesehatan dan kesempatan. Kedua rezeki ini seringkali dianggap biasa saja sehingga tidak digunakan sebagaimana mestinya. Nabi Muhammad di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi bersabda:
نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ
Artinya, "Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia: kesehatan dan kesempatan," (HR At-Tirmidzi).
Syekh Al-Mubarakfuri di dalam kitabnya, Tuhfatul Ahwadzi, juz 6 hal. 485 mengatakan bahwa banyak manusia melupakan kedua nikmat ini karena dinilai tidak perlu muluk-muluk mengusahakannya. Mereka baru menyadarinya saat kedua nikmat ini sirna, baik ketika di dunia terlebih di akhirat nanti.
Padahal mestinya kedua rezeki tersebut juga seyogyanya diusahakan dengan maksimal. Maka ketika memperolehnya digunakan untuk hal-hal positif, sedangkan ketika hilang maka harus dicari dengan berobat misalnya, atau mengatur pembagian waktu agar disiplin dalam menjalankan berbagai kewajiban, khususnya dalam beragama.
Hal ini juga berlaku pada rezeki yang berwujud materi dengan segala medianya seperti pekerjaan dan jabatan. Umat Islam mestinya tidak boleh berhenti pada slogan 'rezeki terserah Allah', 'rezeki sudah diatur', 'ada rezekinya masing-masing', dan yang slogan yang serupa lainnya.
Ungkapan-ungkapan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, tapi menelan mentah-mentah juga menjadi bermasalah. Dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah rezeki memang sudah ditetapkan Allah tapi manusia tetap harus berusaha, berikhtiar dalam istilah agama.
Sebab tidak ada seorang pun yang mengetahui kadar dan jatah rezekinya tanpa ada usaha. Bila hanya berdiam saja di rumah maka rezekinya akan berbeda dibandingkan keluar rumah. Begitu juga pekerjaan dan jabatan yang diduduki akan berbeda rezekinya antara yang bekerja ala kadarnya dengan yang mengoptimalkan kompetensinya.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” (QS. Ar-Ra’d:11).
Pada hakikatnya, tugas utama manusia bukanlah memikirkan jatah rezekinya, melainkan berupaya mencarinya dengan sungguh-sungguh. Dalam perspektif sosiologis, usaha yang serius dan konsisten mencerminkan interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya, di mana kerja keras dan dedikasi menjadi nilai yang dihargai dalam masyarakat.
Semakin besar keseriusan seseorang dalam berusaha, semakin besar pula peluang rezekinya mengalir melimpah, sebagaimana yang dikenal sebagai sunnatullah, alias hukum alam yang juga sering dirangkum dalam pepatah "usaha tidak akan mengkhianati hasil."
Namun, perlu dipahami bahwa "matematika Allah" berbeda dengan logika perhitungan manusia. Dalam konteks sosiologis, rezeki tidak hanya bergantung pada usaha individu semata, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial, kesempatan yang tersedia, serta hubungan antarmanusia dalam masyarakat. Tuhan menilai ikhtiar seseorang berdasarkan proses dan ketekunannya, lalu memberikan rezeki sesuai kapasitas dan konteks kehidupan individu tersebut.
Dengan demikian, kekhawatiran berlebihan terhadap rezeki menjadi tidak relevan, selama manusia terus mengembangkan potensi dan bakatnya. Kondisi sosial dan struktur masyarakat menunjukkan bahwa pengembangan diri ini sering kali sejalan dengan peningkatan status sosial dan ekonomi, karena kapasitas individu yang meningkat akan diakui dan diterima oleh lingkungan sekitarnya secara sistemik.
Oleh karena itu, pola pikir manusia perlu diubah: bukan sekadar "yang penting berusaha" sebagai formalitas, tetapi "berusaha itu penting" sebagai prinsip hidup yang mendorong keseriusan dan komitmen. Dalam realitas sosial, sikap ini akan mendorong seseorang untuk keluar dari zona nyaman, yang kerap menjadi jebakan.
Zona nyaman dapat menciptakan stagnasi, baik dalam produktivitas individu maupun dalam dinamika sosial, termasuk dalam aspek rezeki yang bersifat materi. Ketika seseorang berhenti bergerak maju, ia juga kehilangan peluang untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan ekonomi di sekitarnya.
Maka, dengan keseriusan berusaha, manusia tidak hanya mengejar rezeki, tetapi juga membangun peran aktif dalam masyarakat yang dinamis. Wallahu a'lam.
Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar